Dia Mengangkasa Diiringi Sorak Sorai

Wisma keuskupan, 29 Agustus 2008

“Hampir setiap hari dia berangkat ke kampung-kampung untuk menjajakan dagangannya. Senja hari dia membawa uang sepundi-pundi untuk anak dan isteri tercintanya. Berulangkali dia bagi-bagikan hasil keuntungannya kepada saudara-saudari kandungnya atau orang-orang miskin. Dia memeras keringat dan membanting tulang demi meraih mimpinya untuk membahagian keluarga dan orang tuanya.”

“Harapan gemilang runtuh manakala Tuhan memanggilnya di senja hari. Ketika itu dia 10 menit meletakkan dagangan di gudang dan menyerahkan hasil keutungan penjualan kepada isterinya, pengelola harta benda keluarga. Dada kekarnya terasa sakit seperti ditusuk jarum. Nafasnya tersengal dan meregang.”

“Kini tubuhnya kembali menjadi tanah. Kenangan demi kenangan masih membayangiku. Kenangan itu mengikuti terus. Tolong doakan aku, pastor.”

Mari kita berdoa bersama kepada Tuhan untuk anda dan almarhumah. Saya berharap ibu mengulangi lagu-lagu singkat ini berulang kali. “Datanglah Tuhan, Datanglah. Datanglah Tuhan, datanglah. Datanglah Tuhan, datanglah. Oh Tuhan, datanglah.”

Tiga puluh menit setelah kami mengumandangkan lagu tersebut, kepala ibu itu miring ke kiri. Saya mengajaknya menyanyikan lagu singkat lagi. “Mari Masuk. Mari Masuk. Masuk dalam hatiku, ya Yesus. Bertahtalah di hatiku. Ya Yesusku mari masuk.”

Lagu-lagu singkat tersebut diulang ritmis. Perlahan-lahan dia masuk ke alam ketenangan yang sangat dalam. “Sementara ibu merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati, saya menceritakan sebuah kisah. Ada seorang wanita. Dia bernama Maria. Maria mempunyai seorang suami, yang bernama Yosef. Maria melahirkan seorang anak lelaki. Anaknya bernama Yesus. Umur 33 tahun Yesus dihukum mati dengan disalib. Maria dan Yosef duduk bersimpuh di bawah Yesus. Setelah mati, Maria sempat meletakkan jenasahnya di pangkuannya. Jenasah anaknya dimasukkan ke dalam makam. Untunglah Yesus bangkit di hari ketiga. Dia sudah tidak ada di makam. Dia bersama kembali dengan ibuNya. Namun dia tidak berhenti sampai di situ. Maria merelakan anakNya naik ke surga, mulia bersama dengan Tuhan.”

“Ibu mengalami seperti Maria. Di umur 33 anakmu mati. Dia sudah dimasukkan ke dalam kubur. Di hari ketiga dia sudah bangkit. Apakah ibu percaya tentang janji Yesus bahwa barang siapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia mempunyai hidup kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. (Yohanes 6:54)?

“Iya, saya percaya.”

“ Terimakasih atas kepercayaan anda. Perjalanan anakmu tidak berhenti pada kebangkitan, tetapi dia harus naik ke surga. Iklaskah anda melepaskan anak anda untuk naik ke surga bersama dengan Yesus?”

“Ya.”

“Marilah kita iringi kenaikan anakmu ke surga dengan berdoa bersama dengan bunda maria. Salam maria penuh rahmat, Ttuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu Yesus. Santa maria bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan pada waktu kami mati amen.”

Doa yang diulang-ulang membuat dia semakin trans. Ketika dia trans semakin dalam saya memintanya untuk membayangkan anaknya naik ke surga bersama dengan Yesus. “Lihatlah dengan iman ibu, hati ibu bahwa Yesus membopong anakmu. Semakin ibu cepat mendaraskan rosario, dia semakin cepat membumbung tinggi. Dia mengangkasa diiringi sorak-sorai. Dia berbahagia bersama Tuhan di surga.”

Dia meneteskan air mata selama dia mendaraskan salam maria. Saya membiarkan kedua tangannya terkatup sambil komat kamit berdoa salam maria. “Dengan telanjang dia keluar dari rahimku. Dengan telanjang pula dia kembali ke bumi pertiwi. Allah memberi hidup. Allah mengambil hidup. Terpujilah nama Tuhan.” (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

Arwah Mengganggu Orang atau Orang Mengganggu Arwah?

Wisma keuskupan, 26 Agustus 2008

Akwen dengan Aen datang ke gua Maria Yung Fo. Mereka menyalakan lilin. Lilin tersebut diletakkan di dalam gua. Mereka memberi hormat kea rah patung bunda Maria. Dua kaki mundur dua langkah. Mereka mulai berdoa masing-masing. Mereka pasangan tetapi mereka berdoa pribadi masing-masing.

Mereka menghampiri saya di pojok halaman gua Maria Yung Fo di bawah pohon bambu kuning. “Kami datang kemari untuk mohon berkat dari Tuhan agar kerja lancar. Sudah seminggu usaha kami tersendat-sedat. Pihak pengembang pekuburan santosa jalan Koba Pangkalpinang menyewa alat berat kami untuk membersihkan beberapa wilayah di pekuburan Jalan Koba Pangkalpinang. Anak buah tidak bisa bekerja. Banyak kejadian ganjil terjadi di lokasi.” Aken menuturkan kisah alat beratnya.

“Baru kerja 1 jam alat berat rusak. Ban alat berat bisa terlepas. Padahal itu sangat berat sekali. Ketika operator beristirahat, alat berat bisa berjalan sendiri. Bagian depan alat berat bisa berputar-putar. Apakah romo percaya hal semacam itu?” Aen melengkapi data kejadian ganjil di pekuburan dan menanyakan fenomena tersebut.

 “Oh ya? Orang hidup mengganggu orang mati, mati mengganggu orang hidup”

 “Jalanan di pekuburan tempat kami bekerja rata. Tetapi alat berat kami bisa miring seperti terbalik. Apa itu tidak aneh. Heh … ngeri. Banyak penunggunya. Kami sudah permisi dengan penunggu kubur, bahwa di tempat tersebut kami ini cari makan dan bersifat sosial. Karena karya sosial seperti ini tidak dipungut banyak beaya. Cukup untuk operator dan solar.”  Akwen masih menyajikan data keganjilan di pekuburan.

 “Oh ya? Aduh … Orang hidup mengganggu orang mati, mati mengganggu orang hidup” “

“Pihak pengembang meminta untuk menguruk kolong di atas tempat kami bekerja yang sekarang ini. Berapapun mereka membayar, saya tidak berani. Pernah terjadi seseorang mati di tempat itu. Penunggunya ganas.” Dia kecut melihat satu kejadian mendahului bahwa orang mati karena mengotak-atik sumber mata air.

 

“Ya, sayang sekali mematikan sumber mata air. Biarlah tetumbuhan tetap hidup. Sumber mata air bisa terpelihara dengan baik.”

“Setelah pohon-pohon ditebang. Para penunggu kubur berpindah ke rumah-rumah penduduk. Beberapa penduduk mengisahkan kepada kami bahwa di antara mereka mendapatkan penampakan atau gangguan. Ada leher penduduk dicekek oleh penunggu kubur. Ngeri wo … “

“Penebangan hutan mengganggu keseimbangan alam. Keseimbangan alam berdampak pada manusia. Kesadaran tersebut hanya sekedar wacana bahwa ulah alat-alat berat berdampak pada kerusakan alam dan kerusakan alam berdampak pada manusia. Lantas pengusaha menyalahkan orang mati (arwah) mengganggu orang hidup. Padahal mungkin orang hidup mengganggu ketenangan orang mati.”

