Suster dan Pastor pun, Orang Samaria yang baik Hati

Pengantar

Allah menciptakan manusia, adan dan hawa segambar dengan Allah. Dia terlahir kudus dan tak berdosa. Karena ketidaktaatan adam dan hawa, mereka jatuh ke dalam dosa. Dari waktu ke waktu manusia cenderung menjauh dari Allah. Walaupun demikian Allah berinisiatif mendekati manusia agar manusia selamat. Dia yang adalah kudus menghendaki manusia untuk menjadi kudus seperti Dia seperti semula dia diciptakan oleh Allah. Bagaimanakah pemahaman manusia tentang kekudusan sangat berpengaruh dalam perjuangannya mengikuti kehendak Allah. Berikut ini penulis menyajikan pemahaman  umat tentang kekudusan dan usahanya kearah kekudusan. 

Sr. Maris Stella JMJ: Kekudusan itu Mawas Diri

Kekudusan itu usaha nyata kita untuk senantiasa bangkit tiap kali jatuh ke dalam dosa. kudus adalah berkat dari Allah sendiri yang diberikan kepada manusia sejak kita diciptakan oleh Allah. Tuhan sudah memberikan kekudusan kepada manusia sejak dari awal. Kekudusan tersebut seringkali tercemar karena dosa. Maka kita sebagai orang katolik senantiasa harus memurnikan diri melalui sakramen tobat.

Kita datang kepada Allah sumber dan awal kekudusan. Ketika kita datang untuk sakramen tobat di situlah kita mawas diri.  Dalam mawas diri kita bisa mengetahui kita kudus atau berdosa. Kitalah penentu posisi kita sekarang kudus atau tidak; orang lain tak bisa menentukan kita kudus atau berdosa.

Kalau orang lain sudah men-cap kita kudus atau berdosa, ia sudah menghakimi orang lain. Orang yang menghakimi adalah orang yang kurang menyadari keberadaanya sendiri, dirinya sendiri yang sedikit kesombongan. Kalau saya mulai berani menilai orang lain, saya terlebih dahulu akan berusaha mawas diri. Kalau sudah sampai ke tahap itu maka kita akan berfikir atau tidak berhak untuk menghakimi atau menilai orang lain kudus atau berdosa. Karena saya meyakini bahwa rahmat kekudusan diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang.  

Masa pra paska adalah masa berahmat. Dimana kita ada kesempatan untuk memulihkan apa yang kurang. Ada kebiasaan yg tidak berkenan di mata teman sesama mulai dikikis pelan di masa pra paska. Saya, Maris Stella berusaha sedemikian rupa menyadari rahmat dari Tuhan kepada saya, maka saya berjuang memelihara kekudusan tersebut dalam perjalanan hidup.

Setiap waktu saya mencoba senantiasa menyadari bahwa saya sungguh dicintai oleh Tuhan. Dari hari ke hari saya berusaha untuk melakukan hal yang baik di mata Tuhan walau tiap saat saya jatuh gagal, setiap saat juga saya berusaha bangkit dan mulai lagi. Satu hal yang tidak pernah saya lalaikan setiap bulan yakni menerima sakramen tobat, kesempatan untuk mawas diri dan mohon ampun atas semua dosa-dosa. Saya menyadari bahwa tidak tidak ada satu pun yang sempurna di dunia ini maka setiap orang diberi kesempatan menjadi kudus.  

Sr Gregoriana AK: Mengerjakan yang Orang Lain Tak Mau Menyentuhnya

Orang bisa mengerjakan sesuatu yang orang lain tidak mau menyentuhnya, itulah kekudusan menurut Suster Gregoriana Sutami AK Sungailiat. Misalkan, orang pada umumnya enggan atau bahkan tidak mau membersihkan got (aliran air). Nah saya mau membersihkan hal yang orang lain hindari. Hal semacam itu ada di komunitas atau di lingkungan kita. Kita harus jeli mencari dan mengusahakan kekudusan. Biarpun saya sudah mengerjakan hal-hal yang bisa membawa kekudusan, tetapi saya tidak mau mengklam atau menghakimi orang lain itu kudus atau berdosa. Walaupun kadang orang lain bebas menilai orang lain berdasarkan sepintas yang dilihatnya seperti penampilan, cara bergaul, cara berdoa. Biarlah yang mengetahui pekerjaan kita adalah Tuhan. Biarkan juga Tuhan yang menilai kita kudus atau tidak.

Kalaulah ada penilian orang atas hidup kita kudus atau tidak, mungkin bisa dimengerti. Karena kedekatan kita dengan Tuhan akan memancar dalam tindakan. Disposisi hati akan tampak dalam tindakan. Yang penting dalam keseharian, khususnya masa pra paska saya berjuang membangun relasi dengan allah dalam doa dan tindakan serperti bersih-bersih kebun sambil doa. 

Ibu Sulis: Hati memilah – memilih yang kudus dan berdosa

Kekudusan dimengerti seperti kesucian. Untuk mengerti hal tersebut ibu sulis memberikan beberapa contoh. Ketika kita mau berdoa di luar gereja, si pendoa melihat dan menilai dengan hati tentang keadaan tempat tersebut. Kalau tempat tersebut dinilai belum kudus, maka di awal doa pendoa harus meminta kepada Tuhan untuk menguduskan tempat. Dengan begitu Tuhan akan menguduskan tempat, melayakkan orang untuk berdoa.

Contoh lagi, Kalau kita mau makan maka kita memohon agar Tuhan menguduskan makanan. Permohonan tersebut akan menjadikan santapan jasamaniah tersebut menjadi kudus.  Hati manusia mampu menilai tempat kudus atau tidak, makanan ini bersih atau tidak, orang itu suci atau tidak. Hati memilah dan memilih yang kudus dan yang kudis dengan bantuan roh kudus. Perlu ketajaman hati dan kedewasaan iman dalam memilah dan memilih yang kudus dan yang berdosa.

Yang sering terjadi dalam penilian atas kesucian dan keberdosaan sering bertitik tolak dari perbuatan yang dilihatnya; peniliaan tidak menukik sampai bagian dalam, hanya bagian luar. Kalau pijakan peniliaan kesucian dan kekudusan hanya berdasarkan kulit luarnya, maka orang bisa keliru menilai. Orang bisa berpura-pura baik, suci dan kudus dengan memegang rosario, dengan memakai salib besar, tetapi itu tidak identik dengan hati suci.  Orang mengalami kesulitan untuk mencapai kedewasaan iman, mencapai kekudusan. Orang sering jatuh pada hal-hal lahiriah dalam memahami kehendak Allah dan melihat kenyataan hidup. Maka dari itu diperlukan latihan terus menerus untuk menjadi kudus dengan bantuan roh kudus.

Selama masa pra paska saya, selaku coordinator dua karismatik sungailiat, ibu rumah tangga, dan guru bahasa inggris mencoba melatih berpuasa mengekang emosi negatif seperti marah atau kecenderungan jahat kita. Puasa jenis ini lebih sulit daripada puasa tidak makan daging.   

Sugianto: Tidak Ada Manusia Kudus

Wakil Koordinator karismatik St Petrus Lubuk Baja Batam mendefinisikan kekudusan sebagai Allah sendiri. Kekudusan adalah Allah. Allah adalah Kudus. Yang kudus dan yang suci hanya milik Allah.

Manusia mencoba berjuang sejauh ini tetapi manusia belum mampu menjadi kudus seperti Allah. Itu disebabkan oleh karena dalam kehidupan di dunia manusia masih mengalami banyak godaan. Godaan itu datang dari Iblis. Di dunia banyak iblis yang menggoda manusia. Godaan-godaan itu tak mampu untuk diatasi oleh manusia. Manusia banyak jatuh ke dalam dosa karena kalah dengan godaan-godaan dunia.

Jadi walau itu pastor, ulama, pemuka agama manapun selagi masih hidup di dunia, ia belum sempurna. Manusia tidak ada yang suci.  Walaupun demikian manusia harus berjuang untuk mengarah kepada kekudusan karena Allah adalah kudus dan menghendaki kita kudus. Untuk mencapai kearah itu saya mencoba berpuasa di rabu dan jumaat.

Saya , selaku wakil karismatik katolik St Petrus Lubuk Baja Batam, pengusaha, dan bapak rumah tangga mencoba mengusahakan berdoa, bersekutu, berkumpul dengan teman seiman untuk saling menguatkan membaca kitab suci, mendengarkan kesaksian orang beriman. Perjuangan mengusahakan kekudusan tidak hanya terbatas di masa pra paska, tetapi berjuang sepanjang kehidupan.  

Meri: Kekudusan Itu Hak Orang Kudus

Kekudusan tidak sama dengan kesucian. Suci adalah kata dasar kesucian, sedangkan kudus adalah kata dasar kudus. Pengertian kesucian adalah keadaan ketika kita tidak berdosa di hadapan Allah. Kudus adalah hanya milik orang-orang kudus saja. Sumber kekudusan dan kesucian adalah Allah. Allah yang menjadi titik tolak kekudusan.

Penilian kudus atau berdosa dari orang lain dikarenakan dia hanya melihat atau menilai dari sudut pandang atau ukuran duniawi kita saja, bukan dari Allah. Untuk mencapai kekudusan di masa pra paska dia mencoba pantang berbicara banyak terutama tentang kejelekan orang lain. Paham kekudusan yang lebih menekankan kepada kehidupan nyata kita di dunia sehingga gampang dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Akong: Semua Orang Merasa Tahu Tindakan Benar atau Salah, sehingga …

Kekudusan dimengerti sama dengan kesucian. Kata dasar kekudusan kudus yang berarti suci. Allah adalah sumber kekudusan. Allah mengutus Roh Kudus untuk hadir dan tinggal di dalam hati semua umatnya. Tuhan menjadi sumber kekudusan, Tuhan juga menjadi tolak ukur kekudusan.

Perintah Tuhan ada di dalam Kitab suci.  Jikalau kita dapat melaksanakan semua perintah-Nya maka bolehlah kita menyebut diri kudus. Tetapi pada masa sekarang ini sudah sulit sekali untuk mengatakan dan mencari orang kudus atau suci. Penentu kudus atau berdosa adalah Allah.  

