Payung Samfur

 

Pantai Samfur, 5 Maret 2009

 

Mobil Aceng meluncur ke pantai Samfur,

Dia berhenti di tepi pantai sejenak.

Hujan lebat mulai turun ke bumi.

Angin menyapu pepohonan.

 

 

 dsc05654

Aceng keluar dari mobil membawa payung.

Ujung payung patah terhempas angin laut.

Patahan gagang payung menjepit jari telunjuk Aceng.

Darah mengucur menetes ke bumi.

 

Dia mengurungkan niat untuk mencebur ke laut.

Ia masuk kembali ke dalam mobil panther hijau tua,

Sambil meringis menahan perih pedih sedih.

Jari telunjukkan membekas membentuk angka 8.

Dirinya bagaikan drakula.

Ia menghisap menghisap dan menghisap darahnya sendiri

sampai kenyang.

 

Acing meniup lembut luka lebar jari jemari Aceng.

Ditaruhnya jari Aceng di dada Acing.

Seolah rasa sakit itu dimasukkan dan dipindahkan oleh Aceng,

Dari jari jemari Aceng ke dalam dada Acing.

Bagaikan bangau yang dicocok hidung, Aceng sembuh.

 

Angin menggoyang air laut.

Petir menyambar membelah di atas cakrawala.

Gemuruh ombak pantai Samfur menjadi musik alami,

Pengiring Aceng bergulat dengan Acing.

 

 

 

 

 

 

 

Sedarah

Satu darah

Satu tubuh

Satu roh

Satu jiwa

Satu perasaan

Kita adalah Satu

Satu juga dua

 

Aku adalah milikmu

Engkau adalah milikku

Aku di dalam engkau

Engkau ada di dalam aku

Dimanapun aku berada, Engkau juga ada

Dimana engkau ada, di situ pun ada aku

 

Janji kita disaksikan

Langit

Laut

Air

Api

Tanah

Angin

Tumbuh-tumbuhan

Hewan

Yang tampak dan yang tidak tampak

Yang terdengar dan yang tak terdengar

Yang terasa dan yang tak terasa

Tuhan pencipta langit dan bumi

 

 

Puisi Usang, Pantai Samfur, pukul 17.00

 

 

Anak adalah Anugerah

Keuskupan, 4 Maret 2009

 

“Suami menangis tadi pagi. Dia merasa tidak berguna lagi hidup di dunia. Dia tidak bisa memberikan anak untuk isteri dan keluarga. Karena cairan kelaki-lakian-nya rapuh. Sekalipun setiap bulan disuntik cairan ajaib dari dokter seharga Rp. 1.000.000, tetap saja nihil. Saya harus bersikap bagaimana terhadapnya? Saya merindukan seorang anak, sedangkan suami tidak mampu memberikannya. Apakah saya harus menceraikannya dan menikah dengan lelaki sehat agar saya bisa mempunyai keturunan? Atau saya tetap berada dalam penderitaan berkepanjangan?” SMS Acin Pangkalpinang 4 Maret 2009 sudah nongol pertama kali di hand phone Aliong untuk menurutkan kisah Kekasihnya.

 

Bersamaan dengan SMS di atas boru Nainggolan dari Medan Sumatera Utara menelpon Aceng 4 Maret 2009,”Apalah awak ini, bilamana awak tidak bisa memberikan anak. Mertua memandang rendah martabat wanita yang tak mampu memberikan anak kepada mertua. Mertua bertindak semena-mena terhadap saya. Saya dijadikan sapi perahan oleh keluarga besar suami. Suami sering memukul dengan alasan ketidakmampuan saya memberikan anak kepadanya. Saya merasa memang sungguh sangat rendah di mata mereka. Dan betullah bahwa seorang wanita belumlah lengkap bilamana belum melahirkan seorang anak. Satu hal yang kuminta, sudilah Tuhan berbelaskasihan kepada keluarga kami! Itu saja! Tidak ada yang lain.”