“Beberapa kejadian terdahulu teratasi dengan air suci. Air suci direcikkan di alat berat dan tempat yang akan kami ratakan. Sekalipun alat berat tersebut bergerak sendiri, air suci bisa menghentikannya.”

Akwen mengimani bahwa air suci mampu menetralisir keganjilan tersebut. Dia meyakini bahwa para penunggu takut dengan air suci. Memang air suci mampu membersihkan tempat-tempat kotor. Tetapi apakah dia mampu pada tingkat kesadaran lebih tinggi bahwa air suci tersebut mengingatkan akan baptisan yang pernah diterimanya? Berkat baptisan seseorang menjadi hidup baru, meninggalkan pola lama dan menjadi anak-anak Allah. Pola hidup baru membawa konsekwensi bahwa seseorang harus hidup menurut kehendak Allah. Apakah memporak-porandakan alam merupakan karya selaras dengan Allah?

Saya menyodorkan air suci kepada Akwen. Saya beranjak meninggalkan gua maria untuk kembali ke wisma keuskupan Pangkalpinang. “Bisakah orang mati mengganggu orang hidup? Bisakah orang hidup mengganggu orang mati? Sudah mati saja masih disalahkan? Tega sekali yo. He he … “ (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

Aura Kasih

Pangkul, 24 Agustus 2008

 

 

Vera sakit sudah setahun. Kepala sakit. Dada sakit. Pinggang sakit. Lambung sakit. Dia setiap hari hanya terbaring di ranjang. Berulangkali dokter menancapkan infus di tangan untuk mengganti makan dan cairan. Selera makan disapu angin pantai Pangkul. Semangat hidup menguap ditelan panas terik matahari. Dia sudah mengintip kematian. Rindu meninggalkan dunia fana. Yulanda mengisahkan bidadari kesayangannya di gereja tua Pangkul Pangkalpinang Bangka.

 

Pintu langit terbuka lebar. Air tercurah tumpah dari bak penampungan Tuhan. Dia berputar-putar dihempas angin dan api. Terpecah berkeping-keping menjadi tetes-tetes air. Menyebar ke alam raya. Membasahi tanah, tumbuhan, hewan, dan segala maklhuk yang tampak dan yang tak tampak di bumi dan di awang-awang. ruang suci gereja tua perlahan-lahan menjadi sunyi seirama dengan beberapa langkah kami menuju gubuk tua Yulanda.

 

Kerikil-kerikil tajam di hamparan jejalanan menyengat telapak kaki. Gelombang jalanan menggoncang-goncang tubuh. Tetua pecinan menerima iklhas bopeng-bopeng jalanan. Tiada hujatan mulut-mulut penduduk kampung. Kepala tetap menatap ke depan walau sekujur tubuh tergoncang-guncang. Dalam posisi apapun juga mata tetap terfokus pada tujuan, walau segala dibolak-balik di posisi manapun juga.

 

Rambut hitam kami basah oleh rintik air dari langit. Sebagian dari tubuh renta kami basah oleh air hidup. Menyadari bahwa dingin memulai menusuk relung hati, kami segera berlari bersembunyi di bawah payung rumah tua rumah Vera bersama keluarga dan beberapa umat stasi Pangkul. Kedua tangan bersidakep menggigil menahan dingin senja.

 

“Kabarku tidak baik. Aku sering sakit. Orang-orang terdekatku yakni suami , kedua orang tuaku, saudara-saudariku, dan rekan seiman tidak perduli. Percuma saja aku menceritakan perasaanku kepada semua orang terdekatku.” Dia menggoreskan keping-keping luka di hatinya di buku tulis di catatan hariannya.

 

Kedua mata menerawang seluruh ruangan kayu tua beratap seng berwarna cokelat. Kucium aroma busuk di kamar Vera. Vibrasi alam bergelora menggoncang ranjang penganting Vera. Dia murka atas ketidaksopanan Vera dengan pasangannya. Vibrasi alam mengacaukan gelombang otak.

 

“Antara sadar dan tidak sadar saya sering bertemu dengan orang-orang yang hitam. Mereka sering mengajakku untuk mengikutinya. Aku takut sekali dengan ajakannya. Peristiwa tersebut sering menghantuiku. Sepanjang malam jiwaku melayang, seolah-olah diriku terbang. Itulah awal aku sakit.”  Kegalauan perasaanya mengemuka di samping ranjang pengantin pink nya.

 

Jiwamu melayang. Semakin dirimu melayang, sekujur tubuh gemulai lemas lunglai. Kedua kelopak mata menjadi berat terkatup rapat seperti 3 hari 3 malam tidak mengecap bantal empuk. Cahaya putih membawamu terbang mengangkasa diiringi sorak-sorai suara malaikat. Lepaskan seluruh bebanmu pada sang Cahaya itu. Semua orang disekelilingmu, tetapi Dia menerimamu apa adanya. Dia mencintaimu melebihi segala.

 

Nenek baru saja meninggal dunia, tetapi umat hanya 4 umat katolik hadir dalam pemakaman. Sedangkan umat Kristen sungguh sangat banyak. Memang nenek beragama Kristen, tetapi dia tetap nenek kami. Kami sangat membutuhkan penghiburan dan peneguhan dari orang-orang katolik. Justru di saat kami turun ke jurang yang paling dalam, semua orang meninggalkan kami. Aku benci dan muak melihat mereka.

 

Waduh …

 

Asiong masuk ke jeruji besi. Badai menerpa rumah tangga. Kabut hitam tebal menyelimuti keluarga. Jiwa kami diombang-ambing di atas kapal di atas laut lepas. Dentuman ombak menghantam bertubi-tubi. Goncangan demi goncangan menghanyutkan kami. Semua meninggalkan kami. Hanya 4 umat katolik peduli dengan kami. Aku benci dan muak melihat mereka.

 

Waduh …

 

Ketika sekujur tubuh ini terbujur kaku tiada berdaya. Ketika desah nafas semakin melambat. Ketika detak nadi melemah. Ketika keringat dingin mengucur di sekujur pori-pori. Ketika ada dan tiada. Semua tidak perduli. Suami tidak mendengarkan perkataanku. Kedua orang tuaku tak bisa memahami dan melayaniku. Aku benci dan muak dengan mereka.

 

Vera meronta untuk melepaskan diri dari rantai-rantai maut. Deru nafas di hidung berpacu deras. Kepala rebah di sebelah kanan ranjang. Terjadi pertempuran dahsyat di dasar lubuk hati antara kerinduan hati dibelai mesra orang-orang yang dicintainya sebagai harapan dengan kekeringan tanah kering sebagai kenyataan hidup.

 

Cahaya putih itu membawamu semakin dalam. Aura kuasa Kasih cahaya itu menebar getar-getar nada kasih tanpa batas. Pusara cinta itu menarik seluruh dirimu masuk semakin tajam menembus lapis-lapis ego menuju samudera Cinta. Reguklah Sang Cinta. Cuci seluruh noda-noda debu penutup ego diri, yang hanya mau dicinta dan tidak mau mencinta.

