Pengantar
Tugas utama aku setiap hari di keuskupan pangkalpinang adalah membantu Rm. Hendrawinata dan Rm. Stefanus Tomeng untuk mengelola Tabloit majalah BERKAT. Selain itu sebagai seorang imam banyak tugas sampingan seperti mencarikan sumber mata air, mendampingi orang dalam sakrat maut, pelayanan doa, membantu menerapi banyak masalah psikis seperti phobia, trauma, luka batin, mencari sumber mata air, dan lain sebagainya. Berulangkali saya mendampingi keluarga yang sedang dalam kondisi koma lama dari berbagai kota di Indonesia. Pendampingan tersebut terasa biasa (bukan hal luar biasa). Menjadi luarbiasa ketika saya berada di posisi itu. Maka sharing dan refleksi atas pendampingan orang tua , yang koma menjadi topic dalam tulisan ini. Semoga berguna untuk para pembaca.
Pendampingan di rumah : Sakramen Perminyakan ke Medis
2 Juli 2008 ibu Maria Mulyani menelponku ketika aku sedang menerima klien. “Bud, kedua mata bapak melotot ke atas. Dia berkata bahwa dia melihat bunda maria. Sekarang tubuh kurusnya terbujur kaku di atas tempat tidur. Kami harus bagaimana?”
Sekalipun aku sudah menjadi seorang imam, ibu tetap memanggil nama kecil pemberiannya. Di matanya aku tetap seorang anak walaupun aku sudah menjadi imam sejak 23 September 2002. “Bisakah saya berbicara kepada beliau? Tempelkanlah hand phone ditempelkan di telinga bapak!”
“bisa. Tunggu sebentar. … nah silahkan kamu berbicara dengan bapakmu.” Di hadapan bapak aku pun diposisikan oleh ibuku sebagai seorang anak. Kapanpun dan dimanapun mereka adalah orang tuaku, dan aku adalah anak mereka. Aku tidak bisa membalik kenyataan hidup bahwa aku adalah orang tua mereka.
“Bapak … bapak, ini budi. Ini adalah anakmu. Ada apa?” Aku mengetahui posisiku di hadapannya, maka aku menyapanya bapak.
“Aku melihat bunda maria di atas tempat tidurku di Kuningan Blok I N0. 26 Yogyakarta 55281. Dia dikelilingi dengan cahaya indah. Menakjubkan sekali. Dia mengajakku untuk pergi bersamanya.” Begitulah cerita bapak Yosef Dasiyanto kepadaku melalui telepon.
“Bersukurlah bapak bisa memandang wajah bunda Maria. Sekarang marilah kita berdoa rosario bersama-sama.” Sekalipun aku anak, aku juga imam. Seorang anak yang adalah imam mengajak bapak untuk berdoa ketika dia menghadapi pengalaman personal bertemu dengan Bunda Maria.
“Iya … “ Bapakku mendaraskan doa salam maria berulangkali. Delapan kali salam maria saya mendengar dia muntah-muntah. Saya menutup telepon. Saya segera menelpon ke hand phone Indri anak nomer 4 yang sedang berlibur ke jogjakarta. Saya memintanya agar membawan bapak segera berobat ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Sementara menunggu dokter Edy, ahli penyakit dalam praktek saya meminta pastor di paroki Pringwulung melalui ketua lingkungan Kuningan Karangmalang untuk memberikan sakramen perminyakan.
Saran utama sebagai seorang imam adalah mengajak berdoa bapak kita yang sedang sakit. Langkah kedua adalah menghubungi pastor di paroki untuk memberi sakramen perminyakan (bukan identik dengan sakramen kematian). Langkah ketiga adalah membawanya segera ke dokter, agar ada tindakan medis oleh dokter ahli. Doa sangat penting. Berobat ke dokter juga tidak kalah pentingnya.
Pendampingan di Rumah Sakit : Sekarat ke Ajal
Pukul 03.00 wib Indri, kakakku yang keempat meneleponku dari rumah sakit panti rapih. “Bapak sudah 20 x kejang. Menurut dokter, dia koma. Kemungkinan untuk bertahan hidup tipis. Pastor segera pulang ke jogya! Semua saudara/saudari kita segera dihubungi agar pulang ke jogja!”
