Cahaya Bintang

Aku duduk di beranda rumah,

Aku tengadah ke atas,

kulihat bintang bersinar,

dia menyendiri dari yang lain,

sekali waktu kabut putih menutupi sinarnya,

di lain waktu hembusan angin membuatnya bersinar lagi.

 

Hatiku masuk ke sinarnya,

membuat relung hatiku juga bersinar cerah. Seakan akan dia tinggal bersembunyi

di balik kisi kisi jiwaku.

KAU BINTANGKU

(Pst. Titus Budiyanto, keuskupan Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

Tanggalkan Bajumu!

Wisma keuskupan Pangkalpinang, 28 Agustus 2008

 

Tubuh itu terbaring di atas ranjang. Ranjang itu terbuat dari papan kayu. Kayu dilapisi dengan tikar pandan. Balok kotak utuh menjadi bantal. Kelambu putih bergelayut menutup separoh ranjang. Matanya memandang ke kain putih. “Lepaskan semua pakaianmu!”

1 bantal menekan di atas dada. 1 bantal menekan di atas jidat. 1 bantal ditindis kepala. Kaos kaki hitam menutup cela-cela kaki telanjang. separoh kedua kaki tertutup rapat dengan celana panjang. Kaos merek 777 menutupi sebagian tubuhnya. “Aku setia menemanimu sepanjang waktu. Bergumullah dengan diriku, aku tidak pernah lari daripadamu.”

Cicak didinding itu merayap perlahan-lahan di samping tubuh. Perut nyamuk nakal sudah kenyang dengan darah. Dia mengintai nyamuk gemuk sebagai pesta makan malam. “Kau menyedot darah (roh) orang. Rohmu kutelan ke dalam diriku.” Hap! Kena kau!

Kepalaku miring menatap cicak di sampingku. pikiranku miring menyamping mengikuti alur cerita cicak. Hatiku blingsutan meraba-raba kebiadaban nyamuk dan cicak memangsa nyamuk. “Apakah kau sudah kenyang menyedot darah orang? Giliran kamu kenyang, kau akan digayang oleh orang.”

Kedua mata cepat cepat ditutup rapat. Dia merelakan darahnya dimangsa nyamuk. toh darah itu juga dimangsa cicak. “Aku tak mau kehilangan roh ku dan aku tak mau mencecap jiwa orang.”

Tubuh itu blingsutan di bawah selimut cotton hitam pemberian sahabat karib. Gugatan jiwa memberontak. Jiwanya bergelombang. di saat itu di dasar lubuk hati terdengar suara. “tenang-tenang mendayung di dalam doa laut terenang, sabda penguat doa resapkanlah di dasar hatimu. sedalam laut medanmu.”

Keheningan berubah menjadi pertempuran dahsyat. “Tanggalkan kasutmu.” (Pastor titus Budiyanto, Jalan Batu kadera XXI N0 545 A pangkalpinang 33147)

 

Menyatu

 Wisma keuskupan Pangkalpinang, 27 Agustus 2008

 

 Di tepi laut dia menyandarkan tubuh di ujung depan mobil. Kedua mata menerawang laut biru lepas. Langit memayungi keindahan tubuhnya. Kedua kaki sedikit amblas di pasir putih lembut. Angin senja menerpanya. Rambut hitam lurus terurai ke darat. Kedua tangan merengkuh kekosongan. Kedua ujung jari telunjuk kiri dan kanan ditusuk dengan jarum alam. Darah merah segar kedua kutub disatukan. Mulutnya berujar lirih, “Dua menjadi satu. Yang satu adalah dua. Dua hati menjadi satu. Yang satu adalah dua. Persatuan kedua kutub disaksikan oleh alam raya, segala yang tampak dan yang tak tampak.”

 

 Mobil itu ditinggalkan sendiri. Kedua kaki lembut melangkah menuju deburan ombak. Persatuan darah mengalir melahirkan keberanian dan tekat menerjang alunan ombak. Hati ciut melebar luas seluas jagat. Dia seakan mengantongi jagat raya, bukan jagat raya mengantongi dirinya. Seolah-olah dia melebihi segala ciptaan yang ada dan menyatu dengan segala yang ada. Alunan ombak mundur beberapa langkah seiring dengan langkah majunya. Dunia kecil seolah mampu menggerakkan dunia besar. Menakjubkan!

 

 

Selangkah demi selangkah dia menyatu dengan air laut. Separuh tubuh tenggelam. Darah di kedua jari dicelupkan ke air biru saudaranya. Bersamaan dengan tebaran darah anyir di kedua ujung jari jemari tenggelam di laut, guntur di langit menggelegar. Api langit memercik ke samudera raya. Angin topan berputar kencang membelai samudera raya. Dia terombang-ambing di antara air, bumi dan udara. “Aku dan Kau menyatu. Kau di dalam diriku, dan aku di dalam diriMu.”

 

 Badai mereda. Laut teduh. Langit biru cerah. Udara sepoi-sepoi membelai tubuh. Lekuk tubuh melangkah mundur menuju mobil panthernya. Pasir putih lembut membelai hangat kedua kaki mungilnya. Senyum menebar di seluruh raut muka. “Kau di dalam diriku, aku di dalam diri-Mu.” (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

Menanggalkan Diri

wisma keuskupan pangkalpinang, 27 Agustus 2008

 

Aku masuk semakin jauh dan jauh.

Kuraba diriMu di kedalaman dalam diri.

Trilyunan memori lapis demi lapis terkikis.

Yang ada hanya ketiadaanku.

Peganglah Aku, Tuhan.

Lingkupi seluruh diri dengan kuasaMu.

(Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pagkalpinang 33147)

Aura Melati

Wisma keuskupan, 27 Agustus 2008

 Tubuhku tertunduk melihat bunga melati itu. pikiranku melayang tersihir aura keindahannya. Harum wanginya memabukkan aku sehingga aku nggliyeng (mabuk). Jiwaku seakan terbang, walau tubuhku berjalan menapak bumi. Roh keindahannya menghantarku memasuki ekstase yang sangat dalam.

Aku rindu untuk menyatu dengan rahasia semerbak keindahan dan harum mewangimu. Getar-getar hati terdalam memancar. alam raya menghantarkan untukku padamu. semoga zatku juga menyentuh keberadaanmu.

 

 

Aku bahagia. aku terharu. aku menangis. (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)