Kunci Kemelimpahan

Keuskupan, 8 Maret 2009

 

Ketika Abraham mempersembahkan Ishak anaknya di tanah di atas gunung,Tuhan berkata kepadanya, “jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku. Karena engkau berbuat demikian maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh karena keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengar sabda-Ku.”

 ekaristi-di-trubus

Abraham memberikan milik paling berharga yang dimilikinya, tetapi dia justru mendapat berkah melimpah dari Tuhan, yang diberi anaknya.

 

Seorang nenek moyang di antara kita pernah menulis, “Ia, yang tidak menyanyangkan Putera-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak menganuriakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia.”

 

Tuhan memberikan putera-Nya yang paling disayangi, tetapi Allah justru kekal dan sumber berkat.

 

Nenek moyang kita bersama dengan 12 murid-Nya berkumpul. Ia berkata kepada para murid-Nya, “Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan aku.”

 

Nenek moyang kita memberikan nyawa-Nya untuk dimakan murid-murid-Nya, agar murid-murid-Nya memperoleh hidup, selamat lahir dan batin. Tetapi justru keiklasan Dia memberikan nyawanya, Dia bangkit dari mati (Dia mendapatkan hidup abadi).

 

Ketika Kita memberi, kita justru mendapatkan. Ketika kita mempertahankan milik demi kepentingan diri sendiri, suatu saat kita akan kehilangan.

 

 

Hopis Nenek

Pasir padi, 7 Maret 2009

Pengusaha muda ketika mengunjungi arah nenek moyangnya berkata,” waktu kecil beliau beri saya permen dari gulajawa yang dimasak dan ditancapkan di sebatang bambu kecil. (Golali). Semenjak hidupnya beliau hidup sederhana, tetapi setelah beliau meninggal tempat kubur di puncak bukit, tempat tertinggi dari semu kubur yang ada di pekuburan jalan koba pangkalpinang. Mungkin beliau orang beriman, saleh&baik. Bahkan beliau meninggal ketika berdoa di dalam gereja. Sedangkan letak kuburan seorang juragan besar kurang terawat gelap dan di bawah. Ini merupakan kebetulan atau berkat? Yang bisa dipetik adalah ketika kita rajin berdoa, baek dengan sesama maka kita bahagia bersama Bapa disurga.”

Berhadapan dengan kematian semacam ini seringkali masih banyak misteri yang belum tersingkap dengan gamblang. Berpijak dari iman, semua umat beriman kepada Tuhan dan hidup saleh di hadapan sesama tentu akan dibangkitkan pada akhir zaman. Hidup hanya berubah dan bukan dilenyapkan. Dia ada dan sempurna bersama dengan Bapa. Dia ada walaupun tiada.

Dewi yang mendampingi suaminya berpendapat,” mereka yang telah melaksanakan tanggungjawab di dunia dengan sempurna, mereka menjadi para santo dan santa. mereka masih berelasi dengan manusia yang masih hidup di dunia atas dasar cinta Tuhan.”

Berdiri di tengah tengah terkadan bisa mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati, semua manusia pejabat atau pejibit akan mengalami kematian. Mereka akan menerima ganjaran sesuai dengan perbuatannya di dunia dan imannya di dunia.

Senja sudah merayap di ufuk barat. Terimakasih Tuhan Engkau sadarkan kami akan kesementaraan hidup dan bersikap rendah hati selama hidup di dunia.

Cocoa ULTAH

 

Pantai Tikus, 5 Maret 2009

100_1460 

Di hari ULTAH ku, ibu bertanya kepadaku,

Nak engkau menginginkan apa dariku?”

 

Aku menjawab,”aku menginginkan cocoa.”

 

Ibu memberikan cocoa di hari ULTAH ku.

 

Lalu aku bertanya kepada ibu ku,

“ibu menginginkan apa dariku?”

 

Ibu menjawab,” aku menginginkan engkau memakai jubah putih!

