Nobody’s Child

 

Wisma, 23.12 wib, 20 Oktober 2008

 

Malam berganti pagi, siang berganti malam

Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu

Diriku berjalan di sebuah padang rumput yang kosong

Hanya diam, sendiri, termenung menatap wajah sendiri

Kedalam bercak air di dalam wadah yang dalam

 

Sejenak aku duduk terpaku

menatap ruang hampa dunia yang kosong ini

Meski riuh-riuh terdengar di telinga ini

Suara rusuh menggema di otak ini

Getaran yang tak terhenti di tubuhku ini

Hawa panas yang terhinggap di tubuhku ini

 

Suasana sunyi dengan malam yang dingin

Saat aku duduk terpaku di padang rumput ini

Serasa sunyi dengan malam yang dingin

 

Saat aku duduk terpaku di padang rumput ini

Serasa menyejukkan hati

Dan menjernihkan seluruh jiwa dalam tubuhku ini

Meski tak ada yang menemaniku

Tak ada yang berada di sampingku

Saat ini hawa dingin yang menusuk tulangku

Perlahan-lahan telah menghapus hawa panas dalam jiwaku

 

Inginku gapai bintang yang berada tegak di atas kepalaku

Dengan semua isi dunia ini

Mungki dengan seiring waktu yang berjalan

Semua ini dapat kulalui dengan sepenuh hati

Dan getaran-getaran yang menggangguku

Harapku dapat menjadi getaran yang bergetar saat ini saja

Tidak untuk kehidupanku selanjutnya.

 

Apakah kau mempunyai seorang ibu?

 

Aku tidak merasa memiliki siapa-siapa, walau aku mempunyai seorang ibu. Aku merasa hidup sendiri. Hidupku kering dan gersang seperti kaktus. Kaktus tumbuh di tempat kering tetapi tidak pernah kekeringan karena menyimpan air. Duri-durinya sering melukai banyak orang.

 

Kau mempunyai orang tua, tetapi kau tidak merasa memilikinya. Kau tinggal bersama dengannya, tetapi kau merasa hidup sendiri. Kau berada di tengah kota yang ramai, tetapi merasa sepi. Bahkan kau merasa hidupmu kosong seperti kurang kasih sayang. “Diriku berjalan di sebuah padang rumput yang kosong. Hanya diam, sendiri, termenung menatap wajah sendiri.”

 

Iya pastor, aku seperti kecoa. Banyak orang memandangku dengan jijik. Banyak orang meremehkan aku. Banyak orang tidak memperhitungkan keberadaanku. Bahkan keberadaanku mengganggu orang lain sehingga orang-orang menyingkiri. 

Ibu Ling-linglu yang mendampingi menangis mendengar pengakuan anak di sampingnya. “ibu tulus mencintaimu. Teguran ibu terhadapmu adalah bentuk kasih. Tuntutan ibu terhadapmu untuk mendapatkan nilai bagus adalah bentuk kasih. Tawaran mengikuti kursus juga demi masa depanmu agar nilaimu bagus. Tetapi mengapa engkau berkata begitu?

 

Kalian ribut sekali. Aku saja tenang-tenang walaupun hidupku agak hancur sedikit. Tetapi khan masih ada.

 

Nenek, Ainong yang duduk di samping ibu itu berujar,”ibumu mengangkatmu dari lembah kelam. Kau dijadikan anak olehnya. Dia memelihara seperti anak kandungnya sendiri. Dia sayang padamu. Begitukah balasan seorang anak terhadap orang tua?”

 

“Entahlah, aku merasa sendiri. Teman-temanku tidak ada orang yang mau mengambilku. Kondisiku tidak baik dan tidak berguna untuk mereka.” Tisiligrea memotong ibu dan nenek.

 

Cobalah dengarkan Tisiligrea! Perilaku baek seorang ibu dan nenek, ternyata belum tentu diterima baik oleh anak. Anak merasa bahwa ia hidup seorang diri. Pada umumnya anak menjadi seperti apa sangat dipengaruhi oleh pendidikan orang tua. Anak merupakan cermin orang tua.

 

Tisiligrea menunduk. Dia tidak berani menatap ibu dan neneknya.

 

Bagus kau menyadari bahwa kau seperti kaktus dan kecoa. Keduanya mempunyai kesamaan, yakni mampu bertahan dalam situasi sulit. Biarpun orang-orang menghinamu, kau tetap mampu bertahan. Biarpun orang tua sering mengutukimu, kau mampu bertahan. Biarpun banyak orang menyingkirimu, kau mampu bertahan seperti kecoa dan kaktus.

 

Kau merasa bahwa hidupmu mandeg. Ibu sudah mendorong maju agar kau mampu setingkat dengan teman-temanmu dengan memberi les privat, memberi semangat siang dan malam, dll, tetapi kau merasa berjalan di tempat. kau merasa sesak, dan ingin lepas bebas seperti burung elang.“Sejenak aku duduk terpaku, menatap ruang hampa dunia yang kosong ini, meski riuh-riuh terdengar di telinga ini, suara rusuh menggema di otak ini.”

 

Betul pastor,  … saya ingin bebas dari belenggu yang menyesakkan. saya ingin terbang tinggi ke atas awan.