Di dalam kenyataan hidup sering dijumpai sikap mpenghakiman atas orang lain sehingga ada dikotomi ada orang kudus dan orang berdosa. Banyak orang merasa mengetahui dan mengerti tentang tindakan yang baik dan benar serta yang sesuai dengan perintah-Nya. Padahal untuk kita sendiri sulit  untuk melaksanakan supaya dapat menjadi orang kudus.

Jadi karena kita tahu mana benar dan salah, maka apabila ada orang yang bertindak salah, kita langsung menvonis orang tersebut berdosa tanpa mempelajari situasi yang terjadi pada orang tersebut. Dalam pengalaman hidup, ada egois dalam diri kita muncul. Artinya kita selalu membela diri dan menganggap diri sendiri benar dan orang lain salah. Sehingga sangat mudah kita menvonis orang berdosa.  Vonis berdosa atas orang lain berakar pada egoisme. Ego diri muncul sehingga ada unsur pembenaran diri sendiri sehingga menganggap diri suci. Padahal untuk menjadi suci sulit sekali dan butuh iman dan pengorbanan luar biasa seperti yang dilakukan oleh orang-orang kudus yang tertulis dalam alkitab. Oleh karena itu kita harus berjuang setiap waktu untuk mencapai kearah itu.

Di masa pra paskah menjadi moment penting untuk melatih diri. Usaha yang dilakukan Akong, koordinator karismatik katolik St Yosef Pangkalpinang adalah melatih tidak menghakimi orang lain sehingga dengan niat tersebut dapat menahan diri untuk tidak menghakimi orang lain. 

Priyo: Belum Tentu Orang yang Memegang Rosario sudah Kudus

Kekudusan adalah keadaan hidup seseorang yang sepenuhnya dikuasai kehendak Ilahi, menurut mas Priyo, legioner dari Pangkalpinang. Orang yang kudus itu sadar bahwa ia adalah manusia lemah dan berdosa dan mengakui kelemahan, ketidak berdayaan dan kedosaanya.

Kekudusan berarti hidup sepenuhnya dalam terang ilahi hidup bagi tuhan dan sesama. Ia tidak menyimpan di dalam hatinya kepentingan diri. Ia mati bagi dirinya sendiri dan ia hidup untuk mencintai allah dan sesama.  

Menurut mas priyo yang sehari-harinya mengajar bahasa Inggris di SMK Tunas Karya, sumber kekudusan adalah Allah sendiri yang telah memberikan teladan sempurna dalam kitab suci lewat pengajaran Yesus, karya dan kehidupan-Nya.

Juga menurutnya ekaristi adalah sumber kekudusan karena dalam kurban ekaristi itu Yesus mengurbankan diri-Nya dan memberikan diri-Nya seutuhnya untuk menjadi santapan bagi jiwa-jiwa. Dengan menyambut komuni secara layak dan pantas hidup kita dikuduskan oleh Yesus karena ia sungguh-sungguh tinggal di dalam hati kita dan menjadi satu dengan kita. 

Tolok ukur kekudusan tidak diukur, dilihat dari penampilan lahiriah seseorang. Belum tentu orang yang setiap hari pergi ke gereja mengenakan pakaian jubah, memakai kalung salib, rosario, aktif ikut kegiatan liturgy, aneka kegiatan keagamaan sudah mencapai kekudusan. Kekudusan adalah masalah hati. Hanya Tuhan yang bisa melihat hati kita.

Tolok ukur kekudusan seseorang bisa dilihat dari perbuatan, sikapnya apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip injil, cinta kasih, ketaatan, kerendahan hati, kebijaksanaan, pengharapan, iman dan kejujuran? Tidak ada yang berhak menentukan kudus tidaknya seseorang kecuali pihak gereja yang secara hati-hati dan bijaksana setelah melalui penyelidikan yang lama memberikan gelar kudus bagi orang tertentu yang telah meninggal dunia dan telah terbukti kesuciannya semasa ia hidup. 

Kebiasaan menghakimi orang lain dapat berupa membicarakan keburukan orang lain, menfitnah, dan menganggap orang lain lebih rendah.. Mudahnya kita menyebut orang lain berdosa karena kita melihat apa yang ia perbuat tidak sesuai dengan ajaran kitab suci atau tidak sesuai dengan patokan-patokan yang kita buat.  

Orang kadang menganggap diri suci, barangkali karena ia merasa sudah mempraktekkan semua laku kesalehan semaksimal mungkin. Sehingga ia berfikir dirinya sudah mencapai kesucian. Namun ini adalah bentuk kesombongan meninggikan diri.

Mas priyo sebagai seorang legioner dan guru bahasa Inggris di pangkalpinang mau melatih diri untuk mengurangi kebiasaan menghakimi di masa pra paska ini. Ia mencoba untuk memandang orang lain lebih pada sisi baiknya. Sebelum kita mau menghakimi orang lain hendaknya kita ingat bahwa aku pun tidak lebih baik daripada orang lain, jadi karena kita sadar bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain maka tidak sepantasnya kita menghakimi sebab penghakiman yang adil hanyalah milik Allah.  

Penutup

Pemahaman umat beriman di keuskupan pangkalpinang tentang kekudusan bervariasi. Berdasarkan pengertian tentang kekudusan mereka berjuang untuk mencapai kekudusan seperti Bapa yang adalah kudus. Manusia rindu untuk  kembali menjadi kudus seperti awal adam dan hawa diciptakan. Walaupun masih ada saja godaan merasa diri suci atau menghakimi orang lain berdosa. Di masa pra paska, masa agung mereka melatih diri untuk mengendalikan kecenderungan tidak teratur, yang bersifat emosi dan spiritual. Semoga dengan bantuan Roh Kudus kita semakin kudus. (Titus Budiyanto, Wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang,  5 April 2007)   

Pelangi Para Buruh Pabrik di Muka Kuning

 Pengantar

Sepulang dari pertemuan para imam BASEPTA di stasi St Michael Tanjung Batu paroki St Yusuf Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau saya sempat observasi di beberapa tempat di Muka Kuning Batam. Beberapa karyawan memberikan kesaksian hidupnya . Mari kita simak kesaksian hidup mereka sebagai buruh pabrik dan umat Katolik di Muka Kuning. Semua data dan identitas ada pada penulis (tidak semua identitas pemberi kesaksian dicantumkan di sini sesuai permintaan mereka).  

Menyimak Kesaksian Hidup Para Buruh Pabrik

“Saya nyampai ke Batam 15 Juli 1999 dengan modal ijasah STM jurusan listrik instalasi. Saya nekat datang ke Batam untuk mencari kehidupan yang lebih baik /layak dibanding saya harus bekerja  di daerah asal Yogyakarta. Di sana saya pulang – pergi bekerja harus naik – turun gunung.  5 Agustus 1999 saya diterima di perusahaan Electronik PT Sincom Panasonic sebagai operator mesin auto insert. Setiap hari saya bekerja berdiri dari jam 7.00 wib – 19.00 wib.  Jangankan untuk kegiatan menggereja seperti mudika, datang ke gereja untuk misa sudah merupakan anugerah. 6 bulan kemudian saya berpindah perusahaan yang bergerak di bidang IC. Saya bekerja dari jam 80.00 wib – 17.00 wib di bagian maintenance. Perpindahan kerja ini membawa perubahan dalam hidup. Saya bisa terlibat di mudika Aloysius  Gonzaga.”

Paijo (nama samaran) melukiskan pengalamannya secara tertulis kepada penulis. Menurutnya kampung halamannya tidak menjanjikan masa depan cerah bagi dirinya. Batam menjadi surga bagi para pemimpi. Dia berfikir bahwa di tempat lain dirinya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, masa depan yang cerah. Itulah visi Paijo. Visi tersebut seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami di Batam. Di Batam dirinya seperti mesin yang bekerja 10-12 jam sehari dengan gaji yang cukup untuk makan dirinya sendiri. Di tengah perjuangannya meraih mimpinya, ia masih menyempatkan diri terlibat aktif kegiatan meggereja Mudika St Aloysius Gonzaga paroki Lubuk Baja Batam.   Latarbelakang alam Paijo berdomisili dipandangnya sebagai hambatan, bukan tantangan dalam hidupnya, maka ia meninggalkan kampung halamannya.

Yang melatari Dewantara (bukan nama sebenarnya) merantau ke Batam adalah Iseng. Berikut ini kesaksian Dewantara secara tertulis.  “Saya sakit hati dengan bapak kandung. Di rumah saya tidak betah hidup bersama dengannya. Saya tidak menemukan kenyamanan di dalam rumah. Situasi tak enak semacam itu mendorong saya meninggalkan kampung halaman untuk berjuang di Batam 1994. Saat saya pergi ke Batam, saya bermimpi bisa hidup lebih baik daripada hidup di rumah bersama dengan orang tua. Kenyataan di lapangan pertama-tama hampir membuatku menangis. Betapa tidak? Saya ditempatkan di Dormitori yang berisi 15 orang. 1 ruangan berisi 15 orang seperti 1 kamar besar untuk 15 orang! Biarpun sekamar 15 orang tetapi belum tentu kawan kita peduli dengan kita pada saat sakit. Situasi semacam ini menggembleng saya untuk lebih mandiri, dewasa (tidak emosi, tidak ngambek).” 

Ketidaknyamanan situasi keluarga, relasi retak anak dengan orang tua memicu dirinya keluar dari kungkungan yang membelenggunya setiap hari. Dia berifikir bahwa hidup terpisah dengan orang tua, tidak serumah dengan ayah kandungnnya akan menghantarnya pada kehidupan yang lebih baik. Kerinduan semcam itu sama dengan kerinduan karyawan di atas. Satu sisi situasi nyata hidup di Dormitori ternyata tidak lebih baik daripada situasi rumahnya: rekan-rekan sekamar ada yang tidak peduli dengan dirinya saat sakit.   Di dormitory seakan tidak ada ruang privatisasi kamar pribadi. Sisi lain situasi semacam itu memaksanya untuk bisa hidup mandiri dan bisa berkontak dengan suku lain.  