Engkau berjalan di jalan lurus!

Engkau bahagia lahir dan batin, dunia dan akhirat!”

 

Ibu tidak menginginkan makanan? Ibu menginginkan kebahagiaan dariku?

 

Hatimu sungguh agung.

Aku memikirkan ego , sedangkan engkau memikirkan anakmu.

 

Puisi Usang

Payung Samfur

 

Pantai Samfur, 5 Maret 2009

 

Mobil Aceng meluncur ke pantai Samfur,

Dia berhenti di tepi pantai sejenak.

Hujan lebat mulai turun ke bumi.

Angin menyapu pepohonan.

 

 

 dsc05654

Aceng keluar dari mobil membawa payung.

Ujung payung patah terhempas angin laut.

Patahan gagang payung menjepit jari telunjuk Aceng.

Darah mengucur menetes ke bumi.

 

Dia mengurungkan niat untuk mencebur ke laut.

Ia masuk kembali ke dalam mobil panther hijau tua,

Sambil meringis menahan perih pedih sedih.

Jari telunjukkan membekas membentuk angka 8.

Dirinya bagaikan drakula.

Ia menghisap menghisap dan menghisap darahnya sendiri

sampai kenyang.

 

Acing meniup lembut luka lebar jari jemari Aceng.

Ditaruhnya jari Aceng di dada Acing.

Seolah rasa sakit itu dimasukkan dan dipindahkan oleh Aceng,

Dari jari jemari Aceng ke dalam dada Acing.

Bagaikan bangau yang dicocok hidung, Aceng sembuh.

 

Angin menggoyang air laut.

Petir menyambar membelah di atas cakrawala.

Gemuruh ombak pantai Samfur menjadi musik alami,

Pengiring Aceng bergulat dengan Acing.

 

 

 

 

 

 

 

Sedarah

Satu darah

Satu tubuh

Satu roh

Satu jiwa

Satu perasaan

Kita adalah Satu

Satu juga dua

 

Aku adalah milikmu

Engkau adalah milikku

Aku di dalam engkau

Engkau ada di dalam aku

Dimanapun aku berada, Engkau juga ada

Dimana engkau ada, di situ pun ada aku

 

Janji kita disaksikan

Langit

Laut

Air

Api

Tanah

Angin

Tumbuh-tumbuhan

Hewan

Yang tampak dan yang tidak tampak

Yang terdengar dan yang tak terdengar

Yang terasa dan yang tak terasa

Tuhan pencipta langit dan bumi

 

 

Puisi Usang, Pantai Samfur, pukul 17.00

 

 

Anak adalah Anugerah

Keuskupan, 4 Maret 2009

 

“Suami menangis tadi pagi. Dia merasa tidak berguna lagi hidup di dunia. Dia tidak bisa memberikan anak untuk isteri dan keluarga. Karena cairan kelaki-lakian-nya rapuh. Sekalipun setiap bulan disuntik cairan ajaib dari dokter seharga Rp. 1.000.000, tetap saja nihil. Saya harus bersikap bagaimana terhadapnya? Saya merindukan seorang anak, sedangkan suami tidak mampu memberikannya. Apakah saya harus menceraikannya dan menikah dengan lelaki sehat agar saya bisa mempunyai keturunan? Atau saya tetap berada dalam penderitaan berkepanjangan?” SMS Acin Pangkalpinang 4 Maret 2009 sudah nongol pertama kali di hand phone Aliong untuk menurutkan kisah Kekasihnya.

 

Bersamaan dengan SMS di atas boru Nainggolan dari Medan Sumatera Utara menelpon Aceng 4 Maret 2009,”Apalah awak ini, bilamana awak tidak bisa memberikan anak. Mertua memandang rendah martabat wanita yang tak mampu memberikan anak kepada mertua. Mertua bertindak semena-mena terhadap saya. Saya dijadikan sapi perahan oleh keluarga besar suami. Suami sering memukul dengan alasan ketidakmampuan saya memberikan anak kepadanya. Saya merasa memang sungguh sangat rendah di mata mereka. Dan betullah bahwa seorang wanita belumlah lengkap bilamana belum melahirkan seorang anak. Satu hal yang kuminta, sudilah Tuhan berbelaskasihan kepada keluarga kami! Itu saja! Tidak ada yang lain.”

