Berguru pada Mgr Henri

Pangkalpinang, 28 April 2009

Mgr Henri Soesanto dalam perjumpaan dengan para biarawan biarawati dan para imam se bangka di biara budi mulia jalan sungai selan menyampaikan sekelumit situasi keuskupan tanjung karang. Lampung adalah tanah harapan. Uskup harus mempunyai harapan seperti doa iman harapan dan kasih. Penduduk asli Lampung mempunyai konsep kolonisasi. Pendekatan pastoral kepada penduduk menyesuaikan konsep mereka. Kami mencoba dialog. Kami bukan mengajar tetapi kami belajar dari mereka dari orang lampung yang wilayahnya seluas Belanda. Kami berkenalan untuk membangun persaudaraan sejati. Kami mengupayakan bisa hidup bersama dengan penduduk setempat. Maka kami tidak banyak mengadakan pembangunan gereja secara fisik. Keuskupan tempat tinggal kami berada di tengah tengah orang islam. Di depan rumah tidak dipasang papan bertuliskan keuskupan. Yang ada di depan keuskupan adalah pohon pohon kehidupan.

Pemikiran Mgr Henri Soesanto di atas sangat menyentak banyak pendengar. Pemikiran beliau mengingatkan cerita salam seorang umat di paroki st kristoforus.“Paroki Kristoforus, membangun gereja stasi Polycarpus jakarta barat dengan anggaran beaya 12 milyar (www.parokikristoforus.org, 12.878.500.000 yg 5 itu lupa persisnya). Peletakan batu pertama dijadwalkan bulan Juni. Sebagian umat mengeluh dengan beaya pembangunan gereja di masa krisis ekonomi, sedangkan panitia bersikap seperti motivator.”

Dijadwalkan pemberkatan gereja St Petrus Lubuk Baja Batam diresmikan / diberkati oleh Mgr Hilarius Moa nurak SVD di awal Mei 2009. Berdasarkan panitia pembangunan beaya pembangunan tersebut juga mencapai milyaran.

Bilamana uang milyaran tersebut dipakai untuk membangun manusia di bidang: pendidikan intelek, pendidikan emosi, pendidikan kesehatan maka gereja bisa lebih berkembangkah? Apakah prioritas Yesus dalam pelayanannya? Dia lebih memprioritaskan pembangunan fisik atau rohani?

Pemikiran Mgr Henrisoesanto mengajak kita mengevaluasi proritasnya. Makasih bapa Uskup.

Read 6 comments

  1. Setuju sekali dengan pemikiran Mgr Henri, melalui beliau lah suara Tuhan disampaikan. Mau belajar dari orang kecil dan yang mulia cita-citanya adalah membangun persaudaraan sejati dan tidak menonjolkan ras, golongan, agama. Yang ditanam adalah pohon-pohon kehidupan, hebat sekali pemikiran beliau.

    Pelangi itu indah karena dibentuk dari warna-warna berbeda,yang dibuat oleh Mgr Henri adalah pelangi kedamaian, berdiri diatas perbedaan-perbedaan untuk mempersatukan tali persaudaraan yang indah.

    Apa arti sebuah gereja bernilai milyaran apabila tidak diikuti dengan pembangunan iman umatnya. Bukankah lebih baik banyak umat beriman baik dari pada gereja yang super mewah.
    Berdoa dimana saja bisa, dikandang domba pun Tuhan dengarkan doa kita, saya yakin sekali hal ini.
    Semoga pemikiran Mgr Henri dapat dijadikan masukkan bagi tokoh-tokoh gereja yang sedang, akan dan akan datang dalam membangun rumah Tuhan. Yang penting sakral bukan mewah nya.

  2. pada kenyataannya terutama di kota besar dimana umat mampu untuk gotong royong membangun gereja, milyaran rupiah dianggarkan untuk pembangunan gereja / renovasi , agar lebih nyaman bagi umat.
    Bahkan di satu paroki tetangga jakarta, sangat terkesan pembangunan geraja yang terlalu dipaksakan, dengan dana milyaran rupiah sementara umat yang perlu dibantu perekonomiannya setiap bulan pun masih banyak, karena kondisi ekonomi yg minim.
    Menjadi suatu kebutuhan yg semu, untuk memiliki bangunan gereja yg “nyaman” , dg perbandingan paroki2 lain.

  3. Menaikkan gengsi para pengurus dan panitia pembangunan gereja bila berhasil membangun gereja dengan mewah. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah dengan pembangunan fisik gereja yang mewah tidak menjadikan gap yang lebih jauh antara si kaya dan si miskin???? Apakah dengan gereja yang mewah di masa sulit sekarang ini tidak menjadikan gereja menjadi eksklusif???? Dan apakah dengan perkembangan gedung gereja yang mewah diikuti dengan perkembangan iman Gerejanya (baca : Umat). Kalau gedung gereja mewah dan indah, tapi umatnya menjadi sungkan mengunjunginya : Yang kaya sibuk cari uang, tak ada waktu untuk ke gereja sedangkan yang miskin menjadi minder dan merasa tidak memiliki, maka pembangunan yang menghabiskan dana milyard-an menjadi mubazir.

