Korban Pikiran

Pertapaan Yung fo, 23 Februari 2010

“Saya mendapatkan angpau Rp. X dengan berkeliling mengucapkan selamat IMLEK tahun 2009 kepada umat yang merayakan dan kepada rekan-rekan non kristiani yang merayakan selama masa IMLEK. “ saya menulis kalimat tersebut di atas jadwal tugas pelayanan Ekaristi di paroki St Yusuf Pangkalpinang di selembar kertas HVS. Menjelang penutupan IMLEK jumlah angpau di laci dihitung. Total jumlah angpau tepat seperti tulisan di kertas, yakni Rp. X.

Tanggal 10 Januari 2010 saya berkata di dalam hati, “kalau saya mendapatkan angpau Rp. X, maka perayaan IMLEK tahun 2010 saya mendapatkan angpau Rp. Y.” sembari mengucapkan hal tersebut di dalam hati saya membayang jumlah Rp. Y. Saya membayangkan dan merasakan bagaimanakah perasaan ketika pikiran tersebut menjadi kenyataan. Hal tersebut saya buat hanya di tanggal 10 januari 2010 dan selanjutnya saya berkeliling mengucapkan selamat IMLEK. Tercatat sampai hari ini total angpau sejumlah Rp. Y.

Ketika saya menuliskan goal atau membayangkan goal, goal tersebut menjadi kenyataan. Pengalaman semacam ini diterapkan ke menurunkan berat badan diri sendiri. Saya berkata di dalam hati, “berat badanku turun 3 kg dari 63 kg menjadi 60 kg selama 3 bulan, terhitung dari detik ini.” saya menvisualisasikan tubuh saya dengan berat 60 kg. saya menvisualisasikan komentar-komentar orang yang mungkin. Saya menvisualisasikan perasaan saya yang muncul ketika saya melihat berat badan sudah mencapai 60 kg. setelah saya melakukan itu, saya bersikap biasa , saya tidak mengulang hal tersebut. Di bulan ketiga berat badan sudah 60 kg.

Ketika saya terbaring di ranjang di rumah sakit carolus tanggal 21 Januari 2010 banyak pengunjung dan beberapa perawat berkata, “kalau orang terkena demam berdarah, maka trombosit akan turun. Kita tidak bisa mencegah proses penurunan dengan minum angkak atau juice jambu. Penurunan trombosit akan berhenti setelah trombosit berada di titik terendah. Ketika trombosit sudah berada di titik terendah, maka trombosit akan segera naik … naik dan naik terus.” Berulangkali inti cerita tersebut diulang-ulang oleh para pengunjung yang datang setiap hari. Suara tersebut menggema di dalam diri. Bahkan ketika mendengarkan tuturan dari mereka visualisasi kreatif menyertainya. Ucapan mereka menjadi ucapan diri sendiri dan bayangan diri sendiri. Efek dari semua itu adalah trombosit turun secara drastis.

Korban pikiran terjadi berulangkali terjadi, kadang tidak belajar dari pengalaman masa lalu. Ketika pulang dari rumah sakit, perawat mengatakan bahwa “setiap orang yang sakit demam berdarah, dia selalu terganggu lambungnya.” Ketika informasi tersebut diproses dijadikan sebuah kebenaran, maka pikiran dan tubuh segera merespon. Lambung yang sebelumnya sehat walafiat menjadi terganggu.

Ketika saya meyakini bahwa saya sakit lambung. Orang-orang berpendapat bahwa orang yang sakit lambung dilarang makan pedas, masam dan berminyak. Ketika pendapat mereka diproses oleh pikiran, dimainkan dengan visualisasi, dan dirasakan maka itu menjadi kenyataan. “saya berpuasa makan pedes, masam dan berminyak”, kataku kepada rekanku akon ketika mengunjunginya di hari IMLEK. Ketika dia menyuguhkan buah duku, dan saya memakannya maka efeknya lambung segera terganggu. Korban pikiran!

Pukul 06.45 wib saya berdiri di depan kamar di luar rumah. Menulis pesan melalui BB. Terlintas di pikiran,” kalau bermain BB di luar rumah di alam terbuka maka BB bisa tertetesi air hujan.” Pikiran spontan tersebut disanggah dengan pikiran logis, “sekarang cuaca di pangkalpinang Bangka cerah, maka mustahil BB tertetesi air.” Pluk! Air menetes di atas BB dari langit-langit. Korban Pikiran!