 

Lamunan Acong buyar ketika Lena dan Lenu meminta Acong untuk memberkati anak yang berulang tahun ke 30 hari jam 1730 wib di Bukit Intan Pangkalpinang Bangka. “Kami sudah menikah 3 tahun. Selama 3 tahun kami berjuang untuk mendapatkan anak. Perasaan frustasi terkadang menggerogoti, ketika harapan kita belum terpenuhi. Namun kami tetap berharap, berdoa dan berjuang untuk menggapai cita-cita kami. Doa orang suci dan seluruh umat beriman sungguh menguatkan kerapuhan kami. Dia membuka telinga bagi kami. Rahim kami dibuka oleh-Nya. Kami sekarang mendapat anugerah dari Tuhan seorang bayi wanita mungil. Sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan, sudilah kiranya Acong berdoa kepada sang pemberi bayi untuk mengucapkan syukur atas kemurahan-Nya kepada kami. Sungguh kami sangat bahagia dan berterimakasih.”

 

“Bapa, ada seorang ayah merindukan seorang anak, tetapi ia tidak mampu mempunyai seorang anak. Sementara banyak wanita merindukan bisa melahirkan seorang anak, tetapi mereka tidak mampu melakukan hal itu. Kini di hadapan kami seorang ibu yang sudah berjuang mendapatkan anak selama 3 tahun, sekarang sudah melahirkan seorang anak.  Mereka mengimani bahwa anak di dekapan sang ibu adalah berasal dari pada-Mu. Maka dari itu ya Tuhan, kami mengucapkan berlimpah terimakasih atas anugerah-Mu. Karena ia adalah milik-Mu, kami percaya bahwa Engkau senantiasa melindungi membimbing dan menyertai anak ini dalam peziarahannya di dunia ini.”

 

Sebagai ungkapan kegembiraan keluarga menyediakan ayam arak, babi panggang, rendang babi hutan, mie, dan banyak kue. “Makan kenyang, Cong! Ini pesta keluarga! Kau adalah undangan khusus!”

 

 

 

Makan Bersama

Keuskupan pangkalpinang, 3 Februari 2009

Aceng menurutkan sepenggal kisah nenek moyang kepada bapak Aliong dan Istrinya di restoran Fuksin Bukit Intan Pangkalpinang. Ada kisah di jaman dahulu kala, seorang tokoh besar muncul di muka bumi. Sang tokoh tersebut mengumpulkan para murid-Nya untuk makan bersama. Makanan dan minuman pesta mereka adalah tubuh dan darah sang Guru. Sang guru yang waskita berpesan kepada para murid-Nya agar melanjutkan kebiasaan yang dibuat-Nya.

Sehari setelah berpesta, sang guru di tangkap, disiksa dan dihukum mati oleh pemerintah jaman itu. Sang Guru mati, tetapi sabda-sabda-Nya tetap hidup seperti pesan-Nya untuk memecah-mecahkan roti dan menyampaikan kata kata baik. Makan bersama menjadi anchor peristiwa silam ketika guru dan murid bertemu duduk semeja.

Nenek moyang kita pernah menasehati cucunya, ketika kita mengadakan kenduri, kita duduk bersama, makan bersama, dan berbicara satu terhadap yang lain. Kebiasaan seperti ini menjadi sarana menjalin rekonsiliasi sesama dan Tuhan.

Acong ingat pesan mbah suro di Bloro, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Di mata Tuhan kita adalah sama sama ciptaan-Nya. Kita tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang merasa lebih rendah di mata-Nya.