    Jika semua Uskup berpandangan spt Mgr. Henri, memperhatikan skala prioritas, lebih mementingkan pembangunan rohani GEREJA daripada pembangunan fisik gereja. Para Uskup agar mengingatkan pastoor2 paroki, DPP serta panitia pembangunan gereja agar dalam pembangunan /renovasi harus diimbangi dengan kemampuan ekonomi parokinya, gereja tidak menjadi nampak eksklusif sehingga menimbulkan kecemburuan social bukan hanya untuk umat di paroki tetapi lebih penting terhadap lingkungan di sekitar paroki tersebut. Patut diingat bahwa kita adalah kaum minoritas, agar kita bisa diterima oleh lingkungan maka kita harus bisa menyesuaikan dengan lingkungan dimana kita berada dan hidup berdampingan dengan menciptakan dialog agar tercipta hubungan yang harmonis dan tidak tampak eksklusif.

    Bagi Paroki yang mampu membangun dengan biaya puluhan milyard, ya ga masalah kalau memang lingkungan mendukung, tentunya dana juga ada. Tapi yang sedang trend sekarang adalah membangun gereja dengan sangat mewah, panitia mencari dana sampai keluar paroki malah sampai keluar keuskupan, pembangunan tidak disesuaikan dengan kemampuan. Pembangunan hanya untuk menaikkan gengsi paroki sehingga Gaung Paroki bergema sebagai paroki mewah dan menjadi tempat berziarah. Banyak tempat ziarah yang baru sekarang ini, sehingga terkesan tempat ziarah adalah lahan untuk mencari dana.

    Misi Mgr. Henri untuk membangun “PERSAUDARAAN YANG SEJATI” dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan penduduk disekitarnya. Saling hormat supaya setiap orang diakui sebagai warga masyarakat yang merdeka, dan dapat berpartisipasi serta ikut aktif membentuk hidup yang nyaman dan adil. Hendaknya menjadi tugas kita bersama agar memutuskan manakah langkah2 yang harus diambil dan manakah sarana2 yang harus dipakai guna mencapai perubahan2 sosial, ekonomi dan politik yang memang perlu. Ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan, diberdayakan dan dikembangkan seperti CU, kegiatan penghijauan dan menanam seribu pohon spt yang dilakukan oleh Keuskupan Jakarta dan Bandung (ini yang penulis ketahui), Keuskupan Bandung juga mempunyai satu yayasan yang memberikan pendidikan dengan biaya murah dan bahkan bea siswa tanpa memandang darimana mereka berasal, mengenai bidang perkayuan, keterampilan dan electronic. Ini hanya sedikit yg penulis ketahui, kegiatan dan sarana tentunya disesuaikan dgn situasi dan kondisi masing2 keuskupan.

  4. Ini sebetulnya princip marketing juga..

    Pabriknya kecil,. tetapi para penghuni disekitarnya mengharapkan dapat memakai produk itu, ingin dapat membuat, menjual dan menikmatin hasilnya.

    Pabriknya besar, alat2 besar2,. Semuanya otomatik, sekelumit penghuni disekitarnya bekerja disini. Hasil produksi di export.
    Banyak peminat datang dari jauh datang untuk melihat kemegahan pabrik itu
    Rakyat disekitarnya merasa jauh dgn pabrik besar ini.

    Missionaris jaman dahulu, datang ke pelosok2 dunia, melihat apa yg dibutuhkan oleh penghuni disekitarnya, dan bekerja dgn bahan2 disekitar ‘Kapel/Gubuk ‘yang mereka dirikan.
    KOMUNIKASI, dgn penduduk setempat, walaupun dimulai dgn gerakan tangan.
    Berdialog dgn memakai bahasa setempat. Misinaris selalu belajar bahasa tempat mereka ‘bekerja’.
    KEBUTUHAN jaman dahulu itu dan sekarang sama, tetapi SITUASI nya yg tidak sama.
    MAKAN yg dibutuhkan, dari berburu, penghuni diajar bercocok tanam dan berternak.
    PONDOK, TEMPAT BERTEDUH,. Dari goa2, rumah bambu, rumah kayu ke rumah tembok.
    Dijaman dulu, mereka bertukar apa yg mereka perlukan, kehidupan sosialnya sangat tinggi.

    Jaman sekarang semuanya harus dibeli, tenaga kita ditukar dgn uang.
    Dgn uang ini kita dapat membeli kebutuhan pokok.