 

Semakin menukik kedalam, semakin dalam meninggalkan segala untuk bertemu dengan segala. Seluruh panca indera tak mampu menangkap sinyal-sinyal kehidupan di sekeliling dunia fana, namun mampu menangkap gelombang Keilahian di relung hati suci. KeberadaanNya hanya bisa mencinta segala dan Dia tidak bisa menyangkal diriNya. Meleburlah di dalam misteri Cinta, agar kau terperciki anugerah Cinta sejati dari Sang Ilahi.

 

“Aku bertemu dengan cahaya. Aku bertemu dengan Dia. Aku merasakan kedamaian sejati. Palung paling dalam dan kosong mulai terisi dengan KuasaNya. Kebahagiaan menyelimutiku. Kekuatan mengalir hangat ke penjuru mata angin kehidupanku.”

 

Mempesona perjumpaan dua hati. CahayaNya senantiasa membalut kehidupan. Dia berada di dalam dan sekaligus di luar. Menggerakkan hati untuk mencinta dan mencinta, melayani dan melayani semua orang. (Pastor Titus Budiyanto Jalan Batu kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

 

 

Merengkuh Yang Bertentangan

 

Wisma keuskupan Pangkalpinang, 23 Agustus 2008

 

 

Apa yg menyenangkan / mengembirakan dalam hidupmu.?

 Yang menyenangkan buatku yakni waktu bisa kumpul bersama mama. Waktu bisa curhat sama mama. Waktu pertama x dapat kerja. Waktu lulus kuliah. Waktu dapat gaji pertama. Waktu merayakan natal bersama mama. Waktu bekerja dan berkumpul bersama teman kerja.

Apa yg menyakitkan/ peristiwa pedih dalam hidupmu.?


Yang menyedihkan buatku, yakni waktu mama jatuh sakit dan koma. Waktu bokap jodohin valli. Waktu di gampar bokap. Waktu vali harus ribut terus sama bokap. Waktu oma sakit dan meninggal

Apa makna di balik semua kejadian itu bagimu?

 

Makna yg bisa dipetik dlm kejadian itu!! Hm…..kalau ditanya maknanya, aku juga bingung sich romo. Cuma berusaha menjalani aza hidup ini arahnya/maunya kemana!! Semua sudah ada yg atur, kita yang disini cuma bisa pasrah dan menjalaninya aza kaleee, dlm suka maupun duka…

 

Kau mempunyai pandangan hidup ini tentang takdir, kau sekedar menjalani hidup. Toh semua ada pengatur hidup.

 

Pemahaman bahwa hidup ini sudah diatur meringankan beban dan menghibur diri spt kisah Yesus. dia sudah diramalkan sebelum dai terlahir. Ketika ada pertentangan hitam dan putih, baik dan jahat, kita justru tidak mendapatkan kedamaian. Kita jatuh pada satu sisi, hitam atau putih… sedangkan Yesus mampu merangkul hitam dan putih. Yesus tidak memeluk satu dan membenci yang lain. Keduanya dirangkulnya.

 

Romo? Oke

 

Apa lebihnya kalau kita yang merasa diri di bagian putih, baik, benar tapi penuh hojat dan benci orang orang yang berada di posisi hitam, salah, jahat dll? Apakah lebihnya kalau orang yang mengaku benar, saleh, suci, tetapi penuh kutuk, iri, amarah, benci, dll?

 

Hm..

 

Bukankah orang itu menjadi serupa dengan orang yang dikutuki, dibenci i , dicerca , dll? Bentuk kejahatan / titik hitamnya berbeda antara yang mengaku diri benar saleh, dengan orang yang dihojat.

 

Ok

 

Seakan seperti magnet dimana yang hitam menarik dengan caranya sendiri yang putih… atau sebaliknya yang putih berusaha menarik yang hitam.

 

Ok

 

Sadar dan tanpa sadar kita ditarik kuat ke arus titik hitam. kalau sudah mengikuti arus titik hitam, maka kita menjadi seperti dia. akhirnya sama sama hitam. hanya yang satu mengaku putih, yang lain diposisikan hitam… aduh kasihan deh. Sok suci loe …

 

Hmmm

 

Hitam dan putih selalu ada bersamaan. yang satu untuk menegaskan yang lain. Ayah dan ibu selalu ada bersamaan. berkat pertemuan yin  dan yang, wanita dan lelaki, ovum dengan sperma, maka terjadilah kehidupan ini. Justru ketika keduanya mampu direngkuh – disatukan, maka disitulah terjadi kehidupan. Justru ketika keduanya bersatu dan tiada pertentangan, disitulah muncul kekuatan baru.

 

Ok, romo?

 

Ketika kamu memisahkan kembali keduanya, yin dan yang, mama dan papa di dalam pemikiranmu dan dirimu maka di situ tidak ada kehidupan. yang ada hanya kehancuran … penderitaaan

 

Ok

 

Rengkuhlah kedua yin dan yang, mama dan papa dalam segala kondisi kehidupan ini, maka kamu pasti melahirkan kekuatan baru di dalam kehidupanmu. Menurut banyak teman-temanmu, kau cantik jelita, namun bila hatimu diisi dengan sampah sampah umpatan pada yang, maka energi kehdupan di dalam dirimu kabur. Kekuatan di dalam dirimu kabur

 

Ok, maksudnya amarah?

 

Menolak tawaran untuk dijodohkan tidak berarti bahwa kamu membenci … Dalam kondisi apapun penuhi hati kita dengan kasih.

 

Hm…

 

Kita berpijak – bergerak dengan prinsip prinsip nilai nilai yang ada pada diri kita. nilai penuntunn hidup kita adalah hati nurani (KITAB SUCI&SEMUA KEBIJAKSANAAN ALAM). Kalau kamu menerima saran dari ayah atau orang lain pun, itu juga harus keputusanmu, bukan keputusan orang  lain atau orang tua. Sehingga kamu di kemudian hari tidak menyalahkan siapapun ketika kamu mengambil keputusan sesuai dengan masukan orang tua atau orang lain.

 

Ok, romo? Bingung romo.

 

 

Tubuh, pikiran dan perasaan adalah milikmu. Diri kita adalah milik kita. Siapapun tidak berhak atas diri kita. Kalau kita tidak menyerahkan semua kepada orang lain, maka orang lain tidakberhak atas kita.

 

Maksudnya romo? Jadi kita yang berhak atas diri sendiri?

 

Saya lebih senang dibilang cantik dalamnya. Ketimbang cantik muka

itu khan tidak abadi romo. Tetapi kebanyakan orang hanya melihat kulit luar doang romo. Romo, aku boleh mempunyai wajah lumayan tetapi banyak teman yang bilang aku mempunyai nasib ya buruk. Benar tidak romo?

 

Dirimu milikmu, bukan milik orang lain khan. Jelas aku katakan. Kalau kau mengiyakan kata mereka berarti kau menyerahkan dirimu pada mereka, nasibmu pada mereka, hidupmu pada mereka. Yang menentukan takdirku adalah aku. Yang menentukan jalanku adalah aku. Kalau kau mengamini itu berarti dirimu kau serahkan kepada mereka. Pahatlah dirimu sesuai dengan kehendakmu dengan bimbingan Allah.

 

Iya romo.