Aku menceritakan kondisi bapakku kepada rekan komunitasku Rm Hendrawinata. Beliau adalah kepala rumah tangga keuskupan, Vikjen, dan delagatus KOMSOS, tempatku berkarya. “Ayahku sekarang sedang koma di rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta.” Berita tersebut juga saya sampaikan kepada Mgr Hilarius Moa Nurak SVD dan rekan imam di wisma keuskupan Pangkalpinang. Mereka menyarankan aku untuk segera pulang ke jogjakarta. Kata Mgr Hilarius,”pulanglah. Siapa tahu kehadiranmu bisa meneguhkan ayahmu.”
Berkat bantuan seorang pengusaha muda di pangkalpinang aku bisa terbang dengan pesawat Sri Wijaya Bangka ke Jakarta dan berkat bantuan pengusaha di Jakarta aku terbang dengan pesawat garuda Jakarta ke Yogyakarta. Pukul 15.15 wib saya tiba di Kuningan Blok I N0. 26 Yogyakarta. Saya mencari ibu kandungku di rumah. Saya memeluknya,”Ibuku.”
Sambil meneteskan air mata ibu Maria Mulyani berujar,”Bapakkmu masih koma. Sekarang prima di rumah sakit menjaga bapak. Ringankanlah salibku, ya Tuhan.”
“Tabahkan hati ibu. Bapak pasti selamat.” Aku meneguhkan ibu, anak-anak, dan cucu-cucu bapak Yosef Dasiyanto, karena mereka mengurus setiap hari bapak Yosef Dasiyanto. Mereka yang menjaga bapak di rumah sakit secara bergilir. Segera aku berangkat ke rumah sakit setelah menguatkan ibu, kakak, dan keponakanku.
Aku terpaku memandang bapakku terbaring di ruang Elisabeth Pantirapih Yogyakarta. Kedua mata masih melotot ke langit-langit. Jarum infus tertancap di sebelah kiri tangan. Selang oksigin berada di depan kedua lobang hidungnya. Selang putih menjulur ke lambung. Mulut dipelester putih. “Bapakku, ini adalah budi. Ini budi, bapak.”
Kedua matanya meneteskan air mata ketika dia mendengar suara anaknya. Dia menangis sesenggukan. Dia mengerti kehadiranku dan ajakanku untuk berdoa. “Apakah bapak masih melihat bunda Maria?”
Dia menganggukkan kepala.
“Bagus sekali. Berdoalah selalu kepada Bunda Maria. Dia akan menemani kita dalam suka dan duka. Para malaikat akan menjaga bapak siang dan malam. Kehadiran Bunda Maria dan para malaikat membuat seluruh tubuh bapak rileks, pikiran tenang, dan hati bahagia. Pejamkan mata bapak. Tidur nyenyaklah selama 2 hari 2 malam. Allah menjagamu siang dan malam.”
Setelah kedua kelopak mata bapakku terpejam aku meninggalkan kamar tidur bapak. Di pojok pintu masuk aku menangis. Rasa pedih menyayat hati, tak tertahankan. “Dia rajin sekali berdoa, mengapa menderita seperti itu, Tuhan? Sejak SD dia sudah ditinggalkan oleh bapaknya, dia menderita. Apakah di akhir hidupnya juga menderita?”
Sekalipun aku adalah seorang imam, aku masih bisa menangis. Aku sangat rapuh menghadapi penderitaan hidup orang yang kucintai di depanku. Ketika aku mengalami goncangan, SMS singkat dari rekan imam atau umat sangat meneguhkan. SMS pastor Hendra, “Salam dan doaku.” Atau SMS beberapa umat, “tabahkan hatimu. Tuhan memberikan yang terbaik untuk ayahmu.”
Aku selalu meminta kepada para penjaga agar mereka mengajak bapak berdoa. Berdoa salam maria atau bapa kami. Beberapa hari aku menjaga bapak yang kucintai, beberapa hari juga aku menangis di rumah sakit ataupun di rumah Kuningan Blok I N0 26 Yogyakarta. Dalam tangisku aku berulangkali aku berdoa kepada Tuhan,”Tuhan sudilah Engkau memanggil orang tuaku. Dia sudah sangat menderita. Kasihan dia.”