 

Lamunan Acong buyar ketika Lena dan Lenu meminta Acong untuk memberkati anak yang berulang tahun ke 30 hari jam 1730 wib di Bukit Intan Pangkalpinang Bangka. “Kami sudah menikah 3 tahun. Selama 3 tahun kami berjuang untuk mendapatkan anak. Perasaan frustasi terkadang menggerogoti, ketika harapan kita belum terpenuhi. Namun kami tetap berharap, berdoa dan berjuang untuk menggapai cita-cita kami. Doa orang suci dan seluruh umat beriman sungguh menguatkan kerapuhan kami. Dia membuka telinga bagi kami. Rahim kami dibuka oleh-Nya. Kami sekarang mendapat anugerah dari Tuhan seorang bayi wanita mungil. Sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan, sudilah kiranya Acong berdoa kepada sang pemberi bayi untuk mengucapkan syukur atas kemurahan-Nya kepada kami. Sungguh kami sangat bahagia dan berterimakasih.”

 

“Bapa, ada seorang ayah merindukan seorang anak, tetapi ia tidak mampu mempunyai seorang anak. Sementara banyak wanita merindukan bisa melahirkan seorang anak, tetapi mereka tidak mampu melakukan hal itu. Kini di hadapan kami seorang ibu yang sudah berjuang mendapatkan anak selama 3 tahun, sekarang sudah melahirkan seorang anak.  Mereka mengimani bahwa anak di dekapan sang ibu adalah berasal dari pada-Mu. Maka dari itu ya Tuhan, kami mengucapkan berlimpah terimakasih atas anugerah-Mu. Karena ia adalah milik-Mu, kami percaya bahwa Engkau senantiasa melindungi membimbing dan menyertai anak ini dalam peziarahannya di dunia ini.”

 

Sebagai ungkapan kegembiraan keluarga menyediakan ayam arak, babi panggang, rendang babi hutan, mie, dan banyak kue. “Makan kenyang, Cong! Ini pesta keluarga! Kau adalah undangan khusus!”

 

 

 

Makan Bersama

Keuskupan pangkalpinang, 3 Februari 2009

Aceng menurutkan sepenggal kisah nenek moyang kepada bapak Aliong dan Istrinya di restoran Fuksin Bukit Intan Pangkalpinang. Ada kisah di jaman dahulu kala, seorang tokoh besar muncul di muka bumi. Sang tokoh tersebut mengumpulkan para murid-Nya untuk makan bersama. Makanan dan minuman pesta mereka adalah tubuh dan darah sang Guru. Sang guru yang waskita berpesan kepada para murid-Nya agar melanjutkan kebiasaan yang dibuat-Nya.

Sehari setelah berpesta, sang guru di tangkap, disiksa dan dihukum mati oleh pemerintah jaman itu. Sang Guru mati, tetapi sabda-sabda-Nya tetap hidup seperti pesan-Nya untuk memecah-mecahkan roti dan menyampaikan kata kata baik. Makan bersama menjadi anchor peristiwa silam ketika guru dan murid bertemu duduk semeja.

Nenek moyang kita pernah menasehati cucunya, ketika kita mengadakan kenduri, kita duduk bersama, makan bersama, dan berbicara satu terhadap yang lain. Kebiasaan seperti ini menjadi sarana menjalin rekonsiliasi sesama dan Tuhan.

Acong ingat pesan mbah suro di Bloro, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Di mata Tuhan kita adalah sama sama ciptaan-Nya. Kita tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang merasa lebih rendah di mata-Nya.

Seorang motivator dan orang suci berseloroh, “Ketika orang berdamai dengan sesama dan dengan Tuhan, dia merasa hidup damai. Ketika dia merasa damai, dia bisa berfikir dengan jernih. Ketika dia berfikir dengan jernih, dia bisa berperilaku dan bersikap lebih baik. Ketika dia bisa bersikap lebih baik, maka dia bisa menerima masukan lebih baik dari sang guru dan makanan yang disantap.”

Seorang budhis, istri Aliong dalam makan siang di restoran Fuksin 3 Maret 2009 jam 13.00 wib sambil menyantap hoisom bertutur, “nenek moyang kami mengajarkan bilamana kami melayani bante / biksu / pelayan Tuhan, maka kami mendapatkan berkah melimpah bagi kehidupan di dunia. Mereka banyak melakukan ulah tapa dan samadi. Mereka dekat dengan kesempurnaan (suci).”

Acong menimpali,” nenek moyang kami pernah menuturkan bahwa orang suci bisa sempurna karena ia mampu menaklukkan ego di dalam diri seperti matahari memancarkan sinarnya untuk orang baik dan orang jahat dan keberadaannya untuk sesama maklhuk di muka bumi. Kita belajar menaklhukkan ego dengan melayani, memberi, memberi dan memberi kepada semua maklhuk hidup.”