 

Padukanlah di dalam dengan di luar, tinggi dengan rendah, hitam dengan putih, baik dengan jahat, kaya dengan miskin, cantik dengan buruk rupa, besar dengan kecil tinggi dengan rendah, lembut dengan kasar, suci dengan berdosa. Kedua kekuatan membuatmu semakin bijaksana. (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

 

 

Mengada Sesuai Panggilan Kita

 Wisma Betlehem Salatiga, 15 Agustus 2008)  

 

 

“Banyak orang mempunyai Hand phone. Setiap waktu dia memegang Hand Phone. Rasa sayangnya mungkin melebihi rosario.” Ujar Hand phone kepada burung trotokan.

 

Trotokan mempunyai sikap berbeda dengan hand phone. Dia berujar kepada hand phone dan lumut. “Saya menghargai sikapmu atas kehidupan ini, hai hand phone. Pagi-pagi aku bertengger di dahan hijau. Di situ aku berkicau nyaring mengungkapan syukur atas anugerah Tuhan. Rasa syukurku menggema nyaring ke sekelilingku. Bagaimana denganmu lumut?”

 

Lumut menjawab pertanyaan trotokan, “Air mengalir ke got-got dari kamar mandi atau ruang cuci di dapur  orang-orang. Got-got basah dan lembab oleh air. Aku bertumbuh subur di kelembapan. Begitu lho trotokan. Memang ada apa ya?”

 

Trotokan menjawab,”Pertumbuhan subur lumur merupakan konsekwensi logis atas tindakan seseorang, yang sering dilakukan dalam ketidaksadaran. Ketika orang memasuki kedadaran, maka orang berusaha memberantas lumut-lumut.”

 

Mendengar sikap trotokan, lumut sempat terkejut. Dia berusaha untuk tenang atas hidup ini, “Setiap perilaku secara sadar atau tidak tentu mempunyai dampak hal lain seperti sarang laba-laba. Satu bagian terlepas akan mempengaruhi seluruh bagian pada seluruh bagian. Keberadaan saya merupakan salah satu unsur dari totalitas keberadaan semua yang ada. Bagaimanapu itu saya harus mengada sesuai dengan hakekat diri.”

 

Menyimak pemikiran lumut, hand phone kagum terhadap pemikirannya. Allah menciptakan bumi dan segala seisinya, manusia tentu mempunyai maksud masing-masing. Maka dia berkata kepada trotokan dan lumut,” Saya mengamini gagasan lumut, seluruh bagian di alam raya saling berpengaruh satu terhadap yang lain. Ketika seseorang menelpon orang lain, maka yang terpengaruh bukan hanya sekedar orang yang ditelepon. Seluruh aspek kehidupan terpengaruh seperti fibrasi telepon, satelit, operator, dan lain-lain. “

 

Di tengah-tengah percakapan lumut dengan hand phone, trotokan menyela,” bibit pohon beringin dibawa oleh burung trotokan dari tempat lain. Bertahuan-tahun bibit bertumbuh menjadi besar. Pohon besar memancarkan oksigen untuk manusia. Dedaunan lebat nyaman untuk tinggal. “

 

“Bersyukurlah bahwa kau membawa bibit tersebut dari tempat jauh. Alangkah bahagianya kau melihat bibit tersebut bertumbuh dan berguna untuk banyak orang. Hidup menjadi lebih bahagia.” Hand phone melihat sepak terjang trotokan sebagai panggilan hidup untuk menggembirakan orang lain.

 

“Aku berterimakasih kepadamu, hand. Kita belajar mengada sesuai dengan keberadaan kita sebaik mungkin. Sekalipun kita hanya gotri dalam roda sepeda, kita harus mengada semaksimal mungkin untuk kepentingan seluruh. “ Kata lumut kepada hand phone.

 

“Marilah kita mengembangkan diri kita sesuai dengan tujuan seluruh alam ciptaan agar dunia semakin indah.”  Ajak lumut kepada rekan-rekannya

 

“Sikap sekecil apapun tentu mempengaruhi perilaku kita walaupun tanpa disadari maka kita harus tetap berkarya untuk membahagiakan sesama dan demi kemuliaan Tuhan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Sikap ini lebih tepat daripada kita mengeluh atas hidup ini.” Di ujung percakapan trotokan memberi masukan kepada lumut dan hand phone.

 

“Aku sependapat dengan pemikiran Hand Phone. Menyadari bahwa perilaku sekecil apapun kita sangat berpengaruh pada alam semesta, maka kita hendaknya berperilaku sebaik mungkin dan semaksimal mungkin … “ Lumut menutup percakapan mereka

 

Doa:

Aku bersyukur kepadaMu, atas semua kebaikanMu kepadaku. Kumadahkan syukurku kepadaMu dengan kicau. Gema kicau menggembirakan maklhuk hidup di muka bumi. Sekecil apapun diriku sungguh mempengaruhi alam ciptaan. Semoga dunia semakin indah dengan keberadaanku. (Pastor Titus Budiyanto, wisma Betlehem Salatiga, 15 Agustus 2008)

 

Mengisi Kekosongan

13 Agustus 2008, Salatiga

 Adalah seorang pengusaha besar pada abad 300 SM di negeri Antah Berantah. Ia bernama bapak Gatot. Dia mempunyai 183 perusahaan. Perusahaan tersebut tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dia sangat lihai mengelola ke 183 perusahaan tersebut. Keuntungan bersih perusahaan tersebut 9.000.000.000 trilyun / bulan.

 

 

Genap 20 Mei 90015 dia berumur 1973. Dia sudah merasa cukup bergelimang di dunia bisnis. Setelah berjumpa dengan seorang pertapa di Gunung Sinai, dia berusaha mengubah skala prioritas dari uang ke Tuhan. Maka dia mau memilih seorang untuk membantu mengelola seluruh perusahaan.

 

 Dia mengumpulkan 3 orang kepercayaan dari 3 negara, yakni Inggris, Cina, dan Indonesia. Di hadapan 3 orang jenius dia berujar,” Aku mau mengundurkan diri dari dunia. Aku mau menfokuskan diri kepada Tuhan. Saya mengundang kalian untuk memilih salah satu dari kalian bertiga. Kalian yang terpilih akan membantuku mengelola 183 perisahaan. Untuk itu saya membuat perlombaan dengan thema Mengisi Kekosongan Hati. Perlombaan pertama tuliskan nasehat untukku untuk memenuhi kekosongan. Waktu perlombaan pertama adalah 20 menit.”

 

 Orang Inggris menuliskan kata-kata bijak, “Tikus-tikus menggerogoti sedikit demi sedikit padi di lumbung. Biarpun padi setinggi gunung, dia akan ludes. Sekalipun tuan mengeruk keuntungan 9.000.000.000 trilyun / bulan,  lumbung itu segera kosong oleh tikus-tikus. Sia-sialah mengisi lumbung, selagi kita tidak mampu menyingkirkan tikus-tikus itu.”

 

 Orang Indonesia menuliskan kata-kata bijak, “Selagi kita masih menginjak bumi, kita harus menetapkan goal di bidang keuangan setinggi langit dan menjadi prioritas utama. Banyak hal bisa kita gapai apabila dompet kita berisi penuh. ”

 

 Orang Cina menuliskan kata-kata bijak, “Aku sudah diberi pelajaran tentang duniawi yang isinya memperbesar ego. Setelah dewasa belajar ilmu-ilmu duniawi yang lain. Setelah aku sadar bahwa ilmu-ilmu itu semakin menjauhkan aku dengan Tuhan. Apakah ilmu itu bisa membawa rohku ke Tuhan? Yang ada hanya hambatan-hambatan. Jadi masih perlukah ilmu itu tinggal di dalam diriku? Aku sekarang ingin bersatu dengan KEKOSONGAN / KEHAMPAAN. Karena di dalam sana ada KETERISIAN YANG MURNI.”