Seorang motivator dan orang suci berseloroh, “Ketika orang berdamai dengan sesama dan dengan Tuhan, dia merasa hidup damai. Ketika dia merasa damai, dia bisa berfikir dengan jernih. Ketika dia berfikir dengan jernih, dia bisa berperilaku dan bersikap lebih baik. Ketika dia bisa bersikap lebih baik, maka dia bisa menerima masukan lebih baik dari sang guru dan makanan yang disantap.”

Seorang budhis, istri Aliong dalam makan siang di restoran Fuksin 3 Maret 2009 jam 13.00 wib sambil menyantap hoisom bertutur, “nenek moyang kami mengajarkan bilamana kami melayani bante / biksu / pelayan Tuhan, maka kami mendapatkan berkah melimpah bagi kehidupan di dunia. Mereka banyak melakukan ulah tapa dan samadi. Mereka dekat dengan kesempurnaan (suci).”

Acong menimpali,” nenek moyang kami pernah menuturkan bahwa orang suci bisa sempurna karena ia mampu menaklukkan ego di dalam diri seperti matahari memancarkan sinarnya untuk orang baik dan orang jahat dan keberadaannya untuk sesama maklhuk di muka bumi. Kita belajar menaklhukkan ego dengan melayani, memberi, memberi dan memberi kepada semua maklhuk hidup.”

Kami meninggalkan restoran Fuksin setelah kami dikenyangkan oleh Hoisem dan bertutur tentang kejayaan masa silam nenek moyang kami tentang perjamuan bersama.

Mie

Keuskuoan, 2 Maret 2009

Pukul 1635 wib welly datang ke wisma jalan batu kadera XXI No 545 pangkalpinang. Dia menunggu di depan kapela santa Maria keuskupan selama menunggu Aceng misa.

Ketika itu si Aceng membaca kisah nenek moyangnya. Kata nenek moyang kita hendaknya memberi makan orang yang lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi tumpangan bagi para gelandangan, menengok orang sakit, mengunjungi orang orang yang meringkuk di dalam penjara.

Nenek moyang mengajarkan agar kita peduli dengan orang yang menderita. Maka pastor mengajak Welly jalan keliling kota Pangkalpinang untuk melihat sisi kehidupan.

Selama dalam perjalanan Aceng meminta kepada Welly untuk memperhatikan keadaan di sekeliling jalanan yang dilewati. Mengamati situasi menjadi sarana untuk melatih memupuk kepekaan kita kepada lingkungan. Bila sungguh kita menemukan orang menderita maka kita tolong mereka.

Selama dalam perjalanan seluruh panca indera dipasang untuk menangkap kejadian yang ada di sekeliling, tanggap terhadap kebutuhan sesama.

Weli berulang menuturkan tentang show room mobil, perumahan, bank, ruko ruko, sedangkan Aceng menyebut warung makan seperti mie, otak otak, duren, dan lain lain. Menurut pastor gono obyek yang menarik panca indera kita merupakan cermin dari dalam diri kita.

Berpijak dari pemikiran tersebut pastor menduga bahwa Welly mempunyai usaha jual beli mobil, rindu mempunyai rumah nyaman dan tinggal dengan keluarga, keinginan mempunyai tabungan, dan merencanakan membeli ruko untuk usahanya. Sedangkan Aceng sedang lapar.

Setelah Wely mengakui kerinduannya seperti yang disebut Aceng, mengajak singgah di warung mie untuk makan.

Dua posi mie dan tahu fukok dipesan untuk makan bersama. Di tengah kami asyik bersantap, ce Wewe hadir untuk membeli mie. Bagian beliau dibungkus dan dibawa pulang. Ketika dia berpamitan pulang kepada Aceng dia berujar,”Ceng, aku sudah bayar!”

Beliau bayari 4 mangkok mie dan tahu fukok yang kami santap. Bukan Welly yang membayar tetapi justru Wewe.