Dua kesaksian mendahului muncul dari kesadaran dan niat dari dalam buruh itu sendiri, sedangkan kesaksian Lusia di bawah ini berawal dari iseng. Batam, oh tidak pernah kumemimpikan bahkan memikirkannya. Ajakan teman dan sekedar iseng aku mendaftar bekerja. Lamaran iseng ini ternyata ditanggapi serius. Aku diterima di suatu perusahaan dengan masa kontrak 2 tahun. Aku nekat pergi ke Batam dan berharap bisa hidup lebih baik.  

Mimpi indahku tersebut direbut sang waktu. Sepulang dari pertemuan mudika Aloysius Gonzaga Muka Kuning kakiku patah tertabrak motor. “Tuhan mengapa Kau memberikan cobaan berat ini? Dimana Sayang-Mu? Aku telah memberikan hati dan pelayanan bagi-Mu, tetapi mengapa Kau buat aku seperti ini?”  

Hampir aku bunuh diri karena putus asa dengan keadaanku. Pemberontakanku kepada Tuhan semakin membuat hidupku terpuruk. Kemarahan kepada Tuhan tidak membawa perubahan. Aku mencoba merubah sikap pasrah – terserah kepada Tuhan.

Di tengah kegelisahanku kucoba membaca kitab suci. Hatiku bangkit dari mati setelah sabda Tuhan berbicara padaku ,”Kutahu Tuhan pasti Buka Jalan.”   Setelah melalui pengobatan tradisional selama 3 bulan aku mulai bisa berjalan, walau sampai sekarang kondisiku tidak sesempurna seperti semula. Sekarang rasa sakit itu sering datang. Kalau rasa sakit itu datang, aku terdiam dan bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Tuhan?”

Gejolak hati seperti itu kuredam dengan melihat orang cacat di sekitarku. Mereka lebih menderita daripada aku. Inilah yang masih membuatku semangat.  Saya yakin ,” Rencana Tuhan WHO KNOWS?  Saya meyakini segala musibah yang terjadi pastilah Tuhan memberikan yang terbaik bagi kita. “Maafkan aku Tuhan bila sempat nggak percaya dan marah pada-Mu.”

(Lusia, Batam, 27 Februari 2006) Awalnya Lusi diajak teman-teman. Selanjutnya ajakan itu memancing hati untuk iseng-iseng. Ketika melayangkan lamaran ke perusahaan ia hanya iseng-iseng.  Yang semula iseng ini ditanggapi oleh pihak perusahaan sebagai sesuatu yang serius: pihak perusahaan menerimanya sebagai pegawai kontrak. Reaksi serius ini ditanggapi olehnya sebagai sesuatu yang serius. Siapa tahu ini menghantar ke kehidupan yang lebih baik? Kerinduan semacam itu sempat pupus ketika kakinya patah tertabrak motor. Justru di tanah rantau dirinya menjadi cacat.

Tubuhnya tidak lebih baik dari sebelumnya. Pengalaman pahit tersebut menghantarnya pada kedekatannya dengan Allah. Ujarnya ketika diwawancarai oleh penulis,”Mungkin ini bagian dari rencana Allah. Allah tetap baik bagiku dan bagi semua orang.” 

 Refleksi Atas Kenyataan Hidup Para Buruh

Kesaksian hidup para buruh di atas menjadi pijakan kita untuk bercermin tentang selembar kehidupan nyata sosial. Dalam kehidupan sosial para buruh di lapangan kadang kita bisa menjumpai ketidakadilan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. “Kemiringan” seperti itu seringkali tidak disadari oleh para buruh. Kejadian semacam itu dianggap lumrah dan biasa terjadi.

Kejadian di atas mengingatkan kita akan gagasan Paus Johanes Paulus II,” berbagai problem yang muncul dewasa ini (menyangkut berbagai bentuk ketidakadilan, pelecehan dan diinjak­-injaknya hak azasi manusia) terkait erat dengan cara orang memandang manusia, masyarakat dan dunianya. Selain itu, namun lebih mendasar, karena banyak orang salah mengerti tentang kebebasan individu; seo!ah-olah seseorang hanya menjadi bebas bila menolak setiap norma obyektif, tanggungjawab, atau juga menolak untuk mengendalikan nafsu-nafsu liarnya. 

William Chang dalam buku The Dignity of Human Person in Pancasila and The Church Social Doctrin: an Ethical Comparative Study mengemukakan, bahwa Paus menekankan arti kebebasan lebih sebagai “menjadi bebas untuk” daripada “menjadi bebas dari.’ Manusia harus menggunakan kebebasannya untuk menyetujui dan memilih apa yang benar dan baik, serta untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan kebenaran yang seharusnya, yang berkaitan dengan kodrat dan keutamaan manusia sebagai Citra Allah.

Setiap manusia adalah bebas tetapi tidak dalam arti tidak terikat. Aktualisasi kebebasan individu dalam hidup bersama harus mempertimbangkan dan tetap menghormati kemerdekaan individu lain. Kebebasan individu mempunyai arti radikal dalam dimensi sosialnya, karena manusia adalah makhluk sosial.  Para buruh adalah Citra Allah. Mereka bebas untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka bebas untuk meninggalkan kampung halamannya. Mereka bebas untuk meninggalkan orang tuanya. Keputusan untuk apa dan kemana ada di tangan mereka sendiri.

Setelah mereka bergelut dengan pilihannya, tidak jarang jerat-jerat penguasa atau aturan-aturan perusahaan kadang membuat “nafas mereka sesak”.  Seakan mereka bebas tetapi mereka serentak “sesak nafas”.  Kekuranglegaan bernafas di alam bebas ini kadang dianggap lumrah atau tidak disadari sama sekali oleh kebanyakan orang, khususnya para buruh sendiri. Mereka miskin tetapi mereka merasa tidak miskin. Mereka kadang diperlakukan tidak adil, tetapi mereka merasa itulah keadilan. Mengapa?  

Para Borjuis / pemilik modal atau negara si pembuat undang-undang ketenagakerjaan terkadang mensituasikan para buruh untuk mengabaikan kodratnya sebagai Citra Allah dalam pengaktualisasian dirinya? Atau para buruh sudah terkontaminasi dengan paham totalitarisme? Totalitarisme adalah suatu aliran pemikiran yang berakar pada sikap penolakan terhadap keluhuran martabat pribadi manusia sebagai Citra Allah; yang kemudian melahirkan sikap menolak kebenaran obyektif, yang adalah norma bagi setiap manusia untuk mewujudkan jati dirinya dan yang menjamin hubungan harmonis antar manusia, demi terwujudnya kebebasan otentik manusia (bdk. Veritatis Splendor art. 99).  

“Jari kelingking saya terpotong mesin ketika saya mengoperasikan mesin. Pihak perusahaan hanya membeayai sebagian beaya pengobatan. Ini sudah nasib sial saya. Ini salah saya, bukan salah pemilik modal.” Kecelakaan yang dialami oleh buruh Saudara Suryo ini bisa kita jumpai di tempat kerja kita. Sikapnya pun juga sering kita dengar. Mereka disituasikan bahwa kecelakaan pada saat kerja adalah salah pekerja. Atau itu dianggapnya nasib sial, yang mau tak mau harus ditanggung oleh orang bersangkutan? Bagaimanakah kalau kepalanya yang terpenggal? Bagaimanakah kalau terjatuh pada saat kerja kemudian mati? Apakah itu juga nasib sial dan pasti salah para buruh dan pihak pemilik modal cuci tangan? Itukan sudah diatur oleh undang-undang atau aturan perusahaan?  

Kita mencermati hal lain pengalaman hidup para buruh. “Di muka kuning kontrak kerja saya adalah 2 tahun. Setiap hari saya bekerja dari jam 08.00 wib s/d 20.00 wib. Uang yang saya terima adalah Rp.800.000/sebulan. Beaya makan kadang-kadang Rp. 300.000/bulan. Beaya kost Rp. 300.000/bulan. Beaya transpotasi Rp. 300.000/perbulan. Gaji itu tidak cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Beaya hidup baru akan cukup kalau lembur setiap hari.”

Sistem seperti ini sudah dibuat oleh pemilik modal. Apakah aturan semacam itu dengan gaji sebesar itu adalah layak untuk hidup sebagai manusia yang adalah citra Allah bagi para buruh hidup di Muka Kuning Batam?  Mungkin jawabannya bervariasi di kalangan para buruh. Ada yang menjawab ya. Ada juga yang berani menjawab tidak cukup. Jawaban para buruh atas gaji tersebut ya lumrah. Dalam perbincangan penulis dengan 8 orang buruh di muka kuning tertangggal 26 Februari 2006 jawaban mereka senada.

“Kami harus pandai mengatur diri mengelola keuangan.”  Saya berfikir dari kerangka saya sebagai seorang imam, bagaimana mungkin gaji seperti itu mereka bisa membangun rumah tangga? Bagaimana mungkin gaji segitu mereka bisa hidup layak: tempat tinggal nyaman, makan bergizi, sandang yang cukup? Bagaimana mungkin gaji sebesar  itu mereka bisa terjamin kesehatannya?  Pemilik modal/para borjuis, pencipta undang-undangan ketenagakerjaan, dan para buruh harusnya melandasi setiap tindakannya dalam memperlakukan para buruh pada martabat pribadi manusia.

Martabat pribadi manusia adalah kekayaan atau nilai dan eksistensi manusia yang konkrit dan fundamental dalam diri setiap orang, yang terikat erat dengan Allah sebagai Pencipta dan dalam inter – relasi terhadap pribadi-pribadi yang lain. Keoriginalan martabat ini terwujud dalam eksistensi masing-masing pribadi, sebagai yang dicipta seturut citra Allah. Martabat pribadi merupakan rahmat yang sangat berharga dan mulia, yang dimiliki oleh manusia sejak dalam kandungan ibu. Nilai suatu martabat manusia bersifat absolut; yang dalam praktiknya mempunyai “preferential orientation” bagi mereka yang martabatnya “telah dirusak”.  