 

 Bapak Gatot duduk di antara mereka. Dia memungut nasehat bijak tersebut dan diuji di dalam permainan. Dia melangkah mengambil 3 tong, 1 keranjang bolong-bolong, 1 gayung, dan 1 ember. “Kalian sungguh bijak. Sekarang di sini ada 3 tong, 1 keranjang bolong-bolong, 1 gayung, dan 1 ember. Perlombaan kedua adalah mengisi 1 tong dengan air kolam Betesda dengan alat tersebut. Saya akan segera membunyikan lonceng sebagai pertanda pertandingan berakhi. Jarak kolam Betesda dengan tempat semadi ada 200 menter. Silahkan anda bebas memilih salah satu dari ketiga alat tersebut dan memilih 1 tong.”

 

 Orang Inggris segera bergegas mengambil ember dan 1 tong, orang Indonesia mengambil gayung dan 1 tong, orang Cina mengambil keranjang bolong dan 1 tong. Ember, gayung, dan keranjang berdiameter sama, tinggi sama, warna sama, bahan sama.

 

Ketiganya keluar dari ruang semadi. Orang Inggris segera memanggil 183 kepercayaannya, yang menyertai dia dimanapun berada. “Seluruh perusahaan ini sebentar lagi berada didalam genggaman kita. Sebelum saya menaiki tahta ini, saya mengutus kalian untuk memberantas semua tikus di seluruh perusahaan. Saya minta anda mengecek terlebih dahulu semua jalan yang akan saya lalui. Singkirkan semua penghalang!”  

 

Orang Indonesia memanggil 183 orang kepercayaannya, yang menyertai dimanapun mereka berada. “Saya segera akan transfer 100.000.000 ke masing-masing rekening anda. Sebentar lagi pengelola 183 perusahaan adalah, saya akan menambah gaji kalian. Silahkan anda berbaris dari tempat semadi ini sampai di kolam Betesda. Kalau rantai kita kurang, kita bisa membeli orang.” Sejam kemudian barisan orang Indonesia terbentuk. Mereka mengisi air di tong dengan gayung secara berantai.

 

 Sementara orang Cina itu berlari-lari kecil menuju ke kolam Betesda dengan membawa keranjang bolong. Bagian bawah keranjang ditadah dengan dua tangan agar keranjang bisa menampung air. Dia berlari kecil berulangkali dalam ketenangan.

 

 Sejam kemudian Bapak Gatot membunyikan lonceng sebagai tanda bahwa pertandingan sudah selesai. Sementara itu orang Inggris menyesal karena dia lupa mengisi tong karena ia sibuk memberantas tikus-tikus dan mempersiapkan jalan ke Betesda. Orang Indonesia bersorak-sorai karena mereka merasa paling banyak mengisi air di dalam tong. Sedangkan orang Cina tersenyum melihat kegembiraan rekan-rekannya.

 

Di hadapan hadirin bapak Gatot berujar, “Saya akan memasuki ruang doa untuk membawa hasil karya kalian. Saya akan mengujicobakan kata-kata mutiara kalian untuk hidup saya. Silahkan anda datang di hari yang ke 99 di tempat ini untuk mendengarkan hasil pengumuman.”

 

Di ruang samadi dia berkata,”Orang Inggris sibuk mencari kesalahan dan kelemahan orang lain, maka dia gagal. Orang Indonesia mengandalkan uang di dalam kehidupan ini, padahal tidak semua hal bisa dibeli dengan uang seperti kebahagiaan, kesehatan, tidur nyenyak dan lain-lain. Orang Cina bersikap bijak dan tenang dalam menyikapi persoalan. Dia tidak berambisi meraih tahta dan kehormatan.”

 

Genap 99 hari bapak Gatot keluar dari ruang samadi. Ia berujar di hadapan tiga orang jenius dari tiga Negara. “Saya sudah kenyang dengan semua hal duniawi. Harta dan tahta sudah memenuhi seluruh hidupku. Dengan harta dan tahta saya berkuasa terhadap banyak orang bahkan uang bisa dipakai sebagai sarana untuk mematikan dan menghidupkan orang. tetapi tidak semua hal bisa dibeli dengan uang. Semua hal duniawi kosong dan hampa. Saya menemukan kepenuhan justru di dalam kekosongan. Sesuai dengan kata-kata bijak dari Cina. Maka juara pertama pertandingan adalah orang Cina. Dia mampu menunjukkan jalan kepadaku untuk menuju kepenuhan dari Allah dengan mengosongkan diri.”

 

Seluruh hadirin bertepuk tangan. Mereka memberikan selamat kepada orang Cina. Orang Cina menunduk hormat kepada bapak Gatot dan seluruh hadirin. “Semua adalah kosong.” (Pastor Titus Budiyanto, Salatiga Wisma Betleham Jalan Cemara 41 a Salatiga)

Kuli-kuli toko Bangunan

Salatiga , 11 Agustus 2008

 

Menuju pulang dari pasar raya, saya terpaku di depan toko besi  dan kaca Bina Jaya di jalan Jend Sudirman N0 41 Salatiga. Empat lelaki mengangkat semen Gresik dari gudang ke mobil Mitsubishi H1677B. tiga lelaki menutup mulut dengan kain putih bujur sangkar, sedangkan 1 orang tanpa penutup. Semen tersebut ditaruh di atas kepala. Keseimbangannya sangat baik, sehingga tidak jatuh. Hanya beberapa remahan semen menaburi sekujur tubuh mereka. Mereka tidak mempedulikan kesehatannya sendiri. Ketika saya bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian mau bekerja begini?” Jawaban mereka, “Takdir!”

 

Sementara itu di toko, cukong (tuannya) duduk tersenyum. Kemeja mereka bersih. Sekali waktu mereka melayani para pembeli. Ada perbedaan bumi dengan langit antara tuan dengan jongos!

 

Semakin orang bekerja menggunakan otot mereka (tenaga), semakin kecil penghasilan kuli-kuli itu. Sebaliknya semakin kita bisa menggunakan otak kita, maka semakin tinggi penghasilan kita. Kalau kita mau kaya, maka kita harus memaksimalkan kekuatan otak, bukan mengembangkan otot.

 

Namun demikian toh mereka semua adalah manusia. Hanya saja keyakinan mereka berbeda. Si kuli mempunyai keyakinan bahwa mereka menjadi kuli karena takdir. Saya yakin bahwa cukong itu mempunyai keyakinan luhur. Kaya tau miskin sangat ditentukan oleh keyakinan. Apakah saya mau menjadi miskin atau kaya? (Pastor Titus budiyanto, wisma Betlehen Jalan Cemara 41 Salatiga)

 

Tenggok Mbok-mbok

Salatiga, 11 Agustus 2008

 

 

Saya meninggalkan wisma Betlehem Jln Cemara 41 Salatiga jam 08.15 wib. Saya berjalan kaki menuju jalan besar. Rintik hujan membasahi bumi dan tubuh. Saya naik angkutan umum berwarna biru muda. Di dalam angkut saya berjumpa dengan mbok-mbok. Dia membawa tenggok. Tenggok tersebut diletakkan di atas lantai di dalam angkutan. Dia bercakap-cakap dengan temannya.