Bukan kami yang memberi makan kepada yang lapar tetapi kami justru yang ditraktir makan mie dan tahu fukok. Dunia ini terkadang lucu.

Biru Laut

Keuskupan pangkalpinang, 1 Maret 2009

 

Fushiang mengajak Acong menyusur tepi pantai pasir padi Pangkalpinang Bangka Minggu 1 Maret 2009 pukul 15.07 wib. Fushiang tidak membawa makanan dan minuman dari rumah. Di tepi pantai banyak penjual makanan dan minuman. Ribuan orang berkumpul di tepi pantai seperti ribuan semut mengerumuni gula. Ribuan orang di bawah terik hebusan angin laut rindu menyentuh air laut. Bisa juga mereka hadir di laut untuk mendengarkan musik alami penyejuk jiwa. 

 dscn6976

“Ma,itu apa?” telunjuk Acong mengarah ke laut lepas.

 

“Oh itu, itu khan laut, nak.”

 

“ma, apa itu?” Acong menengadah ke langit.

 

“Oh itu ya, itu langit.” Jawaban Fushiang pendek dan tegas.

 

“laut berwarna biru. Langit berwarna biru, ma?” tegas Acong.

 

“Air laut yang dalam membuat air seperti berwarna biru. Jauh tak terhingga langit membuat langit seperti biru. Padahal kolaborasi dari aneka warna atau kristalisasi dari banyak warna, nak.”

 

“Ma, rambut wanita itu putih dan kulit keriput? Mama hitam dan cantik?”

 

“Semua orang mengalami proses bayi, anak, remaja, dewasa, tua, dan nenek-nenek. Seiring dengan perkembangan tersebut fisik juga mengalami perubahan. Semakin tua tubuh semakin renta. Kulit semakin keriput. Tulang menjadi lebih rapuh. Kekuatan manusia surut seirama dengan menyusutnya tubuh, anakku.”

 

“Ma, di samping kita duduk sekarang ini, ada setengah baya. Tetapi raut wajah suram hitam kelam dan tampak tua?” Acong sedikit penasaran melihat raut wajah orang di sampingnya.

 

“Oh, beban hidup yang menghimpit kita seringkali membuat manusia menderita. Penderitaan manusia terkadang bisa berdampak ke fisik. Redupnya sinar di wajah seseorang merupakan cermin redupnya hati dan semangat orang yang bersangkutan.”

 

“ma, di meja itu ada botol, jagung, kelapa muda, bir, minuman ringan, makanan ringan, dan lain-lain. Apa maksud dari semua itu, ma?”

 

“Oh itu sih warung. Semenjak krisis melanda negeri ini banyak orang berali profesi untuk menyambung hidup.

Makanan dan minuman tersebut dijual kepada para pelancong di pantai ini. Bilamana Acong menginginkan salah satu dari minuman tersebut, nanti mama bisa belikan untuk Acong.”

 

“Gubuk-gubuk di tepi pasir padi gelap. Mereka tidak memakai listrik. Lampu petromak atau lilin menjadi penerang gelap di malam hari. Malam-malam banyak wanita memakai rok mini duduk di depan warung. Mereka menjual apa, ma?”

 

“Oh, itu namanya warung gelap. Justru mereka jual dan beli di tempat yang gelap. Mata orang bisa tertipu di tempat yang gelap. Bopeng-bopeng akan tampak mulus di tempat yang gelap. Hitam akan tampak putih di tempat yang gelap. Kejauhan memandang tampak biru, setelah kita dekati ternyata hitam dan bopeng bagaikan biru laut dan langit biru.”

 

“Begikah langit dan laut itu ma?”

 

“Mari nak, kita makan di restoran Biru Laut! Di sana banyak barang enak dan cahaya lebih terang bersinar daripad di gubuk-gubuk derita ini.”

 

“Mama cantik, Acong sayang mama.”

 

“Acong ganteng, mama sayang Acong.”