Kami meninggalkan restoran Fuksin setelah kami dikenyangkan oleh Hoisem dan bertutur tentang kejayaan masa silam nenek moyang kami tentang perjamuan bersama.

Mie

Keuskuoan, 2 Maret 2009

Pukul 1635 wib welly datang ke wisma jalan batu kadera XXI No 545 pangkalpinang. Dia menunggu di depan kapela santa Maria keuskupan selama menunggu Aceng misa.

Ketika itu si Aceng membaca kisah nenek moyangnya. Kata nenek moyang kita hendaknya memberi makan orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi tumpangan bagi para gelandangan, menengok orang sakit, mengunjungi orang orang yang meringkuk di dalam penjara.

Nenek moyang mengajarkan agar kita peduli dengan orang yang menderita. Maka pastor mengajak Welly jalan keliling kota Pangkalpinang untuk melihat sisi kehidupan.

Selama dalam perjalanan Aceng meminta kepada Welly untuk memperhatikan keadaan di sekeliling jalanan yang dilewati. Mengamati situasi menjadi sarana untuk melatih memupuk kepekaan kita kepada lingkungan. Bila sungguh kita menemukan orang menderita maka kita tolong mereka.

Selama dalam perjalanan seluruh panca indera dipasang untuk menangkap kejadian yang ada di sekeliling, tanggap terhadap kebutuhan sesama.

Weli berulang menuturkan tentang show room mobil, perumahan, bank, ruko ruko, sedangkan Aceng menyebut warung makan seperti mie, otak otak, duren, dan lain lain. Menurut pastor gono obyek yang menarik panca indera kita merupakan cermin dari dalam diri kita.

Berpijak dari pemikiran tersebut pastor menduga bahwa Welly mempunyai usaha jual beli mobil, rindu mempunyai rumah nyaman dan tinggal dengan keluarga, keinginan mempunyai tabungan, dan merencanakan membeli ruko untuk usahanya. Sedangkan Aceng sedang lapar.

Setelah Wely mengakui kerinduannya seperti yang disebut Aceng, mengajak singgah di warung mie untuk makan.

Dua posi mie dan tahu fukok dipesan untuk makan bersama. Di tengah kami asyik bersantap, ce Wewe hadir untuk membeli mie. Bagian beliau dibungkus dan dibawa pulang. Ketika dia berpamitan pulang kepada Aceng dia berujar,”Ceng, aku sudah bayar!”

Beliau bayari 4 mangkok mie dan tahu fukok yang kami santap. Bukan Welly yang membayar tetapi justru Wewe.

Bukan kami yang memberi makan kepada yang lapar tetapi kami justru yang ditraktir makan mie dan tahu fukok. Dunia ini terkadang lucu.

Biru Laut

Keuskupan pangkalpinang, 1 Maret 2009

 

Fushiang mengajak Acong menyusur tepi pantai pasir padi Pangkalpinang Bangka Minggu 1 Maret 2009 pukul 15.07 wib. Fushiang tidak membawa makanan dan minuman dari rumah. Di tepi pantai banyak penjual makanan dan minuman. Ribuan orang berkumpul di tepi pantai seperti ribuan semut mengerumuni gula. Ribuan orang di bawah terik hebusan angin laut rindu menyentuh air laut. Bisa juga mereka hadir di laut untuk mendengarkan musik alami penyejuk jiwa. 

 dscn6976

“Ma,itu apa?” telunjuk Acong mengarah ke laut lepas.

 

“Oh itu, itu khan laut, nak.”

 

“ma, apa itu?” Acong menengadah ke langit.

 

“Oh itu ya, itu langit.” Jawaban Fushiang pendek dan tegas.

 

“laut berwarna biru. Langit berwarna biru, ma?” tegas Acong.

 

“Air laut yang dalam membuat air seperti berwarna biru. Jauh tak terhingga langit membuat langit seperti biru. Padahal kolaborasi dari aneka warna atau kristalisasi dari banyak warna, nak.”

 

“Ma, rambut wanita itu putih dan kulit keriput? Mama hitam dan cantik?”