 

A:. “Anakmu wes mentas kabeh?” Tanya temannya.

 

B: “Kemarin anak ketiga baru saja menikah. Jodohnya lebih tua 4 tahun daripada dia. Saya berpesan kepada dia. Itu pilihanmu. Yang menjalani kamu. Anakmu bagaimana?”

 

A: “Semua masih sekolah. Cari uang susah. hidup susah.”

 

B: “Yang kecil masih kelas II SMU. Bagaimana pun Tuhan pasti memberi jalan. Saya percaya itu. Jadi jalani saja.”

 

Si A mohon diri. Dia turun terlebih dahulu. Saya mengajak bercakap-cakap dengan si A. “Ibu jual apa?”

 

A: “Ayam kampung.”

 

“Anak ibu ada berapa?”

 

A: “Anak saya 4.”

 

“Apakah sudah selesai semua?”

 

A: “Belum. Yang kecil masih kelas II SMU. Anak ketiga baru saja menikah.”

 

“ibu mau dagang ayam. Dimana ayam ibu?”

 

A: “Saya mau beli ayam.”

 

“Ayam potong atau ayam kampung?”

 

A: “Ayam kampung. Harga ayam kampung lebih tinggi tetapi banyak orang suka.”

 

“Ibu jual dimana ayam itu?”

 

A: “Saya menjualnya di rumah.”

 

“Itu ada ayam!” Saya menunjuk ayam di pinggir jalan.

 

A: “Saya mau beli di pasar saja.”

 

Tenggok itu diambil olehnya. Dia pikul tenggok itu di belakang punggungnya. Dia menuju ke pasar, sedangkan saya menuju ke depan Ramayana.

 

Di depan Ramayana ada mbok-mbok membawa tenggok. Tenggok tersebut berisi penuh makanan. Tangan kanan dan kiri nya menenteng pelastik benda. Jalannya pelan tertatih-tatih, tetapi pasti. Kepalanya menoleh kearah mbok-mbok tua penjual kue dan minuman di dekat angkot-angkot. Dia meletakkan kedua barang di tangannya, tetapi dia tidak melepaskan tenggok berat di pundaknya. Dia memilih makanan. Makanan itu dimakan di tempat. Dia makan sambil berdiri dengan membawa beban berat. Sebelum dia meninggalkan tempat itu dia membayar makanan itu. Dia berjalan pergi meninggalkan penjual makanan itu.

 

Saya melanjutkan perjalanan menuju ke pusat pertokoan. Banyak sekali barang-barang di toko seperti hand phone, emas, pakaian, ikan, jam tangan, boneka, buah-buahan, burung, dan lain-lain. Saya terpana memandang seorang ibu menggendong anak di belakang di depan Pasar Raya di Jalan Jenderal Sudirman. Dia memindahkan barang-barangnya dari ujung kiri gedung pasar raya ke depan toko emas Irama.  14 A/50. Di belakang dia menggendong anaknya, di depan dia menggendong tenggok berisi bung-bunga (mungkin untuk sembahyang). Berulangkali dia bolak-balik dari tempat satu ke tempat yang lain selama 33 menit. Dia memindah tenggok-tenggok itu sambil bercanda dengan mbok yang lain. Setelah semua barang-barangnya dipindah, dia duduk di kursi kayu panjang.

 

15 meter saya berjalan dari tempat itu, kedua mata saya tertambat oleh seorang mbok tua. Di tubuhnya ada selendang menyilang di dada. Dia memakai jarik. Pakaian sederhana. Di mulutnya tersumpal tembakau. Sambil mengunyah tembakau dia membuka tenggok-tenggok di atas mobil mitsubisi. Tenggok-tenggok tersebut berisi buah-buah. Dia mengangkat tenggok-tenggok itu dari mobil, dan menurunkan tenggok tersebut di tanah ( 5 meter dari mobil). Dia melakukan semua itu sambil bergurau dengan sang sopir atau pedagang yang lain.

 

Semenjak saya naik angkutan umum, saya terkesima dengan mbok tua, yang membawa tenggok. Saya terkesima dengan mbok-mbok yang menggendong anak dan tenggok berat. Pesan mereka sangat mendalam sekali bagi saya. Mereka menghadapi persoalan hidup dengan senyum sekalipun mereka memikul beban berat. Setiap hari mereka menjalani semua itu dengan senyum dan tabah untuk membeayai sekolah anak-anak dan kebutuhan sehari-hari. Mencukupi kebutuhan sehari-hari dan membeayai sekolah anak merupakan tugas utama untuk seorang ibu.

 

Kisah tersebut mengajar kepada saya beberapa hal yakni setiap panggilan mempunyai konsekwensi. Kita harus memikul konsekwensi (tenggok) itu dengan senyum dan berbekal keyakinan bahwa Allah menyertai dan mengatur hidupku.

 

Selagi beban itu masih berada di pundak mbok-mbok itu, dia pasti berjalan tertati-tatih (lamban). Kalau beban tersebut dilepaskan, maka mbok itu pasti bisa berjalan lebih cepat seperti mbok yang berada di dalam angkutan umum. Bila saya membawa kemanapun beban kita, maka kemajuanku terhambat. Sebaliknya kalau beban tersebut diletakkan, maka saya bisa melesat seperti busur.  (Pastor Titus Budiyanto, wisma Betlehem Jalan Cemara 41 A Salatiga)

 

Keluar dari Ruang Semadi

Salatiga, 12 Agusus 2008

 

 

Begawan Seta mempunyai tempat pertapaan indah. Dian selesai membangun tempat bersamadi di tengah-tengah pertapaan tahun 4010. Ruang samadi berbentuk buluat seperti bola. Lantai ruangan dipasang marmer putih. pintu masuk setinggi 4 meter di sebelah utara. Seluruh ruangan hanya terisi salib. Di tengah-tengah pertapaan. Seluruh ruangan semadi terbuat dari kaca.

 

Jadwal samadi Begawan Seta yakni pukul 04-06 wib, pukul 12.00-13.00 wib, pukul 15.00 – 16.00 wib dan pukul 20.00 – 21.00 wib. Tanggal 23 Januari 4017 pukul 15.00 wib dia memasuki ruangan. Dia terkejut melihat burung gereja dan segerombolan semut berjajar di tengah di dalam ruangan. Beberapa kotoran burung berada di ujung ruangan. Dia duduk bersimpuh di lantai. Kepalanya tertunduk ke bumi.

 

Melihat sang Begawan memasuki ruang meditasi, burung gereja tersebut grogi. Demikian juga semut-semut kecil itu. Mereka berjuang keluar dari ruang semadi. “Hai semut terbanglah kemari! Di sinilah pintu keluar.”

 

“Oke, yes. Aku menuju ke tempatmu.”

 

Burung gereja melihat dunia luar dari dunia dalam melalui kaca tembus pandang. Dia tidak menyangka bahwa itu kaca. “Brak! Aduh, aku sakit.”

 

“Aku sudah mencoba jalanmu, tetapi aku menemukan penghalang. Kepala membentuk ke kaca. Kita ikuti saja ujung kaca ini, hai greja!”