Ketika kita memikirkan sesuatu. Pikiran tersebut dimainkan dengan representasi internal, maka pikiran tersebut sangat cepat menjadi kenyataan. Apakah kita memiliki pikiran luhur untuk masa depan kita di segala aspek kehidupan seperti keuangan, keluarga, kerohanian, kesehatan, kontribusi, pleasure, dan lain-lain? Apakah kita berani menetapkan sebuah goal / out come di masa depan kita atau kita asal jalan? Apakah kita mau menjadi korban pikiran kita sendiri atau kita berani menggunakan pikiran kita untuk kebahagiaan diri, sesama dan kemuliaan Tuhan?

Burung Liar dalam Sangkar

Pertapaan yung fo, 19 Februari 2010

Burung prenjak, ciblek, penthet, kacer, dan segala jenis burung dipelihara dalam sangkar oleh ace. Setiap hari burung-burung diberi makan, dimandikan dan sekali waktu olah raga di kandang besar. Kalau burung sudah dipelihara 3 bulan, maka dia mulai jinak dengan tuannya dan kerasan tinggal di sangkarnya. Sekalipun burung-burung itu dilepas ke alam bebas, dia akan kembali pulang kesangkarnya dan sebagian mengajak teman-temannya.

Berdasarkan pengalaman tersebut ace berpendapat bahwa istilah hidup bagai burung di dalam sangkar adalah siksaan tidak tepat lagi untuk jaman sekarang. Karena justru di alam bebas dia sulit mencari makan, dikejar-kejar manusia untuk ditembak/dibinasakan, dan masih terancam dengan burung-burung besar. Burung di dalam sangkar makannya terjamin, mandi setiap hari, olah raga setiap hari, manusia merawat penuh kasih sayang, dan sekali waktu dilepas di alam bebas. Dia lebih bahagia daripada di alam bebas.

Pengalaman si ace mengingatkan kisah tentang seorang pendeta yang melepaskan binatang yang terikat. Ketika jerat binatang tersebut sudah terlepas, binatang tersebut tetap berputar-putar di tempat ikatannya. Apa yang menjadikan binatang tersebut tetap berputar di tempat semula padahal ikatan sudah terlepas? Secara fisik ikatan sudah terlepas tetapi secara mental apakah juga terlepas atau kebiasaan baru binatang itu?

Saya jadi ingat ketika training NLP dengan pak wiwoho. Menurutnya kita bisa membentuk kebiasaan baru dengan melakukan tindakan tetap selama 2 bulan. Jika burung-burung liar dipelihara penuh kasih sayang maka dia memiliki kebiasaan baru, yakni tinggal berdamai dengan manusia di sangkar buatan manusia. Jika binatang yang dilepaskan si biksu sudah berputar-putar selama 2bulan maka dia sudah memiliki kebiasaan berputar-putar di tempat yang sama sekalipun tali terlepas.

Jadi teringat ketika saya kagum melihat kicau burung murai batu si ace menyela,” ketika burung liar tersebut kita diamkan di dalam sangkar, dia gak betah dan tidak mau berkicau. Ketika kita menelantarkan burung itu, dia tidak kerasan tinggal di dalam sangkar. Ketika kita tidak memiliki hati kasih terhadap burung liar di dalam sangkar itu, dia akan terbang tinggi ke alam bebas ketika kita melepaskannya.”

Oh, saya terperanjat dengan perspektif dari si ace. Sikap kasih sayang si pemilik terhadap burung sungguh menjadi kunci kebahagiaan burung di dalam sangkar. Kasih manusia terhadap binatang liar menjinakkan burung-burung liar dan membahagiakannya. Sedangkan sikap benci / cuek / acuh tak acuh terhadap burung liar melahirkan penderitaan burung liar di dalam sangkar.

Lha wong burung liar saja menangkap getar-getar kasih manusia, apalagi manusia. Berarti apakah kasih sayang kita terhadap sesama juga bisa membahagiakan mereka? Apakah kebencian / cuek / acuh tak acuh terhadap sesama justru melukai perasaan sesama?

Sikap kasih ace terhadap burung liar menginspirasi hidup kita. Semoga kita menebarkan kasih terhadap segala makluk hidup jinak atau liar agar semua maklhuk hidup berdampingan dalam damai.

Terimakasih ace. Selamat menyayangi binatang.