Aku mencoba meminta kepada Tuhan sang pengendali hidup. Seolah permohonanku sia-sia. Jeritan doaku siang malam tidak membuat bapakku sadar dari komanya. Bapakku tetap sekarat. Menyadari bahwa doaku tidak berdampak, maka dalam doa aku mengubah isi doa. “Kehendak-Mu apa yang Engkau mau sampaikan melalui koma nya bapakku, Tuhan?”
Dalam tiga hari saya bergumul dengan pertanyaan itu. Karena seolah-olah doaku tidak mendapat jawaban, maka saya memanggil ke tujuh saudara saya untuk pulang ke Jogjakarta. Saya memutuskan untuk mencabut semua infus, selang ke lambung, dan beberapa selang lain. Saya mau membawa bapakku pulang ke rumah. Di tengah pergumulan membiarkan bapak sekarat di rumah sakit atau dibawa pulang, saya mendengar suara sangat jelas menggema, “Belum waktunya.”
Suara hati menegur saya. Biarpun seluruh keluarga sudah berkumpul, saya membatalkan niat untuk mencabut selang-selang maut di tubuh bapak. Saya memegang pesan dokter Edy, yang menangani bapak. “Sejauh pihak keluarga masih mempercayakan kepada rumah sakit, maka kami tetap mengambil tindakan medis. Kami tidak mampu menyentuh di luar wilayah kami, kematian. Romo lebih mengetahui perihal ini.”
Pastor Benny Somi Balun pr, sekjen keuskupan Pangkalpinang 11 Juli 2008 menegaskan ,”Coba konsultasikan kepada dokter saja.” Ketika saya menanyakan rencana pencabutan selang tersebut berdosakah? Demikian juga bapak Adrian Prabowo, anak pertama dari Yosef Dasiyanto menyampaikan rasa optimisnya, “kita beri dia kesempatan untuk hidup. Biarlah dokter berusaha menyembuhkan dia. Kondisi sekarang sudah membaik. Kata dokter Iwan, saudara kita, bapak terkena saraf motoriknya sehingga menyebabkan dia lumpuh. Kita nanti bisa melatihnya.”
Pukul 08.45 wib, 13 Juli 2008 dalam Ekaristi di kampung Jeruk Pangkalpinang saya menyampaikan doa permohonan untuk bapak Yosef Dasiyanto. “Tuhan, sudilah Engkau berbelas kasih kepada bapak Yosef Dasiyanto dan keluarganya.” Saya tidak berani lagi meminta sedikit memaksa kepada Tuhan agar bapak Dasiyanto segera dipanggil dengan alasan rasional. Saya hanya minta belas kasih kepada Tuhan. Hidup atau mati berada dalam kendali Tuhan.
13 Juli 2008 pukul 12.40 wib aku mendapat telepon dari ibuku, Maria Mulyani, “Bud, bapak meninggal. Aku telepon ke rumah tetapi tidak diangkat.”
“Ibu tenang. Mintalah tolong kepada suster di panti rapih agar mereka mengurus bapak. Pesanlah peti di rumah sakit.”
Pendampingan Post Kematian : Sabda Allah Menerangi Kegelapan Hati
Ucapan duka datang dari rekan-rekan imam keuskupan Pangkalpinang. Beberapa rekan imam di gereja seperti di paroki St Yusuf Tj Balai, paroki St Yusuf Katedral, paroki St Bernadeth, Gereja St Yosef, dan di beberapa komunitas seperti pastoran Mesu laut Pangkalpinang, komunitas keuskupan Pangkalpinang mendoakan arwah bapak Yosef Dasiyanto. Intensi misa untuk arwah ayahku merupakan bentuk cinta dari rekan-rekan imam yang mencintaiku. “Aku mencintai mereka, dan mereka mecintaiku.” Cinta tulus dari rekan imam sungguh menguatkan hati yang pedih.