 

Burung gereja itu berputar-putar mengelilingi ruang meditasi. Sekali waktu dia berhenti sejenak menarik nafas. Setelah dia berhasil menghimpun tenaga, dia terbang mencari jalan keluar. “Hai semut, aku yakin bahwa inilah jalan keluar. Aku melihat dunia luar dengan jelas dari dalam ruang ini. Marilah mengikuti aku.” Burung gereja itu terbang meluncur menuju keluar, tetapi dia menabrak kaca lagi. “Aduh sakit. Aku terjatuh. Bagaimana ini?”

 

“Aku tidak mau mengikuti jalanmu. Kepalaku sudah “benjot” terbentuk ruang kaca. Setiap aku menemui jalan mentok, aku mencoba jalan lain dengan mengikuti pojok ruang kaca ini. Hai gereja, lebih baik kamu mengikuti jalanku saja. Siapa tahu jalan yang kutempuh ini adalah jalan keluar.” Segerombolan semut merah tersebut berbaris berbondong-bondong di pojok ruang kaca. Mereka berjalan kearah pintu masuk.

 

Sementara burung gereja dan segerombolan semut itu berjuang mencari jalan keluar, dia terpekur dalam doa.

 

“Kamu berada di bawah, sedangkan aku berada di atas. Kamu tidak bisa terbang bebas, sedangkan kamu tidak bisa terbang bebas. Karena aku lebih tinggi darimu, maka aku lebih bisa melihat di luar yang tidak bisa kamu lihat. Kita harus berjuang menembus dinding ini. Kita harus meruntuhkan dinding ini.”

 

“Tubuhmu lebih besar daripada tubuhku. Tubuhku sangat kecil sekali. Aku mencoba dulu jalanku ini dengan mengikuti setiap alur – lekuk bangunan ini. Silahkan saja kalau kamu mampu menghancurkan dinding kaca ini.” Ujar semut kepada burung gereja.

 

Burung gereja itu berputar-putar ke seluruh ruangan, dan mencoba menembus dinding kaca meditasi. Berulangkali dia mencoba meremukkan ruang kaca semadi itu. Semakin dia kuat menabrak, sekujur tubuhnya semakin remuk. Seluruh tenaga dicurahkan menabrak di tempat yang sama, tetapi dia belum juga bisa bebas. Dia justru pingsan kecapaian.

 

Sementara semut merah kecil mampu menemukan pintu keluar dengan mengikuti alur. Setelah selesai semadi Begawan Seta beranjak mengambil burung gereja yang pingsan itu. dia berujar, semut lebih luwes – fleksible daripada burung gereja di dalam MENCARI jalan keluar. siapapun yang kaku akan mati, sedangkan orang fleksible akan jaya.” Di keluar ruangan dan  meletakkan di rumput hijau agar dia bisa menarik udara segar. 5 menit kemudian burung tersebut sadar dan terbang bebas.

 

 

(Pastor Titus Budiyanto, Wisma Betlehem Jl Cemara 41 a Salatiga Jawatengah)

 

 

 

 

Keyakinan itu Menyembuhkan

9 Agustus 2008, Salatiga 

 

Ketika Ayau terlahir di dunia 30 Juli 1969 dengan berat 4 kg di Rumah Sakit Susteran Wedi Klaten tahun 1969 sudah ada benjolan sebesar isi salak di kepala depan di atas mata kanan. Sedangkan kakaknya Christin sejak kecil terlahir sudah sakit kulit di sekujur tubuh. Inri kakak Christin sakit kulit (exim) mulai umur 6 tahun. Susi kakak Christen sakit kulit sejak umur 8 tahun. Apakah penyakit sejak lahir tersebut merupakan anugerah Tuhan?

 

Umur 4 tahun (tahun 1973) Ayau sakit kulit di sekujur tubuh. Sakit itu berawal dari  bintik kecil. Bintik yang matang (merah) pecah. Pecahan bintik mengeluarkan cairan kuning. Cairan tersebut berbau amis. Bila cairan tersebut mengenai bagian kulit yang sehat, maka timbullah binting di tempat itu. Begitulah pembiakan 1 bintik menjadi bintik-bintik. Kumpulan bintik-bintik menyatu dan membesar seperti pulau. Setelah semua matang maka dia mengelupas. Jadi daging Ayau seperti tidak berkulit, dan mengeluarkan cairan kuning.

 

“Ketika saya membawa berobat Ayau di rumah sakit Sarjito, banyak dokter berkumpul di ruangan untuk melihat Ayau. Seorang dokter tua menunjukkan bagian-bagian sakit kulit di sekujur tubuh Ayau. Dia menjelaskan kepada banyak dokter muda. Dokter itu melarang Ayau untuk mekan ikan, memberi obat dan salep. Semua usaha dokter tidak membuahkan hasil.” Begitulah penuturan ayah kandung Ayau.

 

Ayah Ayau mencoba berbagai pengobatan alternatif. Karto yang adalah “orang pinter” di Samirono menyarankan agar memberi getah pohon kaktus. Getah justru menambah gatel kulit Ayau. Beberapa obat dari tabib hanya menipu mata, 2 jam kulit itu tampak membaik tetapi dia membiak semakin cepat. Air putih Kyai di kabupaten bajarejo Bloro tidak membuat Ayau sembuh. Masing-masing dukun, kyai, dokter mempunyai larangan-larangan untuk Ayau seperti 1) jangan makan semua ikan. 2) jangan makan semua daging. 3) jangan makan makanan dari orang mati. 3) Jangan makan barang yang masih panas. Semua larangan tidak membuat Ayau sembuh tetapi menambah beban Ayau.

 

Ibu Dari menyarankan Ibu Yani, agar berobat ke dokter Hardiyanto Jalan Gejayan Yogyakarta. Banyak masukan baik diusahakan dicoba demi kesembuhan Ayau. Tahun 1982 ibu Ayau segera membawanya kesana. Dokter Hadiyanto memberi salep berwarna kuning dan pil untuk tiga hari. Dia menyarankan agar Ayau tidak memakan ikan seperti udang, kepiting, terasi, ikan bandeng, dan lain-lain. Salep dan obat Hardiyanto tok cer. Ayau sembuh total di hari ketujuh. Penyakit itu sudah pergi jauh.

 

Tahun 1991 Ayau merantau ke kota Bogor untuk belajar selama 2 tahun. Curah hujan di Bogor lebih tinggi daripada di Yogyakarta. Banyak pepohonan besar di kebun raya Bogor. Hawa di  bogor lebih lembab daripada di Yogyakarta. Air jernih berlimpah dengan PH 7. Tanah-tanah diairi air Gunung Gedhe dan gunung Salak sehingga tanah sangat subur. Banyak tanaman, bunga, dan sayur tumbuh subur. Orang-orang Sunda yang mengklaim penduduk asli kelebihan dedaunan hijau. Selama dua tahun tinggal di asrama dengan kondisi lingkungan seperti itu, Ayau sehat walafiat. Kulit Ayau semakin mulut dan ganteng.

 

Lulus sekolah di Bogor Ayau melanjutkan kuliah di Pematangsiantar Sumatera Utara pada tahun 1993. Banyak pepohonan besar di sekeliling tempat tinggal Ayau. Di bagian luar Pematangsiantar banyak pohon sawit dan pohon karet. Curah hujan di pematangsiantar lebih rendah daripada curah hujan di Bogor. Air bor di tempat tinggal sangat jernih, sementara banyak penduduk menggunakan air hujan untuk minum. Menjelang dini hari dingin, sedangkan siang hari sangat panas. Mayoritas penduduk Batak. Orang Batak banyak memeluk Kristen (HKBP) dan Katolik. Dia tidak memakan semua ikan dan daging. Dalam kondisi semacam itu tubuh Ayau sangat sehat selama kuliah 7 tahun.