    Didalam perkembangan ini penghuni, membutuhkan PERKEMBANGAN ROHANI juga.
    Di keuskupan jaman sekarang,….kita akan mengembangkan Rohani dengan berdialog.
    Tetapi, dengan siapa kita harus berdialog,.dengan individu, atau dengan penjabat setempat.

    Tentunya dgn INDIVIDU,. Kebutuhan pokok penjabat, makan dan rumah sudah berlebihan bukan?
    Bagaimana kita harus mencapai individu2 ini secara langsung , dan memperkembangkan rohani mereka menurut KS.
    Individu ini membutuhkan ketrampilan, yg dapat ditekankan berupa uang, dgn uang ini dapat memenuhi, kebutuhan pokok.

    Ketrampilan dapat diUANGKAN, dalam jangka pendek. Dan tidak mengenal tingginya pendidikan., SD, SMP, SMA, ATAU UNIVERSITAS. Juga tidak membedakan antara laki atau wanita.
    Pendidikan dapat di uangkan , dalam jangka panjang.

    Apa gunaya untuk rakyat setempat, apabila gereja menanam1 juta pohon jati?
    Ini baik untuk linkungan, dan jauh dimasa depan. Tetapi penghuni membutuhkan kebutuhan pokok dan rohani sekarang. Ini yg harus ditanamkan juga bukan?

    Bagaimana caranya?

    Amin

    • Setuju sekali dengan pendapat dan pandangan Bunda Uni.
      Pabrik kecil tentu hanya akan menghasilkan produk yang kualitas dan kuantitasnya kecil pula. Dengan pabrik besar, tentunya juga akan menghasilkan produk yang beraneka dan banyak, baik kuantitas maupun kualitas. Tentunya kita tidak mau selalu berada dalam skala yang kecil bukan?. Jika dapat dikembangkan menjadi lebih besar, kenapa tidak? Selain itu perkembangan jaman juga menuntut banyak perubahan. Situasi dahulu dengan sekarang juga telah jauh berbeda. Misalnya saja, sekarang orang menggunakan pesawat atau mobil untuk bepergian, dahulu orang menggunakan sepeda atau kapal, tetapi mereka membutuhkan waktu yang lama dibandingkan sekarang untuk tiba di tempat tujuan.Banyak hal berguna lain yang dapat dilakukan dengan waktu yang demikian lama, selain itu juga menghemat tenaga.

      Gereja membina anggota DPP untuk meneruskannya kepada umat setempat. Komunikasi antar umat dengan para pembesar gereja juga dapat disalurkan melalui wadah DPP. Kebutuhan rohani juga dapat kita peroleh melalui kegiatan-kegiatan di sekitar lingkungan kita, misalnya doa kelompok. Di sini kita memperdalam iman dan berdialog dengan sesama atau dengan fasilitator atau dengan pastor. Tetapi semua ini kembali lagi pada keaktifan masing-masing individu. Jika ingin berbuah lebat maka selain disiram, juga perlu dipupuk, seperti Yesus berkata ; “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:4)

  5. Effektif…

    Kecil tetapi effektif

    Dalam pengembangan keuskupan, tidak cukup dengan kelompok doa.
    Pengikut baru yg kita butuhkan, agar supaya ikut berdoa. Kita dapat berdoa untuk mendapat pengikut baru, tetapi rasanya tidak effektif

    Mendapat pengikut harus dari lingkungan, dalam hal ini bukan dari besar atau megahnya gereja.

    Saya pernah lihat di TV, pabrik krupuk, yg seperti bakmie, dilingkar2 terus dijemur.
    Pekerjaan tangan, seluruh warga desa ikut membuat, diluar musim panen, Pabriknya satu,. Langsung dibagi,… mereka bekerja berkelompok,…..hasilnya balik ke pabrik, untuk dieksport.

    Waktu itu saya berpikir,. Kalau aktivitas ini, diprakarsai oleh gereja… saya lihat didesa ini, warga gereja akan bertambah +/-50 % dari penduduk desa.. alangkah banyaknya bukan ?

    Setahu saya, dahulu banyak orang yg tidak aktif beragama, dikarenakan peraturan pemerintah, apabila tidak memilih agama berarti komunis. Didalam gejolak politik, rakyat memilih agama yg dalam lingkungan keluarga masing2. Agama hanya tercantum di KTP…. Yg berarti Katolik Tanpa Penghayatan, atau Kristen tanpa penghayatan.
    Tetapi tidak pernah menyadari, apa itu artinya agama untuk mereka.
    Bagaimana kita menyadarkan mereka dgn jamahan Tuhan, dan mecontoh hidup sebagai Kristus.

    Intinya, bagaimana menyadarkan jiwa2 ini, sebanyak mungkin agar hidup sesuai dgn KS.

    Amin.

Tinggalkan Balasan