Wisma keuskupan, 26 Agustus 2008
Akwen dengan Aen datang ke gua Maria Yung Fo. Mereka menyalakan lilin. Lilin tersebut diletakkan di dalam gua. Mereka memberi hormat kea rah patung bunda Maria. Dua kaki mundur dua langkah. Mereka mulai berdoa masing-masing. Mereka pasangan tetapi mereka berdoa pribadi masing-masing.
Mereka menghampiri saya di pojok halaman gua Maria Yung Fo di bawah pohon bambu kuning. “Kami datang kemari untuk mohon berkat dari Tuhan agar kerja lancar. Sudah seminggu usaha kami tersendat-sedat. Pihak pengembang pekuburan santosa jalan Koba Pangkalpinang menyewa alat berat kami untuk membersihkan beberapa wilayah di pekuburan Jalan Koba Pangkalpinang. Anak buah tidak bisa bekerja. Banyak kejadian ganjil terjadi di lokasi.” Aken menuturkan kisah alat beratnya.
“Baru kerja 1 jam alat berat rusak. Ban alat berat bisa terlepas. Padahal itu sangat berat sekali. Ketika operator beristirahat, alat berat bisa berjalan sendiri. Bagian depan alat berat bisa berputar-putar. Apakah romo percaya hal semacam itu?” Aen melengkapi data kejadian ganjil di pekuburan dan menanyakan fenomena tersebut.
“Oh ya? Orang hidup mengganggu orang mati, mati mengganggu orang hidup”
“Jalanan di pekuburan tempat kami bekerja rata. Tetapi alat berat kami bisa miring seperti terbalik. Apa itu tidak aneh. Heh … ngeri. Banyak penunggunya. Kami sudah permisi dengan penunggu kubur, bahwa di tempat tersebut kami ini cari makan dan bersifat sosial. Karena karya sosial seperti ini tidak dipungut banyak beaya. Cukup untuk operator dan solar.” Akwen masih menyajikan data keganjilan di pekuburan.
“Oh ya? Aduh … Orang hidup mengganggu orang mati, mati mengganggu orang hidup” “
“Pihak pengembang meminta untuk menguruk kolong di atas tempat kami bekerja yang sekarang ini. Berapapun mereka membayar, saya tidak berani. Pernah terjadi seseorang mati di tempat itu. Penunggunya ganas.” Dia kecut melihat satu kejadian mendahului bahwa orang mati karena mengotak-atik sumber mata air.
“Ya, sayang sekali mematikan sumber mata air. Biarlah tetumbuhan tetap hidup. Sumber mata air bisa terpelihara dengan baik.”
“Setelah pohon-pohon ditebang. Para penunggu kubur berpindah ke rumah-rumah penduduk. Beberapa penduduk mengisahkan kepada kami bahwa di antara mereka mendapatkan penampakan atau gangguan. Ada leher penduduk dicekek oleh penunggu kubur. Ngeri wo … “
“Penebangan hutan mengganggu keseimbangan alam. Keseimbangan alam berdampak pada manusia. Kesadaran tersebut hanya sekedar wacana bahwa ulah alat-alat berat berdampak pada kerusakan alam dan kerusakan alam berdampak pada manusia. Lantas pengusaha menyalahkan orang mati (arwah) mengganggu orang hidup. Padahal mungkin orang hidup mengganggu ketenangan orang mati.”
“Beberapa kejadian terdahulu teratasi dengan air suci. Air suci direcikkan di alat berat dan tempat yang akan kami ratakan. Sekalipun alat berat tersebut bergerak sendiri, air suci bisa menghentikannya.”
Akwen mengimani bahwa air suci mampu menetralisir keganjilan tersebut. Dia meyakini bahwa para penunggu takut dengan air suci. Memang air suci mampu membersihkan tempat-tempat kotor. Tetapi apakah dia mampu pada tingkat kesadaran lebih tinggi bahwa air suci tersebut mengingatkan akan baptisan yang pernah diterimanya? Berkat baptisan seseorang menjadi hidup baru, meninggalkan pola lama dan menjadi anak-anak Allah. Pola hidup baru membawa konsekwensi bahwa seseorang harus hidup menurut kehendak Allah. Apakah memporak-porandakan alam merupakan karya selaras dengan Allah?
Saya menyodorkan air suci kepada Akwen. Saya beranjak meninggalkan gua maria untuk kembali ke wisma keuskupan Pangkalpinang. “Bisakah orang mati mengganggu orang hidup? Bisakah orang hidup mengganggu orang mati? Sudah mati saja masih disalahkan? Tega sekali yo. He he … “ (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)