 

Setelah dia menamatkan kuliahnya, dia bekerja di lingkungan gereja di Pangkalpinang Bangka pada tahun Agustus 2001. kata ibu Suhung pemilik perusahaan BOLESA di pangkalpinang, PH air di Pangkalpinang 5,5. Jika kemarau panjang (2bulan tidak turun hujan), maka banyak sumur kering. Tidak semua orang menggali dan atau mengebor pasti mendapatkan air. Banyak para penambang timah meluluh lantakkan hutan-hutan. Hutan-hutan berubah menjadi kubangan seperti danau-danau kecil. Sebagaian tanah menjadi rusak tercemar oleh solar dan limbah timah. Sayur-sayuran sulit tumbuh subur di tanah. Daratan Banga dikelilingi oleh laut lepas. Banyak makanan penduduk Tionghoa terbuat dari ikan. Disudutkan oleh situasi seperti itu maka Ayau nekat memakan makanan laut seperti udang, kepiting, kerang, cumi-cumi dan lain-lain. Makanan laut justru membuat Ayau sangat sehat.

 

Ayau buan Mei 2003 menetap di Rawa Seneng Jawa tengah. Banyak pohon kopi dan cokelat di lereng-lereng pegunungan. Sayur-sayur bisa hidup dengan sempurna. Hewan-hewan di darat dan burung-burung di langit berkembang dengan cepat. Air mengalir jernih dari pegunungan atau sumber-sumber air bawah tanah. Udara sangat dingin menjelang senja hari hingga pagi hari. Sinar mentari seringkali malu-malu muncul menyinari bumi. Sapi-sapi perah diolah menjadi keju atau diminum begitu saja oleh penduduk desa. Mereka yang mengaku orang Jawa mengelola dan menikmati kekayaan alam. Hari ketigabelas menginap, kulit Ayau tumbuh binting-bintik di sekujur tubuh. Bintik-bintik tersebut gatal dan mengeluarkan cairan. Sejarah hidup Ayau di tahun 1973 terulang kembali. Sakit kulit kambuh.

 

Ayau meninggalkan Rawa Seneng. Dia bergegas konsultasi dengan dokter kulit Hardiyanto di Jalan Gejayan Yogyakarta. Riwayat sakit kulit Ayau masih tersimpan dengan sangat baik di arsipnya. Ketika dia bertemu dengan dokter Hardiyanto, dia menginformasikan bahwa dia sudah memakan semua jenis ikan di pangkalpinang, tetapi justru membuat sehat. Ikan tidak bisa menjadi pemicu sakit kulit. Justru ketika berada di Rawaseneng sakit kulit tumbuh lagi.

 

Menurut dokter Hardiyanto, setiap orang hendaknya mengenal tubuh kita. Kalau tubuh tidak mau menerima ikan, maka jangan dimakan. Kalau ikan justru membuat sehat, maka silahkan menikmatinya. Penyakit ini timbul bukan karena factor makanan. Mungkin hal itu disebabkan oleh kelembaban udara di Rawa Seneng. Kelembaban bisa diatasi dengan memborehi seluruh tubuh dengan minyan zaitun. Bintik-bintik berair diolesi dengan salep dan minum obat.

 

Pulang dari rumah dokter Hardiyanto di Yogyakarta ke Rawa Seneng dia membawa salep, obat minum dan satu keyakinan baru  bahwa “Penyebab sakit kulit adalah kelembaban udara.” Salep dan obat tok cer menyembuhkan sakit kulit Ayau. Setelah dia sembuh, selama tinggal di rawa seneng sekujur tubuh diborehi dengan minyak zaitun.

 

3 Juli 2003 Ayau pulang ke Pangkalpinang Bangka. Dia bebas memakan apapun. Makanan laut justru membuat tubuhnya berkembang pesat. Berat badan semula 53 kg menjadi 63 kg. Dia bisa hidup bahagia.

 

Sekali waktu kebahagiaan Ayau terenggut, manakala dia berada di Jawa selama cuti atau retret. Setiap Ayau memasuki pulau Jawa dalam 7 hari sekujur tubuh sudah mulai muncul bintik-bintik. Bintik-bintik tersebut pecah mengeluarkan air dan dia mengembang. Keyakinan Ayau menjadi kenyataan, “penyebab sakit kulit adalah kelembaban udara.” Sakit itu hanya bisa sembuh dengan salep milik dokter Hardiyanto. Maka setiap kali Ayau memasuki Jawa Tengah, dia hampir selalu membawa salep dari dokter Hardiyanto.

Juli 2007, Oktober 2007, Maret 2008 penyakit Ayau kambuh, ketika dia berada di Jawa untuk training dan cuti. Ia sengaja tidak mengolesi sakit kulitnya dengan salep Hardiyanto. Selama berada di Jawa penyakit tersebut berkembang cepat. Begitu Ayau memasuki pulau Bangka (kepulauan), kulitnya kembali mulus dalam tempo 7 hari. Jadi tanpa salep kulit itu kembali menjadi normal.

 

5 Agustus 2008 Ayau berada di Jakarta 2 hari. Hari kedua binting-bintik bermunculan. Beberapa diantaranya pecah dan mengeluarkan air. 8 Agustus 2008 Ayau tinggal di Jalan Cemara Salatiga Jawa tengah. Rumah banyak dikelilingi oleh pepohonan. Air jernih. Hawa dingin seperti rawa seneng jawa tengah. Tanah subur. Berada dalam kondisi seperti ini bintik-bintik di tubuh Ayau bermunculan di seluruh penjuru tubuh. Pada malam hari dia mengeluh bahwa bintik-bintik tersebut sangat gatal. Penyakit Ayau kambuh.

 

9 Agustus 2008 dia mengikuti misa di kapela Jalan Cemara Salatiga Jawa tengah. Kotbah pastor Margono MSF mampu mengubah hati,”Semua orang datang ke Beijing untuk berlomba. Mereka membawa keyakinan untuk memenangkan pertandingan. Tanpa memiliki keyakinan maka dia tidak mungkin bisa memenangkan pertandingan. Keyakinan memungkinkan sumber daya (potensi) di dalam diri memancar keluar. Apalagi keyakinan ini bersumber dari Allah. Keyakinan tersebut bisa berguna untuk menyembuhkan orang yang sakit seperti mengusir orang yang kerasukan roh jahat.”

 

Keyakinan kelembaban udara menyebabkan sakit kulit adalah keyakinan merusak kulit Ayau. Keyakinan ikan menyebabkan sakit kulit adalah keyakinan merusak tubuh Ayau. Berarti penyebab pemicu sakit kulit Ayau adalah keyakinan Merusak! Sekarang dua keyakinan merusak tersebut rontok dengan kotbah romo Margono. Ayau menggenggam keyakinan bahwa manusia mempunyai potensi untuk menyembuhkan dan mampu menyesuaikan diri dimanapun. Bekal keyakinan baru tersebut Ayau menjadi sehat. Sekalipun dia berada di tempat lembab, panas, dan makan semua jenis ikan berpuluh-puluh tahun. (Pastor Titus Budiyanto, Wisma Betlehem Jl Cemara 41 a Salatiga Jawatengah)