Paus Paulus VI menegaskan bahwa hidup manusia adalah sesuatu yang suci, yang harus dihormati oleh siapapun. Hidup manusia mencerminkan citra Allah yang hidup. Martabat setiap manusia adalah dasar essensial dan tatanan sosial dan hidup bersama. Kesadaran semacam itu bagus kalau menjadi dasar perjuangan para buruh atau siapapun yang menginginkan dirinya – hidupnya bisa lebih baik dari sebelumnya.

Akan menjadi indah kalau gagasan Paus Paulus VI menjadi landasan para borjuis/pemilik modal dan pemerintah sang pembuat undang-undang ketenagakerjaan dalam mengatur para buruh. Semoga Citra Allah para buruh tidak terkontaminasi dengan situasi yang membelit hidup. (Wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147, jam 03.03 wib, 8 Maret 2006) 

Mengabdi Dua Tuan

Wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147 

Uang lagi lagi uang. Konon uang bisa bikin mabuk kepayang. Konon kabarnya uang bisa bikin lupa daratan. Konon kabarnya uang bisa bikin pusing kepala. Konon kabarnya uang bisa bikin keranjingan. Konon kabarnya uang bisa bikin orang gila. Konon kabarnya uang bisa bikin orang tak kenal belas kasih. Konon kabarnya uang bisa bikin linglung orang. Uang lagi tagi uang.

Jumaat, pukul 16.00 wjb 22 September 2001 saya duduk di depan rumah bersama dengan empat mudika dan seorang ibu. Saya menemui mereka untuk berbincang-bincang. Di tengah perbincangan kami, seorang bertanva kepada saya,”Apakah kau belum menikah?”  Mendengar pertanyaan tersebut hati saya geli. Maunya ketawa ngakak.  Bagaimana saya tidak ketawak? Perasaan geli itu kutahan.

Orang mudah tersinggung di tahun 2001.  Saya tidak mengecewakan sang ibu saya balik bertanya,”Apakah anak ibu bersedia menjadi pasangan hidup saya? Atau ada tawaran jodoh menarik?”

Jawabnya,”lha anak jaman sekarang tidak mau dijodohkan aleh orang tua. Mereka maunya memilih sendiri pasangannya. Jadi kau mencari pasangan sendiri yang serasi..” 

Ada beberapa calon bisa menikah dan bisa menjadi pastor. Dengan demikian sang pastor bisa menikmati sorga dunia dan surga sejati. Dengan demikian sangat mungkin kita bisa bersatu lagi dengan pengikut Kristen – Luther, Calvin, dan lain-lain. Tetapi gereja katolik tidak memperbolehkan pastor kawin. Diakon pun juga tidak kawin. Mereka tidak menikah demi kerajaan Allah.

Wah keren, demi kerajaan Allah! Adalah sangat masuk akal gereja mempertahankan tradisi. Kalau pastor mempunyai istri dan anak, maka sangat mungkin pastor lebih mengutamakan anak dan istri saya. Saya pasti berjuang mencari uang demi anak dan istri dan bukan berjuang demi umat. Perhatian pertama adalah keluarga dan yang kedua barulah umat.

Dalam perjuangan hidup mencari uang tentu dan so pasti kita bersaing dengan anak-anak dunia yang seringkali licik, tak jujur dan tak berperikemanusiaan. Tidak jarang di masyarakat kita temui anak-anak dunia yang berebutan kursi – kedudukan – yang ujung-ujungnya juga mencari uang. Dalam perebutan kursi – kedudukan – orang tidak segan-segan mengorbankan orang lain. Kita bisa melihat bahwa orang lemah seringkali menjadi tumbal ambisi para penguasa yang berebutan kursi empuk. Atau mungkin ambisi-ambisi kita juga sangat mungkin tidak jauh seperti sang penguasa yang kita tuding? 

Amos mengeritik secara tajam orang-orang yang menghisap sesamanya yang miskin, lemah. “Dengarlah hai, kamu yang menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang sengsara negeri ini … dan kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu …

“Tuhan telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: Bahwasannya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!” 

Uang lagi lagi uang. Uang panas bikin kita tak mampu berkenan di hadapan Allah. Saya sungguh sangat paham sekali sifat wanita yang sakit ini.”Wanita sangat tidak suka dimadu oleh kekasihnya.” Habisan kalau dimadu itu nggak enak. Nggak enaknya perhatian kekasih kita terbagi. Cinta kekasih kita terbagi. Nafkah kita terbagi. Semuanya terbagi menjadi dua. Padahal wanita itu maunya diterima, diperhatikan, dicintai disentuhnya. Jadi tak mungkin cinta sejati kita terbagi menjadi dua. Allah itu tuan kita. Sang tuan, kekasih kita. Kekasih kita itulah yang kita sembah.

Demikian juga Allah kekasih kita juga tidak mau dimadu oleh kita. Allah menuntut kita untuk mencintai-Nya secara total agar perhatian kita hanya melulu tertuju kepada Allah. “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena bila demikian ia akan membenci yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.” Nah kalau kita mampu mencintai Allah maka kita juga harus mampu mencintai sesama kita. Sebagai perwujudan cinta kita kepada sesama kita, kita harus meluangkan waktu untuk mendoakan sesama – negara kita, para pemimpin negara, dan lain-lain kita dan dengan hati yang jujur kita tidak seenaknya menginjak-injak sesama kita. 

Saya tidak yakin manusia yang tidak mengenal belas kasih kepada sesama bisa mencintai Allah. Saya tidak yakin manusia yang tergila-gila oleh harta kekayaan yang tidak halal, doanya mampu menembus hati Allah. Saya tidak yakin orang-orang yang sering mengorbankan sesamanya mampu berhubungan intim dengan Allah.

Uang lagi lagi uang. Semoga kita mampu menjadikan harta (uang), kedudukan menjadi sarana untuk pelayanan dan kemuliaan Allah?

 

Menunggang Ombak

 

Wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 54 A Pangkalpinang 33147

 

Pengantar

Saya bertugas menjadi staf redaksi Tabloit Berkat, tabloit milik keuskupan Pangkalpinang sejak 2004. Tugas sehari-hari adalah membantu mengelola Tabloit Berkat. Pada jam kerja setiap hari berada di kantor. Di luar jam kerja banyak orang meminta tolong untuk aneka keperluan seperti mencari sumber mata air, mengecek kesehatan, menengok orang sakit di rumah sakit atau di rumah umat, membantu melayani ekaristi ketika pastor paroki di wilayah Bangka Belitung  meminta bantuan, dan lain-lain.  Pastor Calvin, pasto koasi Ujung Beting meminta bantuan kepada saya untuk mencarikan sumber mata air di stasi-sati. Hampir setiap stasi berada di tempat terpisah berjauhan satu sama lain di pulau-pulau di wilayah kepuluan Lingga. Berikut ini cerita pengalaman penulis selama melanglang buana di kepuluan Lingga.  

Pulau Tanjung Pinang – Pulau Pancur

Saya berangkat bersama pastor Marcel Gabriel, pastor Yance dan Piter Padiservus dan Bapak Agung dari pelantar II Tanjung Pinang. Rombongan naik kapal Ferry KM Indo Arena 88 pukul 10.45 wib menuju ke pulau Pancur kepulauan Lingga 23 Mei 2005.  Pastor Calvin menyambut kehadiran kami pukul 15.25 wib.

 Kami meninjau tanah dan rumah sederhana milik gereja di Pancur 100 meter dari tempat kami makan. Rumah tersebut terbuat dari papan kayu dan digunakan oleh bapak Petrus untuk mengajar bahasa Inggris siswa-siswi SD dan SLTP. Kondisi ruang belajar terdapat 10 bangku dan 10 meja kecil. Di sinilah Mgr Hilarius mempunyai mimpi mendirikan pelayanan kesehatan Baktiwara untuk orang-orang miskin, mendirikan sekolah, asrama, gereja bahkan pastoran.  

Kami meninggalkan pulau Pancur pukul 16.45 wib dengan pompong. Perjalanan ditempuh selama 1jam 45 menit. Pukul 18.00 wib seluruh umat menyambut kehadiran kami. Kehadiran imam bagi penghuni pulau diibaratkan pembesar.  Orang sederhana melihat di balik penampilan. Penampilan yang terlihat memanglah manusia biasa. Di balik yang terlihat ada pembawa berkat bagi umat berkat tahbisan imam. Sosok manusia biasa tetapi dia menghadirkan Uskup.   Umat sederhana pun mempercayai juga bahwa imam pun bisa membantu mencarikan dan mengusahakan air bersih untuk mereka.

Renungan pastor Calvin menginspirasikan pencarian sumber mata air bersama umat pukul 09.00 wib tertanggal 24 Mei 2005. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah menjadi pelayan sekalian orang. Barangsiapa mengandalkan kekuatan Allah, maka ia akan mengalami keselamatan” (Markus 9:30-37).  

Air sering dilambangkan dengan kehidupan. Allah pun dalam Yohanes 6 melambangkan diri-Nya dengan Air Hidup. Manusia tidak bisa hidup tanpa air. Manusia tidak bisa hidup tanpa Allah. Hidup manusia  adalah anugerah Allah. Adalah keharusan bagi orang beriman bahwa dalam hidup harus mengandalkan Allah.  Karena Air adalah sumber kehidupan, maka dalam pencarian sumber mata air saya meminta kepada Allah , pencipta bumi dan segala seisinya. Ranting, pendulum, besi dan alat lain hanya sebuah alat. Yang utama dalam pencarian sumber mata air adalah komunikasi kita dengan Allah.

 Komunikasi dengan Allah menghantar saya memasuki keheningan – ketenangan lahir dan batin. Ketenangan lahir – batin merupakan kunci utama menangkap gelombang listrik yang dipancarkan oleh gerak sumber mata air bawah tanah.