Ribuan ucapan duka dan doa dari berbagai kota di Indonesia melalui SMS, internet, tabloid BERKAT, telepon menarik pikiranku yang sempat melayang – menerawang jauh (blank). Kehadiran tokoh-tokoh masyarakat seperti lurah, kepala desa, kapolsek, para tetangga, kenalan sangat meneguhkan hati kendor. Senyum ramah para tamu mencairkan hati beku. Kekompakan ibu-ibu katolik mengingatkan bahwa kita bersama. Kerja suka rela ibu-ibu yang beragama muslim menggugah inspirasi bahwa kemanusiaan mampu menyentuh relung hati manusia tanpa melihat agama.
14 Juli 2008 pukul 08.14 wib, semua keluarga berkumpul di ruang tamu. Mereka menangis melihat tubuh ayah terbujur kaku di peti di ruang tamu. Setelah mereka selesai berdoa sambil menangis di samping peti jenasah bapak, saya mengajaknya berdoa. Saya membaca kitab Ayub untuk menguatkan keluarga, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali kedalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:20-21). Tidak ada kotbah di tengah-tengah tangisan, tetapi ikut merasakan tangisan mereka.
Misa requiem 13 Juli 2008 dipersembahkan oleh tiga imam yakni pastor Titus Budiyanto, pastor Laurensius Dihe Sanga Pr, dan pastor Suratno. Pastor. Kotbah pastor Suratmo sangat memikat hati,”Satu sisi kehilangan orang yang dicintai secara manusiawi membuat orang sedih, tetapi di sisi lain sebagai orang beriman kematian merupakan awal kesempurnaan hidup. Kematian bukan akhir dari segalanya, tetapi justru awal hidup baru, yakni bersatu sempurna dengan Allah.”
Misa Requiem hari ketujuh 18 Juli 2008 dipimpin oleh pastor Titus Budiyanto dan pastor Laurensius Dihe Sanga. Kotbah pastor Laurens Dihe Sanga menyinggung tentang penderitaan.
”Yesus mengalami penderitaan, yakni di tanam Getsemani Ia berdoa, “Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39). Tetapi yang terjadi Yesus tetap meminum cawan itu. Yesus dijatuhi hukuman mati, Yesus memanggul salib dan Dia mati di atas kayu salib. Kematian merupakan awal memasuki kemuliaan, yakni kebangkitan. Apakah kita berani mengikuti Yesus dengan setia kendati hidup Yesus diwarnai dengan penderitaan? Bapak Yosef Dasiyanto mengimani Yesus, maka ia mengalami penderitaan, kematian dan kebangkitan.”
Penutup
Pasangan hidup seorang imam adalah imam itu sendiri. Pesan singkat atau telepon dua patah kata saja sangat menghibur hati yang sedih. Intensi misa dari para imam juga sangat luar biasa dampaknya untuk orang yang sedang sedih ditinggalkan ayah. Demikian juga kehadiran rekan imam ketika misa penguburan sangat mengangkat hati yang terkulai.
Sabda Allah dalam misa arwah dan kotbah dari dua rekan imam di misa arwah menghantar saya untuk memahami lebih jauh tentang tentang kematian. Bapakku mengambil bagian dari penderitaan Yesus. Berkat kemurahan Tuhan, saya yakin dia dibangkitkan olehNya. Kematian bapak Yosef Dasiyanto merupakan puncak kesempurnaan hidup manusia: Allah asal dan tujuan hidup manusia. Bapak Dasi sudah bersatu dengan Tuhan, sang asal hidupnya.
Pengalaman pendampingan keluarga dan si sakit menghantarku pada pencerahan bahwa kematian merupakan misteri yang tak mampu kujangkau dengan akal sehatku. Manusia manapun tak mampu memaksa Tuhan untuk mematikan dan menghidupkan. Tuhan adalah pengendali hidup, bukan manusia pengendali hidup. Semakin kita mau mengambil alih wewenang Tuhan, maka kita memasuki penderitaan hidup. Semakin kita menjalani penuh syukur atas anugerah hidup, sekalipun itu terasa sangat menderita, kita akan menemukan mutiara kehidupan. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)