 

“Semua orang mengalami proses bayi, anak, remaja, dewasa, tua, dan nenek-nenek. Seiring dengan perkembangan tersebut fisik juga mengalami perubahan. Semakin tua tubuh semakin renta. Kulit semakin keriput. Tulang menjadi lebih rapuh. Kekuatan manusia surut seirama dengan menyusutnya tubuh, anakku.”

 

“Ma, di samping kita duduk sekarang ini, ada setengah baya. Tetapi raut wajah suram hitam kelam dan tampak tua?” Acong sedikit penasaran melihat raut wajah orang di sampingnya.

 

“Oh, beban hidup yang menghimpit kita seringkali membuat manusia menderita. Penderitaan manusia terkadang bisa berdampak ke fisik. Redupnya sinar di wajah seseorang merupakan cermin redupnya hati dan semangat orang yang bersangkutan.”

 

“ma, di meja itu ada botol, jagung, kelapa muda, bir, minuman ringan, makanan ringan, dan lain-lain. Apa maksud dari semua itu, ma?”

 

“Oh itu sih warung. Semenjak krisis melanda negeri ini banyak orang berali profesi untuk menyambung hidup.

Makanan dan minuman tersebut dijual kepada para pelancong di pantai ini. Bilamana Acong menginginkan salah satu dari minuman tersebut, nanti mama bisa belikan untuk Acong.”

 

“Gubuk-gubuk di tepi pasir padi gelap. Mereka tidak memakai listrik. Lampu petromak atau lilin menjadi penerang gelap di malam hari. Malam-malam banyak wanita memakai rok mini duduk di depan warung. Mereka menjual apa, ma?”

 

“Oh, itu namanya warung gelap. Justru mereka jual dan beli di tempat yang gelap. Mata orang bisa tertipu di tempat yang gelap. Bopeng-bopeng akan tampak mulus di tempat yang gelap. Hitam akan tampak putih di tempat yang gelap. Kejauhan memandang tampak biru, setelah kita dekati ternyata hitam dan bopeng bagaikan biru laut dan langit biru.”

 

“Begikah langit dan laut itu ma?”

 

“Mari nak, kita makan di restoran Biru Laut! Di sana banyak barang enak dan cahaya lebih terang bersinar daripad di gubuk-gubuk derita ini.”

 

“Mama cantik, Acong sayang mama.”

 

“Acong ganteng, mama sayang Acong.”

 

 

Menuju Kematian

Keuskupan, 28 Februari 2009

 

Acong diundang makan duren oleh Acit dan Acet dalam rangka ulang tahun almarhum mama Acit. 4 duren mampu mengenyangkan perut. Sisa 1 buah diberikan kepada tukang bangunan di jalan batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang, ketika kami mengucap syukur atas anugerah Tuhan di gua Maria Yung Fo Pangkalpinang. Bau duren menjadi pewangi alami selama kami berdoa di gua maria Yung Fo. Kunjungan ke kubur Cina Jalan Koba Pangkalpinang menjadi penghujung perayaan ulang tahun.

dscn6906

 

Penjaga kubur, alias juru kunci di belakang rumah sakit Umum Pangkalpinang sudah menunggu kehadiran kami. Kami berdiri di puing-puing bebatuan di cela cela pekuburan. “Ini kubur siapa?” Tanya acong kepada penunggu kubur.

 

“Oh itu raja di Bangka. Dia sudah hidup di bangka 100 tahun yang lampau. Beliau dianggap kubur tertua di wilayah ini. Banyak orang mengalap berkat di sini karena semasa hidupnya beliau hidup untuk orang banyak.” Penunggu kubur menuturkan kisah masa silam sang raja versinya.

 

“Kalau kubur itu, siapakah dia?” Acong penasaran melihat nisan mewah.

 

“Oh, itu sih juragan besar di kota Pangkalpinang Bangka. Dia mempunyai pabrik dan toko ternama di kota Pangkalpinang. Anak-anak beliau sudah menjadi orang-orang besar di berbagai penjuru dunia. Beaya membuat kubur ini berkisar 2 milyar.” Penunggu kubur mengelus elus nisan seharga selangit.

 

“Kalau kubur di sebelah jalan itu, milik siapakah?” Tanya Acong sedikit heran melihat jenis kubur dan arah kubur lain dari yang lain.