 Meninggalkan Pulau Ujung Beting Menuju ke Pulau Pancur

Pukul 06.45 wib pompong kami meluncur meninggalkan pulau Ujung Beting menuju ke Pulau Pancur di bawah gerimis hujan. Air dari langit memberi kehidupan kepada semua maklhuk hidup, yang baik maupun yang jahat. Dingin pagi dan gerimis membuat kami tidak banyak berbincang di sepanjang perjalanan. Kesunyian lautan dengan di pemandangan gunung Daek bercabang tiga memukau hati kami.  

Pemikiran pastor Marcel Gabriel, bekerja di Komisi Bidang Pendidikan  keuskupan Pangkalpinang menjadi buah pemikiranku. “Setiap manusia mempunyai tujuan. Apa tujuan kalian datang ke pulau Ujung Beting? Apa harapan, cita-cita, impian dalam benak anda ketika anda meninggalkan kampung halaman anda? Apakah setelah sekian lama anda berada di tempat ini tujuan anda sudah tercapai? Bagaimanakah anda mencapai tujuan tersebut?”  

Semua manusia harus mempunyai tujuan. Tujuan tersebut harus diperjuangkan. Dalam perjalanan waktu kita harus berani mengevaluasi perjalanan hidup kita. Sudahkah langkah hidupku menuju ke arah yang jelas atau justru keluar dari relnya? Apakah tujuanku datang ke pulau Ujung Beting? Betulkah ada kerinduan menolong mencarikan sumber mata air atau mau refresing?  

Sementara kami asyik merenung (asyik bergulat dengan diri sendiri) dalam keheningan lautan luas, rantai mesin pompong kami putus. Beberapa menit kami terkatung-katung di laut. Situasi seperti ini mendebarkan bagiku karena aku tidak bisa berenang. Dalam ketakutan saya menengadah ke langit dan berdoa. ”Beginikah upah menolong orang?”  

Sembilan menit setelah saya berdoa dan terkatung-katung di atas sampan, ada kapal nelayan melewati kami. Kami berteriak minta tolong kepadanya. Segera nelayan tersebut datang menolong kami. Padahal nelayan tersebut tidak mengenal kami. Padahal sukunya berbeda dengan kami. Padahal agamanya pun berbeda dengan kami.

Dia mau menolong kami tanpa melihat perbedaan yang ada di antara kami. Yang dilihatnya adalah manusia yang membutuhkan pertolongan dan dia bisa menolong.  Dia menarik pompong kami dengan pompong miliknya. Perjalanannya menjadi lebih lambat dari biasanya, tetapi dia tetap bersukacita. Dia sungguh bijaksana. Bisakah kita yang berpendidikan dan berdomisili di kota mempunyai sikap bijak seperti itu?

Bisakah kita menolong orang tanpa pamrih? Bisakah kita menolong orang karena dia memang membutuhkan pertolongan? Bisakah kita menolong bukan didasarrkan atas suka dan tidak suka, tetapi digerakkan oleh prinsip moral – spiritual? 

Pulau Pancur Melaju ke Pulau Air Batu

Setelah kami kenyang menyantap 1 nasi, 1 gelas kopi, kami berpindah ke speed boat. Kami berangkat dari Pulau Pancur pukul 09.00 menuju ke pulau Air Batu di kepulauan Lingga.

Di tengah gelombang dan laju spead, saya sangat khawatir sekali dengan harta benda dan nyawa. “Bagaimanakah kalau HP 6630, Jam tangan, Digital baru, uang 2 juta, beberapa surat penting terkena air? Pastilah rusak.”  

Status imam sudah melekat. Kelekatan duniawi dan nyawa masih kental. Padahal selaku imam harus berani lepas bebas terhadap segalanya: harta, wanita, kedudukan. Keterikatan hanya membelenggu dan membuat pikiran menderita. Sikap lekat terhadap diri sendiri dan barang menghalangi langkah seorang imam mencapai tujuan. 

 Speed boat kami terguncang hebat oleh arus deras di sebuah selat Potot Kepulauan Lingga. Spead hampir saja terbalik oleh putaran air. Seluruh penumpang pucat terkejut. Wajahku puca pasi. “Saya takut mati, Tuhan!” Ketakutan akan kematian mulai mereda setelah kapal bisa dikendalikan dengan baik.  

 Keramahan Bapak Herman di Pulau Air Batu mencairkan ketegangan kami. Beliau pun juga sungguh santun dan sangat menghormati kehadiran imam. Beliau meyakini bahwa pelayanannya tersebut berkenan di hati Allah. 

 Pulau Air Batu Meluncur Pulau Manik

Setelah kami cukup beristirahat dan makan kenyang di rumah Bapak Herman, kami melanjutkan perjalanan dari Pulau Air Batu ke Pulau Manik dengan pompong bapak Herman. Rantai pompong putus di tengah perjalanan.

Kami terkatung-katung di laut. Kami mencoba bekerjasama mendayung pompong mendekati pulau manik dengan kayu. “Saya takut mati. kalau saya mati maka jasat saya kemana? Kalau tubuh saya hilang tenggelam, saya pulang tinggal nama” 

 Ada bagian yang takut mati. Ada bagian lain sudah siap dengan kehidupan baru. Bagian yang sudah siap dengan kematian berujar kepada bagian yang takut kematian,”Hidup dan mati adalah milik Kristus. Selamanya hidup kita milik kristus. Tidak akan ada yang mampu memisahkan cinta kita dengan Cinta Kristus. Cinta itulah yang membuat hidup selamanya.”

 Hidup harus berdamai dengan diri sendiri. Hidup memang milik Tuhan. Biarlah diatur oleh Tuhan.  Dua penduduk Pulau Manik mendengar teriakan kami. Mereka segera menolong dengan sampan mereka.

Pemikiran pastor Calvin mengacu dari Matius 25:14-15; 19-27.30 meneguhkan kami. “kita harus bekerja dengan  giat. Kita kembangkan talenta, anugerah Tuhan untuk pelayanan dan kemuliaan Tuhan.” Pencarian sumber mata air adalah pelayanan untuk umat. Kita harus  melayani dengan segala konsekwensi demi kemuliaan Tuhan.  

Pulau Air Manik Pulang Menuju Pulau Senayang

Setelah kami selesai ramah tamah dan membantu penduduk pulau mencarikan sumber mata air, kami meninggalkan pulau manik menuju ke pulau Senayang dengan pompong milik bapak Herman. Di atas pompong saya sudah berfikir negatif, « kalau naik pompong milik bapak Herman, pengalaman kemarin bisa terulang kembali. » Pikiran tersebut baru 10 menit berhenti, rantai pompong putus di selat potot kepulauan Lingga (tempat yang sama dengan hari sebelumnya).

Pikiran negatif menjadi kenyataan. Apakah itu kebetulan atau kemampuan rantai pompong sudah buruk ?  25 menit kami terkatung-katung di laut lepas. Tidak ada lagi perasaan takut mati. Yang ada adalah kecemasan jadwal kapal dari pulau senayang ke tanjung Pinang.

Pikiran distel ulang. Segera saya berfikir bahwa rantai segera bisa diperbaiki dan pompong bisa tiba tepat pada waktnya. Pikiran positif dan imaginasi menjadi kenyataan. Mas Agung berhasil menyambung rantai putus dengan perlengkapan ala kadarnya. Sebagai seorang beriman saya melihat bahwa ini juga pertolongan Tuhan. Pukul 07.50 wib kami sudah berada di dalam kapal ferry KM Indo Arena 88 jurusan Senayang Tj Pinang.  

Penutup

Mimpiku membantu mencarikan sumber mata air sudah terwujud. Proses pencapaian tujuan membawa pada pengalaman ke pengalaman indah. Pengalaman tersebut mendidik diri agar semakin bijaksana. Saya berharap para pembaca juga peka terhadap sapaan Allah melalui perristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali Allah bisa berbicara melalui peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Kalau hati kita terbuka dengan sapaan Allah, maka kita mendapat pelajaran indah. Pelajaran-pelajaran dari pengalaman ini menghantar kita semakin lebih dewasa.

 

Menilik Bencana

wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147

 

 Duluan Aceh tertimpa bencana alam, akibat gempa bumi yang memicu terjadinya tjunami. Penduduk kota Aceh banyak memeluk agama Islam.  Bahkan di sana diberlakukan syariat Islam. Aturan itu misalkan, para penduduk Aceh diwajibkan untuk mengikuti kaidah-kaidah Islam seperti memakai jilbab bagi wanita, memakai peci bagi para lelaki. Banyak orang muslim di Aceh hari Jumaat diharuskan beribadah. Peraturan itu sebagai pertanda bahwa mereka berjuang menghidupi alquran dan hidup baik berdasarkan ajaran-Nya. 

 Beberapa fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa mereka  sudah dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang dengan Tuhan seharusnya membuat orang semakin menemukan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Ada keyakinan umum bahwa Tuhan yang disembahnya akan melindungi para penyembahnya – hambanya / umat-Nya –  dimanapun mereka berada dan dalam segala situasi.  

Menjadi bahan permenungan bagi kita, betulkah keyakinan semacam itu masih bisa dipertahankan? Kalau Tuhan melindungi semua umat muslim yang taat pada rukun islam tetapi mengapa bencana besar menimpa Aceh? Apa dibalik kejadian besar itu? Apakah itu hanya peristiwa alam, dan tidak ada kaitannya dengan rencana Tuhan? Mungkinkah di balik kejadian menggegerkan itu Tuhan mau berbicara kepada bangsa Aceh?

Kalau kejadian itu dilihat sebagai hukuman/bencana, maka argumen di atas runtuh.  Menjadi sulit dinalar ketika orang mengkaitkan peristiwa itu dengan “hari baik” orang katolik. Hari baik sengaja diberi tanda kutip. Di mata Tuhan nya orang Kristen semua hari adalah baik. Yang dimaksud “hari baik” oleh penulis adalah hari istimewa dimana orang katolik merayakan Natal.  Natal adalah Hari Raya Yesus terlahir ke dunia – Allah menjelma menjadi manusia. Di daerah-daerah terpencil Natal sangat mungkin baru bisa dilaksanakan tanggal 26 Desember atau 27 Desember.  

