Keuskupan pangkalpinang, 1 Maret 2009
Fushiang mengajak Acong menyusur tepi pantai pasir padi Pangkalpinang Bangka Minggu 1 Maret 2009 pukul 15.07 wib. Fushiang tidak membawa makanan dan minuman dari rumah. Di tepi pantai banyak penjual makanan dan minuman. Ribuan orang berkumpul di tepi pantai seperti ribuan semut mengerumuni gula. Ribuan orang di bawah terik hebusan angin laut rindu menyentuh air laut. Bisa juga mereka hadir di laut untuk mendengarkan musik alami penyejuk jiwa.
“Ma,itu apa?” telunjuk Acong mengarah ke laut lepas.
“Oh itu, itu khan laut, nak.”
“ma, apa itu?” Acong menengadah ke langit.
“Oh itu ya, itu langit.” Jawaban Fushiang pendek dan tegas.
“laut berwarna biru. Langit berwarna biru, ma?” tegas Acong.
“Air laut yang dalam membuat air seperti berwarna biru. Jauh tak terhingga langit membuat langit seperti biru. Padahal kolaborasi dari aneka warna atau kristalisasi dari banyak warna, nak.”
“Ma, rambut wanita itu putih dan kulit keriput? Mama hitam dan cantik?”
“Semua orang mengalami proses bayi, anak, remaja, dewasa, tua, dan nenek-nenek. Seiring dengan perkembangan tersebut fisik juga mengalami perubahan. Semakin tua tubuh semakin renta. Kulit semakin keriput. Tulang menjadi lebih rapuh. Kekuatan manusia surut seirama dengan menyusutnya tubuh, anakku.”
“Ma, di samping kita duduk sekarang ini, ada setengah baya. Tetapi raut wajah suram hitam kelam dan tampak tua?” Acong sedikit penasaran melihat raut wajah orang di sampingnya.
“Oh, beban hidup yang menghimpit kita seringkali membuat manusia menderita. Penderitaan manusia terkadang bisa berdampak ke fisik. Redupnya sinar di wajah seseorang merupakan cermin redupnya hati dan semangat orang yang bersangkutan.”
“ma, di meja itu ada botol, jagung, kelapa muda, bir, minuman ringan, makanan ringan, dan lain-lain. Apa maksud dari semua itu, ma?”
“Oh itu sih warung. Semenjak krisis melanda negeri ini banyak orang berali profesi untuk menyambung hidup.
Makanan dan minuman tersebut dijual kepada para pelancong di pantai ini. Bilamana Acong menginginkan salah satu dari minuman tersebut, nanti mama bisa belikan untuk Acong.”
“Gubuk-gubuk di tepi pasir padi gelap. Mereka tidak memakai listrik. Lampu petromak atau lilin menjadi penerang gelap di malam hari. Malam-malam banyak wanita memakai rok mini duduk di depan warung. Mereka menjual apa, ma?”
“Oh, itu namanya warung gelap. Justru mereka jual dan beli di tempat yang gelap. Mata orang bisa tertipu di tempat yang gelap. Bopeng-bopeng akan tampak mulus di tempat yang gelap. Hitam akan tampak putih di tempat yang gelap. Kejauhan memandang tampak biru, setelah kita dekati ternyata hitam dan bopeng bagaikan biru laut dan langit biru.”
“Begikah langit dan laut itu ma?”
“Mari nak, kita makan di restoran Biru Laut! Di sana banyak barang enak dan cahaya lebih terang bersinar daripad di gubuk-gubuk derita ini.”
“Mama cantik, Acong sayang mama.”
“Acong ganteng, mama sayang Acong.”