 

“Oh itu toh, kalau kubur di seberang jalan itu milik orang muslim. Arah kubur ke utara. Dia tidak dipasang batu nisan, tidak seperti kubur yang lain. Selain dia melarat, tetapi mungkin karena keyakinan mereka seperti itu.” Penjaga kubur enggan untuk mendekati kubur dengan gundukan tanah dan dibagian ujung terdapat batu bulat.

 

“Raja Mati. Pengusaha mati. Orang miskin juga mati. Apakah kematian tidak membedakan kaya atau miskin, cantik atau jelek, berkedudukan atau pengangguran? Apakah kita semua akan mati seperti orang-orang di dalam kubur ini?” Acong menengadah memandang wajah penunggu kubur.

 

“Beda tipis antara kematian dengan kehidupan. Semua orang hidup akan mati. Semua orang mati akan hidup.” Penunggu kubur itu melangkah menuju ke makam sang raja. Acong memandang ke langit melihat matahari mulai terbenam di ufuk Barat.

Anak Siapa Mereka?

Keuskupan, 27 Februari 2009

Acing mengajak Acong keliling kota. Rumah pertama yang dikunjungi adalah rumah sakit bersalin. Acong mendekati ruang VIP. Dia bertanya kepada Acing mamanya, “bayi itu anak siapa?”

Ibunya menjawab, “dia adalah anak gubernur kota ini dan anak Tuhan. Makanya dia ganteng dan dirayakan dengan gegap gempita.”

Acong mengangguk saja dengan penjelasan mamanya. Di seberang kamar pertama, dia menengok kedalam. Disana ada bayi di ranjang mungil. “Itu anak siapa ma?”

“Itu anak ibu walikota negeri ini dan anak Tuhan. Makanya mereka berpesta gembira menyambut kehadiran anaknya.”

Acong manggut manggut dengan penjelasan mamanya. Acing mengajak Acong ke asrama yatim piatu. Di sana banyak bayi dan anak anak di bawah usia 9 tahun. Acong bertanya kepada mamanya,”mereka anak siapa, ma?”

“Bayi dan anak anak di sini berasal dari berbagai kota. Ada yang sudah tidak mempunyai orang tua. Ada yang ditemukan oleh orang di depan toko. Ada anak hasil main main. Ada anak buruh dan orang tuanya tak mampu menghidupi anaknya. Ada anak hasil main main majikan dengan pembantu. TETAPI MEREKA SEMUA ADALAH ANAK TUHAN.”

Acong manggut manggut mendengar penuturan mamanya. Mereka singgah di sekolah luarbiasa. Acong kembali bertanya, “si kaki pincang itu anak siapa? Si bisu itu anak siapa? Si tuli itu anak siapa? Si lumpuh itu anak siapa? Si buruk muka itu anak siapa?”

Acong memberondong dengan ribuan pertanyaan. Mamanya dengan tenang menjawab dengan mantap, “semua itu dilahirkan oleh seorang ibu. Namun demikian seburuk buruknya mereka, mereka juga anak Tuhan.”

Acong mengkerutkan kening. Anak Tuhan ada yang ganteng, ada yang buruk rupa. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang berbapa dan tak berbapa. Ada yang cacat, ada yang sehat.

Acing membawa ke rumah sakit jiwa di kota itu. Acong bertanya kepada mamanya. “Mereka ada yang bugil. Mereka ada yang tertawa sendiri. Mereka ada yang berteriak teriak histeris. Mereka anak siapa, ma?”

Mereka dilahirkan oleh seorang ibu, hasil hubungan kasih dua insan. Mereka semua adalah gambar dan citra Allah. Sekalipun mereka gila, mereka adalah anak anak Allah.”

Jadi semua manusia adalah anak Tuhan? Semua manusia adalah gambar Allah?”

Begitulah anakku. Kita harus mencintaintai mereka seperti Allah mencintainya.”

Terimakasih ma. Engkau lahirkan Acong baik adanya. Terimakasih Tuhan Engkau memberi anggota tubuh lengkap, pikiran cemerlang.”

Bibit Bebet Bobot

Keuskupan, 26 Februari 2009

Menarik menyimak filosofi sebagian orang Jawa berikut ini, “kalau anda memilih jodoh maka anda hendaknya mencari bibit, bobot, bebet yang unggul.”