Pada saat orang Kristen merayakan kelahiran kristus di hari yang baik, orang Kristen mengalami kegembiraan Natal. Di situ Kristus hadir menyapa dan peduli dengan manusia. Luapan kegembiraan dirayakan gegap gempita. Beraneka bentuk ungkapan kegembiraan umat Kristen merayakan Natal bisa menghabiskan uang bermilyaran rupiah. Saat-saat orang Kristen bergembira ria, menghambur-hamburkan uang demi sebuah perayaan di berbagai penjuru Nusantara dan bahkan dunia, di sisi lain pada hari yang bersamaan, banyak penduduk kota Aceh yang taat kepada ajaran-Nya dilanda bencana Tjunami.

Agama Kristen bergembira pada hari raya Natal, Agama muslim tertimpa bencana gempa bumi yang memicu tjunami. Agama yang satu sedang mencecap kegembiraan, agama yang lain mencecap kepahitan hidup, bencana Alam. Menjadi sangat tidak logis manakala muncul SMS,” bencana Alam Tjunami yang menimpa Aceh tepat 26 Desember 2005 di hari Natal. Kejadian itu bukanlah kebetulan hari Natal. Semua kejadian sudah direncanakan oleh Tuhan. Tuhan mau menegur orang berdosa.”  

Di balik pemikiran seperti itu bisa membingungkan orang. Orang bisa membuat suatu penghakiman atas orang lain. Hari raya orang kristen membahagiakan dan paling benar, sedangkan orang lain keliru. Manakala ego orang muncul mungkin bisa berfikir begini, kami orang saleh dan benar, sedangkan orang lain lah yang keliru dan mungkin berdosa. 

Mari kita menyimak di sudut lain dari belahan bumi Indonesia. Di pojok-pojok Nias Sumatera Utara juga mengalami hal serupa. Bencana alam akibat gempa dan riak gelombang laut memporak-porandakan banyak bangunan beton. Banyak orang mati mengenaskan akibat bencana itu. Menurut data statistik penduduk Nias banyak yang memeluk agama kristen.

Nah, bisakah pemikiran di atas sekarang dikenakan untuk orang-orang ini dan kejadian ini? Orang Nias yang banyak memeluk agama kristen menderita akibat gempa bumi, sedangkan orang-orang muslim di belahan padang bahagia merayakan kehidupan mereka? Apakah orang-orang Nias yang menderita adalah orang-orang yang sedang ditegur Allah? Apakah teguran itu mengingatkan kepada mereka bahwa keyakinan mereka atau tindakan mereka salah?  

Menjadi tidak masuk di akal lagi, manakala kejadian itu masih dikaitkan dengan hari baik. Kejadian tragis itu terjadi setelah Paskah: Tuhan bangkit. Kebangkitan Tuhan mengapa justru membawa kesengsaraan bagi orang-orang kristen? apakah Allah orang Kristen memakai hari orang Kristen untuk menegur orang Kristen?

Apakah hari baik orang Jawa menjadi pertanda hari buruk bagi orang Kristen? Apakah agama Jawa lebih baik dari agama Kristen? Apakah Allahnya orang jawa sedang menegur Allahnya orang Kristen?  Jogja menangis terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Gempa bumi berpusat di pantai selatan pulau Jawa. Gempa tersebut menghancurkan banyak bangunan tembok-tembok kokoh kota Jogjakarta. Hampir 6.000 nyawa orang jawa melayang akibat gempa. Beribu-ribu orang meringis menderita tertimpa bebatuan. Kelaparan mengintip para korban bencana dari hari ke hari.  Nasib masa depan penduduk jogja suram.  

Bagi orang Jawa hari itu adalah hari sial. Sebaliknya bagi orang katolik hari itu adalah “hari baik”. Penulis mengatakan baik karena hari bencana alam ini bertepatan dengan hari kenaikan Yesus ke surga. Orang katolik bersorak gembira merayakan kenaikan Tuhan. Kenaikan Tuhan bertepatan dengan gempa bumi di Jogja. Orang-orang Katolik berbahagia merayakan kenaikan Tuhan, orang Jawa menangis tertimpa bencana Alam. Hari itu baik untuk orang katolik, tetapi bencana bagi para korban gempa bumi. Apakah lalu kita berani menarik kesimpulan bahwa orang katolik paling benar sedangkan orang Jawa dan beragama Jawa adalah sesat dengan bukti-bukti tersebut? Apakah pola pemikiran bangsa Yahudi pada jaman perjanjian lama menjadi patokan di sini: siapa yang menderita berarti berdosa, sedangkan yang bahagia adalah orang yang benar, saleh dan terberkati? 

Dosa dan suci adalah urusan Tuhan. Patokan dosa atau tidak itu khan bisa  tergantung dari persepsi orang. Bagi mereka benar, tetapi bagi kami salah. Bagi kami benar, bagi orang lain salah. Bagi kami salah, bagi mereka adalah benar. Satu sisi orang bisa menganggap paling benar dan menyalahkan orang lain, atau sebaliknya. Padahal sangat mungkin sekali salah atau benar ditentukan oleh latarbelakang tiap orang. Keyakinan yang berbeda bisa menyebabkan hasil penilaian dari satu peristiwa berbeda. Orang yang berbeda kebudayaan bisa menghasilkan perbedaan dalam memandang satu masalah. Perbedaan pendidikan  orang pun akan mempunyai perbedaan hasil di akhir penilaian kalau memandang satu masalah.  

Masihkah kita bisa mempertahankan argumentasi-argumentasi yang berkembang bahwa itu adalah teguran untuk agama tertentu? Lantas mungkinkah tejadi kekeliruan pemikiran: pastilah agama itu keliru dan agamaku paling benar dan paling super? 

Perlu sangat hati-hati untuk menjadikan sebuah bencana sebagai pijakan menilaian dan bahkan menghakimi agama lain. Dari data-data yang ada, yang bisa pasti dicatat adalah bahwa ada bencana alam berturut-turut menimpa bangsa Indonesia. Bencana Aceh, bencana Nias, bencana Jogja, dan bencana alam lain datang silih berganti.

Bencana alam itu menimpa semua manusia. Dia tidak memandang agama, suku, ras, golongan, kaya miskin.  Mungkin 4 tahun ke depan Merapi di Jogjakarta akan meletus dahsyat. Letusan itu akan memakan korban lebih banyak lagi dan akan lebih memporak-porandakan banyak bangunan di Jogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan 28 tahun ke depan Krakatau di Jawa Barat akan meledak dahsyat. Ledakan itu pasti akan memakan korban jiwa penduduk Jakarta dan sekitarnya.

Banjir, tanah longsor, gempa bumi, tjunami, dan bencana alam lain masih mengintip – menunggu kita. Lebih bijak kalau bencana silih berganti yang sudah terjadi dan akan terjadi dijadikan oleh semua manusia sebagai bahan bermenung: hidup dan mati di tangan Allah; kapan kita hidup dan kapan kita mati ditentukan oleh Allah.

 Permenungan sederhana ini semoga menghantar orang untuk semakin dekat dengan Allah, mencintai sesama yang menderita dan tidak mudah menghakimi keyakinan orang lain. Bencana semoga juga membuat kita sadar bahwa penghargaan kita atas orang lain berdasar pada kemanusiaan; bukan pada agamanya atau sukunya. Dengan begitu kita lebih bisa menghargai agama / kepercayaan orang lain dan suku lain. Mari kita sama-sama berjuang agar kita semakin hari semakin menyerupai Allah.

 

Iman Secuil Sawi

Keuskupan Pangkalpinang

Bapak Anonius Tjong Li adalah salah seorang penduduk di pulau Mengkait kepulauan Anambas. Dia orang tionghoa tetapi dia memperkenalkan dirinya sebagai suku laut. Identitas ini dikenakan kepadanya karena dia tinggal di laut, hidup dari laut, setiap hari bergelut dengan laut. Mata pencaharian utama dia dari laut. Dia bagian tak terpisahkan dari laut. Bahkan dirinya mengibaratkan bahwa laut adalah saudaranya. 

Awal mula pegangan hidupnya adalah kepercayaan (animisme). Setelah orang-orang Flores beragama katolik masuk ke wilayah pulau Mengkait di wilayah kepulauan Anambas (kepuluan Tujuh), dia mulai mengenal agama katolik. Dia memutuskan untuk masuk menjadi agama katolik “Allah sangat dekat dengan saya! Saat saya menerima sakramen maha kudus atau mendengarkan sabda Tuhan, disitulah Allah dekat dengan hati saya. Ini keyakinan saya.” 

Iman bahwa Tuhan sangat dekat dengan manusia sangat berdampak besar dalam kehidupan. Kisah nyata anak manusia suku laut ini pernah terjadi ketika dia naik perahu dari pulau mengkait ke pulau Tarempa 22 Desember 2007.  katanya kepada penulis,“Saya naik pompong (perahu kecil) dari pulau mengkait pukul 2.00 wib. Sampai di pulau Tarempa pukul 07.00 wib. Waktu berangkat hati harus mantap! Kemantapan hati menerjang gelombang laut setinggi 5 meter harus ada! Kalau hati ada keraguan, maka saya tidak melaut! Keraguan bisa mencelakakan, sedangkan kematapan hati pasti membawa keselamatan! Saya yakin kalau Allah di pihak kita, pastilah saya selamat!”  

Tjong Li tidak berpendidikan tinggi. Namun demikian ia mempunyai iman bahwa Allah menyertainya. Kalau Allah menyertainya, maka dia pasti selamat. Keyakinan bahwa dia selamat ini membuahkan kemantapan hati. Mampukah kita mempunyai iman secuil seperti anak suku laut ini? Semoga. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang, 7 Januari 2007).    

Awal Kenyataan

wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangaklpinang 33147, 10 Maret 2008  

 

Mengapa pikiran dan visualisasi sering menjadi kenyataan? Kenyataan apapun seringkali didahului dengan pikiran dan visualisasi. Pikiran tidak berbentuk, sedangkan kenyatan sudah berbentuk. Misalkan, sebelum ibu melahirkan aku, dia sudah berfikir membuat aku. Pikiran itu menjadi kenyataan ketika aku terlahir. Setelah aku terlahir, aku sudah berbentuk. atau sebuah meja adalah kenyataan. Sebelum seseorang mencipta meja, maka dia terlebih dahulu memikirkan dan menvisualisasikan meja.

Banyak kejadian itu mengalir dari kedua hal tersebut di atas: dari tidak berbentuk menjadi berbentuk dari bentuk ke tidak berbentuk. Tidak bisa dipastikan bahwa apa yang kita pikirkan akan menjadi kenyataan. Banyak kenyataan seringkali diawali dengan bayangan atau terbayang. Aku membedakan antara terbayang dengan membayangkan. Membayangkan ada unsur kesengajaan, sedangkan terbayang itu gambaran muncul dengan sendirinya. Kalau bayangan itu muncul sendiri dalam doa hening, maka sering itu menjadi nyata.

Saya mendoakan orang. Pada waktu berdoa dalam keheningan sering muncul seperti film di benak kita. Gambaran yang muncul bisa berupa peristiwa masa lalu yang didoakan, masa kini yang didoakan atau masa depan yang didoakan. Gambaran tersebut saya anggap belum menjadi kebenaran. Bisa saja bayangan tersebut tidak sesuai dengan realitas. Untuk itu setelah selesai berdoa kita harus mengecek bayangan tersebut kepada orang yang kita doakan. Misalkan ketika berdoa muncul bayangan lambung sakit. Selesai berdoa hal tersebut ditanyakan kepada orang yang kita doakan. Betulkah bahwa kau sakit lambung? Kalau memang dia sakit lambung, maka bayangan yang muncul dalam doa adalah kebenaran atau nyata.

 Contoh di atas merupakan gambaran yang melukiskan realitas yang sudah dan sedang dialami oleh pasien. Berpijak dari pengalaman tersebut, cara ini bisa juga dipakai untuk peristiwa yang akan datang. Artinya bayangan yang muncul dalam doa tanpa disengaja bisa menjadi kenyataan pada waktu yang akan datang. Pada saat muncul bayangan dalam benak, realitas bayangan tersebut belum menjadi kenyataan. Baru menjadi kenyataan setelah beberapa waktu kedepan.

Apakah bayangan itu turun dari Atas? Apakah itu semacam wahyu dari Atas? Seolah-olah jawabannya bisa demikian halnya. Tetapi menurut pengalamanku, bayangan itu mempunyai proses. Entah kapan saya pernah memikirkan sesuatu. Pikiran tersebut perlahan-lahan mengendap di pikiran bawah sadar. Memori tersebut suatu saat bisa muncul tanpa disengaja.

Meminjam pemikiran pastor Vaselo, seorang rohaniwan dari MSC, sangat mungkin kita bisa mengetahui sesuatu tanpa kita menyelidiki secara empiris. Mungkin saja Allah menganugerahi inspirasi kepada seseorang tentang penyakit seseorang, persoalan hidup seseorang, atau masa depan seseorang. Kepastian, keselamatan dan kemuliaan Tuhan merupakan unsur karya Allah.

Berpijak dari pengalaman hampir setiap pikiran dan disertai dengan visualisasi sering menjadi kenyataan.  HAMPIR SEMUA KEJADIAN YANG TERJADI SEKARANG- TERWUJUD, SEBELUMNYA PERNAH TERPIKIRKAN DAN TERVISUALISASIKAN. Masa laluku adalah masa kini. Masa yang akan datang adalah masa sekarang. Bagaimana masa depanku sangat ditentukan oleh pikiran dan visualisasi masa sekarang. 

Silahkan percaya atau tidak dengan pengalaman tersebut di atas. Saya berharap kepada semua orang untuk membayangkan / menvisualisasikan dan memikirkan sesuatu yang indah, luhur demi masa depan. Pikiran dan visualisasi dan pikiran luhur sangat  besar dampaknya untuk perjuangan anda.  Mohon jangan membayangkan anda jatuh cinta dengan saya atau bahkan menikahiku hhe he he he.. karena saya adalah seorang imam. Jangan membayangkan bahwa anda menjadi penjahat, nanti anda bisa repot. he he..

 

 

Keluar dari Kubangan

Keluar dari Kubangan

wisma keuskupan Jalan Batu kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147   

Menjelang senja seorang wanita datang ke kompleks kesukupan. Dia menenteng plastik merah. Plastik itu berisi pakaian-pakaian kumal. Dia mencari seorang imam di kompleks keuskupan Pangkalpinang. Om Zakarias, penjaga malam mengusir wanita tersebut. Dipikirnya dia tidak waras. Karena bincaranya tidak jelas. Lidahnya cedal sejak kecil sehingga dia tidak jelas berbicara.  Dia mengakui Omaini. Lain waktu ia memperkenalkan diri sebagai rosa. Rosa dalam bahasa latin adalah bunga.

Rosa adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia dilahirkan dari pasangan Siti dengan Murhaden. Dia tidak ingat tahun kelahirannya sendiri. Kampung halaman sekaligus tempat kelahirannya masih diingatnya. Desa Batu Putu Sukrame Lampung itulah asal usulnya. Orang tuanya menyekolahkan Siti di Sekolah Dasar Negeri III Parendoan Lampung, tidak jauh dari kampung halamannya. Ketidakjelasan identitas ini membuat penghuni keuskupan ragu untuk menerima dia. Siapa tahu dia tidak waras atau penipu.  

Rosa datang lagi 10 menit kemudian. Dia berusaha mendapatkan seorang imam. Melihat kenekatan Rosa, om Zakarias taklhuk. Dipertemukanyalah dia dengan pastor Beny Balun, Sekjen keuskupan. Dia mengaku di hadapan beliau bahwa ia adalah pelarian dari parit VI pangkalpinang Bangka. Parit VI adalah tempat pelacuran ternama di kota ini. Rosa minta perlindungan dan pertolongan dari seorang imam. “Saya lari dari parit VI. Saya mau pulang ke Lampung tetapi tidak mempunyai uang. Tolonglah saya!” ujar Rosa alias siti meminta. 

Menguji kesungguhan hati dan kejujuran hati si siti, pastor Benny memintanya untuk datang kembali esok 6 Februari 2007 jam 08.00 wib. Kalau dia berani datang maka dia sungguh memerlukan dan tidak menipu. Melihat kesungguhan dan keberanian anak ini, maka Siti alias Omaina coba dipesankan tiket kapal laut dari Pelabuhan Mentok ke pelabuhan Boom Palembang. Dari palembang ia dibelikan tiket kerata api ke Lampung. Tiket kapal laut dan uang pembelian kereta api bisa diambil pukul 16.00 wib di wisma keuskupan pangkalpinang.   

Siti datang kembali ke keuskupan jam 07.30 wib. Dia meminta tiket yang dijanjikan kemarin. Dia tidak menepati waktu yang ditetapkan kemarin. Tiket kapal laut sudah dikembalikan ke agen. Maka permasalahan tersebut diserahkan kepada ibu Sito Kadari yang bekerja di keuskupan. Dia menangangi KBG di keuskupan Pangkalpinang. Dia diminta oleh pst Beny Balun untuk menangani masalah Siti. Kepercayaan ini dilimpahkan kepadanya, karena dia mempunyai relasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).  

Sito Kadari dan Pengurus LSM berhasil menghubungi mami Rosa di Parit VI. Tidak lama kemudian mami, sang germo datang ke keuskupan. Kemunculan germo ini membuat kecut si Siti, sehingga dia lari terbirit-birit melihat hidung belang mantan bosnya. Sang Germo mengakui di hadapan Sito dan pengurus LSM bahwa Siti alias Rosa adalah anak buahnya. Dia tidak mau sibuk berurusan dengan polisi. Maka dia memberi uang Rp. 2000.000 (2 juta rupiah) kepada Rosa melalui Sito untuk beaya tranportasi Rosa dari Pangkalipinang ke Lampung. Dengan bekal uang itu Omaini alias Rosa pulang naik pesawat melalui Jakarta ke Lampung.   

Sebelum meninggalkan keuskupan dia mengisahkan masa lalunya kepada BERKAT. “Setelah Tamat Sekolah Dasar, saya tidak lagi melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Beaya sekolah di SLTP besar. Orang tua tidak mempunyai banyak uang. Hasil penjualan singkong mama kecil. Hasil memancing bapak juga tidak cukup untuk membeayai sekolah.”  Dia berhenti sambil menutup mulutnya dengan tangannya. Dia menahan geli ketika dipanggil rosa. Dia meminta kepada BERKAT agar memanggilnya Siti.  

Ada wanita Tionghoa. Dia bernama Imel. Imel menawarkan pekerjaan kepada Siti untuk bekerja di restoran. Siti tergiur dengan iming-iming Imel, maka dia menerima tawaran tersebut. Secepatnya Siti dibawa oleh Imel ke Parit VI.

Betul dia bekerja di warung restoran milik Yuli. Tetapi dia sekaligus diminta melayani tiap lelaki hidung belang yang datang ke tempat itu. “Saya dibawa oleh imel dari lampung ke parit VI. Saya pikir saya bekerja di restoran. Tidak tahunya saya bekerja warung minuman sebagai lonte (pelacur). Setelah tamu-tamu tersebut minum, saya dibawa ke kamar. Saya disuruh untuk melayani laki-laki yang datang di dalam kamar. Kadang saya ditaboki oleh laki-laki hidung belang itu. Mungkin birahi membuatnya emosional. Mereka sering naboki (memukuli) saya. Saya sungguh tidak tahan. Saya lari dalam kondisi tubuh sakit. sekarang saya bangga bisa lepas dari Lumpur maut dan sebentar lagi berjumpa dengan orang tua.”  

Selesai menuturkan kisah hidup nyatanya, Siti meraih tas hitam pemberian salah seorang penghuni kesukupan.. Dia melangkah kearah mobil  putih L300. Bapak Yosef, sopir keuskupan mengantarnya ke Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Jejak singkat wanita lugu dari Lampung ini meninggalkan bekas. Perjuangan orang lemah melepaskan diri dari taring-taring maut singa. Semoga dia mengalami kemerdekaan.