Sebagian orang muda Jawa generasi sekarang kurang peduli dengan filosofi tersebut. Pondasi utama membangun rumah tangga adalah cinta. Bila direktur jatuh cinta dengan pembantu dari desa, maka mereka bisa menikah sah secara agama dan sipil. Misalkan, perkawinan di greja sah apabila kedua mempelai sepakat konsensus untuk hidup bersama selamanya atas dasar keduanya saling cinta dengan disaksikan oleh awan dan yang tertahbis (diakon imam).

Kedua prinsip di atas mempunyai kebenaran dari sisi yang meyakini dan menjalani.

Namun fakta yang ditemukan di dunia ini dari abad ke abat terkadang filosofi sebagian orang Jawa sudah terjadi berabad abad , bahkan masa kini dan boleh jadi yang akan datang.

Sedikit agak kasar bila orang mengatakan, “Si pedro penjudi, maka wajar bila anak anaknya juga penjudi.”

Yang lain berujar,” oh mamanya bekas pelacur parit VI, pantaslah bila anaknya sekarang menjual diri.”

“Sekalipun Bunda Maria adalah orang sederhana, dia keturunan raja Daud.”

“Biarpun Yusuf adalah budak belian tetapi dia adalah salah satu pilihan Allah untuk menyelamatkan bangsa Israel.”

“Walaupun Musa adalah anak buangan yang ditemukan di sungai, tetapi dia pilihan Allah dari bangsa pilihan, Israel.”

Masih banyak data data dalam sejarah yang menunjukkan bahwa bibit bebet bobot seseorang adalah besar perannya. Filosofi orang Jawa bisa saja disanggah dengan mengacu dari keyakinan lain. Misalkan, “semua orang mempunyai potensi menjadi budha.”

Orang kristen berkeyakinan bahwa ,semua adalah gambar Allah. Semua manusia adalah anak Allah.”

Seorang pengusaha besar di bangka berujar,” setiap orang mempunyai sisi baik di dalam dirinya. Kita harus melihat sisi baik tersebut di dalam diri orang.”

Masing-masing dari kita jelas berpijak dari keyakinan masing masing. ajaran Kristus mengatasi filosofi orang orang Jawa. Ini sangat membantu orang mengatasi keterbatasan di dalam dirinya sendiri. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa bibit nenek moyang kita sangat mempengaruhi kita.

Sebagai penutup tulisan ini pastor menyajikan sepenggal doa seorang ibu, “Tuhan apakah salah dan dosaku pada Mu? Sekalipun aku tidak pernah jahat dengan sesamaku dan aku setia kepada Mu, namun 9 garis keturunanku ada saja yang cacat.”

Berbagi Rejeki

Keuskupan, 25 Februari 2009

Acong bertamu di rumah Nenek Moi. Dia tinggal seorang diri di Sungailiat. Semua anak dan cucu sudah mendiri. Setiap bulan anak dan beberapa donatur di kota sungailiat memberi uang untuk makan. Sekali waktu orang memberi beras, telor, sayur, mie, dll.

Hampir setiap Acong singgah, ia selalu merauk sebagian makanan milik kepunyaannya untuk diberikan kepada Acong. Sekalipun pemberian tersebut ditolakn, namun nenek itu memaksanya agar menerima sebagian harta miliknya.

Bahkan cicin yang diikat di kain dan dimasukkan ke dalam sompet mau diberikan kepada Acong. Berulangkali beliau berujar, “aji tidak bisa makan sendiri. Aji harus berbagi berbagi dan berbagi. Semua rejeki berasal dari Tuhan. Aji hanya membagi kepadamu. Apalagi dulu pastor Molen SSCC sudah membantu banyak keluarga kami.”

Aji moi (nenek Moi) menjadi teladan Acong. Acong bengon melihat nenek tua di depannya. Dia soelah melihat orang suci di hadapannya. Yang berkenan di hati Allah Acong atau nenek itu? Berulangkali beliau menyembah Acong seperti dewa atau orang suci. Selalu beliau mohon berkat untuk kesehatan dan anak cucunua.

Kasih nya tidak berkesudahan. Justru karena dia memberi memberi dan memberi agar orang lain bisa makan (hidup) maka dia dianugerahi umur panjang dan kesehatan.

Terimakasih nek.