 

 

Lupa Sejarah

Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147     

Masalah demi masalah datang melanda bangsa kita silih berganti. Masalah yang satu ditimpa masalah lain. Seringkali justru masalah tersebut dimunculkan agar mmasalah sebelumnya tertutupi. Orang akan sibuk dengan masalah baru, dan diharapkan orang lupa dengan masalah sebelumnya. 

Orang mudah melupakan hal penting, maka kelemahan ini dipakai oleh orang yang mempunyai hati busuk. Pembunuhan di kantor PDI Perjuangan Jakarta, penembakan mahasiswa tri sakti belum ada penanggungjawab utama, penembakan mahasiswa di jembatan semanggi, pembakaran beberapa supermarket oleh hantu-hantu hidup, pemerkosaan-pembunuhan-penjarahan di hari sabtu kelabu 1998, banyak pembunuhan di timor-timor, dan banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sudah terlupakan oleh bangsa kita. Padahal semua itu belum diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah.  

Mungkinkah ada pihak-pihak yang menghendaki agar masyarakat lupa dengan semua kejahatan-kejahatan semua di atas? Apakah aneka masalah yang datang setelahnya tanpa kesengajaan seperti pembunuhan munir, peledakan bom di bali atau di beberapa hotel di Jakarta, pembunuhan beruntun di poso sampai ada yang dituduh sebagai dalang di balik semua itu, konflik yang meluas di Ambon menimbulkan banyak korban jiwa, dan seambreg permasalahan menutupi permasalahan-permasalahan sebelumnya.

Kita lupa dengan masalah-masalah penting masa lalu, karena masalah baru timbul atau dimunculkan? Boleh jadi para penjahat bersorak sorai dengan tragedi bencana alam. Para koruptor bisa tidur nyenyak dengan tragedi bencana alam beruntun dari tahun ke tahun. Tjunami di aceh menelan ribuan nyawa. Gempa di Jogjakarta meluluh lantakkan banyak bangunan dan merenggut jiwa manusia. Gempa di Pangandaran, Nias, dan di tempat-tempat lain merusak tatanan yang ada dan meminta tumbal manusia. Pengeboran Lumpur lapindo di Surabaya menenggelamkan banyak rumah-rumah penduduk miskin (olah penanggungjawab pengeboran belum mampu menangani secara sempurna). Banjir bandang di kota Jakarta tahun 2207 menelan trilyunan dan nyawa tak bersalah. Kereta api anjlok dari rel engakibatkan penumpang meregang nyawa. Adam air hancur berkeping-keping, mungkin jatuh di laut, membuat penumpang sampai saat ini nasibnya tidak pasti, dan yang pasti adalah mereka mati.  

Bencana alam dan bencana akibat kelalaian manusia ini dihembus-hembuskan ke tingkat internasional. Boleh jadi para koruptor atau pelanggar hak asasi manusia bergembira karena data-data bisa termusnahkan oleh bencana atau fokus pemerintah berbelok ke masalah urgen, yakni bencana.  Rakyat kecil dan orang lemah tidak lagi menuntut mereka semua, karena sibuk mengurus sanak saudaranya yang menjadi korban alam atau kelalaian manusia. Apakah kejadian seperti itu merupakan kemenangan telak para penjahat, para pemerkosa, para pembunuh, para koruptor, para pelanggar hak asasi manusia?  

Kita seharusnya bisa belajar dari sejarah konyol permainan seperti itu, tetapi kita bisa mudah dipermainkan dengan cara-cara seperti itu. Kita mau memilih pihak penjahat atau dipermainkan para penjahat? Mari kita harus belajar dari sejarah: jangan pernah melupakan masa lalu, dan jangan kompromi dengan para penjahat.

 

Diobok-obok

wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147, 10 Maret 2008   

 

3 Maret 2003 mungkin hari dan bulan yang indah bagi semua orang tetapi bagiku gelap dan gelap. Hatiku seperti tertusuk duri. Sangat menyakitkan hati terdalam. Masih terbayang ketika aku sedang menonton temanku main sepak bola dengan lincah dan dengan taktik jitu. Permainannya begitu memukau banyak orang. Aku kagum dengannya. Aku mempunyai kerinduan selincah dia. Anganku melambung. Khayalku menjadi-jadi. 

Babak pertama sepak bola berlalu para pemain beristirahat. Aku bergabung dengan para pemain. Untuk menghilangkan dahaga para pemain mereguk air hidup sepuas-puasnya. Beberapa orang memijat-mijat kaki kanan. Yang lain memeras kaos yang penuh keringat. Mereka sedang santai. Gurauan terkadang muncul di antara kami.

10 menit berlalu permainan babak kedua dilanjutkan. Pelatih menunjuk dan mempercayaiku sebagai kipper sepak bola pada babak kedua. Hatiku sangat senang. “ini kesempatan untuk menunjukkan kemampuan kepada teman-temanku!” Permainan babak kedua semakin seru. Kekuatan kedua kesebelasan tampak seimbang. Keduanya belum berhasil mengegolkan bola ke tempat lawan. Hati sudah mulai panas. Saya sudah kurang sabar lagi.

Lima belas menit babak kedua berlalu saya mengalami cidera. “Saya berusaha menyapu bola yang datang. Tiba-tiba ada lawan yang mencoba untuk menyapu bola. Saya terlanjur menyapu bola. Ketika bola datang, kusikat dia! Yang kena bukan bola tetapi kaki lawanku! Prakk’ Kaki bertemu dengan kaki. Seketika itu juga aku terduduk di tanah. KAKIKUPATAH!” 

Pertandingan sepak bola terhenti. Teman-teman segera membawaku ke rumah sakit tetapi saya menolaknya. Aku lebih suka berobat ke dukun tulang. Sepanjang jalan menuju ke tempat dukun tersebut sekujur tubuhku mengucur keringat dingin. Sepajang jalan aku meringis menahan sakit luar biasa. Hatiku sediki lega manakala aku sudah berada di rumah SI DUKUN! Tangan kanan dukun itu memegang ujung pergelangan kaki yang patah sedangkan tangan kirinya memegang lutut! Ia mengamat-amati kaki patahku sejenak. Ia meraba-raba kaki patahku. Ia terawangi kaki patahku. Sambil bibirnya komat-kamit membaca mantra. Ia kucurkan minyak kelapa ke kakiku. Prak! Tiba-tiba Ia menarik kedua kakiku! Aku teriak keras sekali seperti orang kesurupan, aduh! “Sudah selesai!”kata sang dukun!” 

Kaki dibalut dengan kain hitam. Kencang sekali ikatan itu. Sakit terasa seperti darah beku. Setelah kaki terbalut kain hitam, dukun itu kembali mengambil minyak kelapa bekas. Dia kembali komat-kamit membaca mantra. Mantra selesai dibaca, Ia tuangkan minyak itu di atas kaki patah.  “Berapa pak beayanya,’ tanyaku pada sang dukun. Muka dukun itu tersenyurn sambil kepala mengangguk-angguk, tangan kanannya mengelus jenggot hitam tipisnya. Sebentar ia berfikir keras tetapi tak begitu tampak di raut muka. “Terserah adik! Berapa adik mampu membayar. Saya tidak menentukan harga.” Ujar dukun itu. Kuberi dia Rp. 200.000 (dua ratus ribu).

Kutinggalkan rumah dukun itu bersama-sama dengan teman-temanku. Hatiku sedikit lega. Saya yakin mantra dukun dan ketramplian tangan sang dukun pasti CES PLENG! Hari-hari tubuh terbaring di atas ranjang. Tubuh tak mampu berjalan. Kurindu bermain bola bersama kawan­kawan. Kuingin bisa lagi kebut-kebutan di jalanan sampai membuat miris orang. Kuingin lari-lari mengelilingi stadium. Semua keinginan sebatas angan-angan. Kaki rapuh, sakit.

Semakin hari justru semakin parah. Mama kandungku tercinta tajam rasa sebagai wanita. Melihat kondisi buruk tersebut segera dia bawaku RS olehnya. Dokter tulang memeriksa bagian yang patah berdasarkan rontgent. “Badanmu panas karena kau infeksi. Infeksi diakibatkan dari luka kaki patahmu. Tulang patah itu menusuk daging. Daging yang tertusuk itu terluka membusuk dan infeksi. Bila kaki ini tidak segera dioperasi maka sangat mungkin sekali membusuk dan diamputasi!”

Mendengar rekomendasi dari dokter ahli tulang tersebut mama segera mengambil keputusan agar kaki patah dioperasi.  Aku sangat takut saat mau mernasuki ruang operasi. Hati lebih takut daripada ketika kakiku diobok-obok oleh dukun tulang. Aku sangat gelisah. Di tempat pembaringan aku hanya bisa menyebut nama TUHAN! Singkat sekali kata yang selalu terucap di bibir. Biar demikian kata itu mampu menyihirku. Kata itu mampu memberi kekuatan hati yang galau. Ketenangan hati membantu proses operasi. 

Hati sangat lega dengan berjalannya operasi sesuai dengan rencana dokter. Kursi roda didorong seorang perawat cantik dan bahenol. Di atas kursi ku berujar,”Syukur bagi-Mu Tuhan. Berkat kemurahan hati-Mu, Kau selamatkan daku.”  

Seminggu berlalu aku diperbolehkan pulang ke rumah. Hari-hari kuisi dengan kontak hatiku dengan hati-Nya. Kasih Tuhan pasti menopang setiap langkah dalam hari-hari. Dalam kerapuhan kita menjadi sadar bahwa kita adalah bukan apa-apa, bagaikan bejana yang rapuh. “Aku membutuhkan-Mu,  Tuhan!” 

3 bulan aku sudah mampu berjalan. Penderitaan berlalu. Kegembiraanku meluap. Penderitaan berubah menjadi sukacita. Terimakasih Tuhan. Terimakasih mama. Berkat bantuan-Mu aku mampu sembuh seperti adaku sekarang ini.