 

Kau sudah berjuang dengan segenap jiwa raga. Ibu sudah berjuang dengan aneka cara. Hasil yang engkau dapatkan belum sesuai dengan harapan ibu. Semakin ibu memaksamu mencapai target padahal kau tak mampu mencapai target, membuatmu semakin tertekan. Bahkan emosimu menjadi labil. Kau mudah marah, ibu juga mudah marah. “Getaran yang tak terhenti di tubuhku ini, hawa panas yang terhinggap di tubuhku ini.”

 

Tepat sekali pastor. Aku mau menjadi bintang atau pohon cemara. Aku memiliki ilmu tinggi. Aku mempunyai harta melimpah. Aku mempunyai kedudukan yang tinggi. Aku bisa menyinari banyak orang.

 

Kau sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keinginan menjadi bintang. Keinginan menjadi bintang adalah keinginan luhur dan tinggi. Namun dalam puisimu terkesan bahwa kau merasa iri melihat teman sebaya yang kaya dan pandai. Sehingga kau mau mengalahkan mereka. Usaha mengalahkan mereka sering tak mampu menjadi kenyataan, sehingga tinggal harapan. Ketidakmampuanmu menggapai keinginan tinggi sering membuat tertekan. “Inginku gapai bintang yang berada tegak di atas kepalaku, dengan semua isi dunia ini.”

 

Iya pastor.  

Luarbiasa kau sudah menggantungkan cita-citamu setinggi bintang. Suatu saat nanti kau mampu menjadi bintang. Namun demikian kau harus mengukur kemampuan diri dan hindari sikap membanding-bandingkan diri kita dengan orang yang kaya dan jenius. Kita belajar menerima diri kita dengan segala keterbatasan dan sedikit kemampuan yang kita miliki.

 

“Maafkan ibu.” Ling-linglu berujar lirih sambil mengusap air yang membasahi pipi.

 

Walaupun demikian kau sudah menemukan obat penawar luka. Kau mempunyai keyakinan bahwa kau mampu mengatasi segala persolanmu dan menggapai bintang dengan mengada sesuai dengan dirimu saat ini. “Semua ini dapat kulalui dengan sepenuh hati. Dan getaran-getaran yang menggangguku. Harapku dapat menjadi getaran yang bergetar saat ini saja.”

 

Terimakasih pastor.

 

Selama ini mungkin anda pernah melukai perasaan orang tua, teman-teman dan Tuhan. Silahkan anda menuliskan doa pribadi di secarik kertas.

 

“Terimakasih ya Bapa, terimakasih atas apa yang Kau lakukan terhadapku. Terimakasih atas berkat yang telah kau berikan kepadaku selama ini. Kini aku berada di hadapanMu. Kini aku berbicara di dalam diriMu. Selama ini aku telah mengecewakan orang-orang di sekitarku. Selama ini aku tak bisa memberikan yang terbaik terhadap orang-orang yang kusayangi.

 

Ya Bapa, aku mohon ampun terhadap apa yang kulakukan terhadap orang-orang disekitarku. Aku mohon berkat dan petunjuk dari terang Roh kudus atas apa yang terjadi padaku. Aku juga mohon berkat dan pengampunan terhadap orang-orang di sekitarku.

 

Kami tidaklah sempurna seperti diriMu ya Bapa. Entah sampai kapan kami memohon ampun padaMu. Kesalahan yang aku dan orang-orang disekitarku serasa tak terhitung jumlahnya. Kami hanya seorang manusia biasa ya bapa. Aku mohon pengampunan terhadap diriku dan orang-orang disekitarku. Kami serahkan hidup kami seluruhnya kedalam tanganMu. Kami mohon petunjuk dariMu untuk hari-hari kami selanjutnya.”

 

Kesadaran persatuan kita dengan Allah membuat kita tabah dan kuat. Bimbingan roh Allah membimbing meniti jalan lurus menuju puncak cita-cita. Hal tersebut merupakan modal anda menuju sukses. Menyalahkan diri sendiri, orang-orang di sekilingmu, marah dengan diri sendiri dan Tuhan semakin melemahkan perjuanganmu menggapai bintang di langit.

 

Iya pastor.

 

Kau adalah seorang wanita. Suatu saat kau menjadi seorang ibu. Pastor minta anda bergantian tempat duduk dengan ibumu. Duduklah di posisi dia. Menjadilah dia! Temukan sebanyak mungkin kebaikan yang ada pada ibumu.

 

Mereka berdua berganti kursi.

 

Masukilah kehidupan ibumu dan menjadilah seperti dia. Kalau anda sudah mengalami menjadi seorang ibu. Berdoalah pribadi kepada Tuhan. Masih beranikah kita menyalahkan dan marah terhadap orang tua kita?

 

Ling-linglu mengangguk-anggukkan kepala. Memang ibu dan kawan-kawan tidak selalu dekat di sampingku, tetapi mereka selalu memperhatikanku. Ibu memilikiku, aku memiliki Ibu. Sekarang aku tidak sendirian lagi donk.

 

Dia melangkah mendekati ibu. “Maafkan anakmu.” Mereka saling peluk dan mengalirkan air dari kedua pasang mata indah. “Aku ingin melakukan yang terbaik untuk orang-orang di sekitarku.”

 

 

 

 

 

 

 

Read 0 comments

  1. Ini sangat sering terjadi didalam kehidupan sebuah keluarga……hendaknya sedini mungkin dibiasakan dengan komunikasi yang baik, saling menyayangi, saling membutuhkan, saling megerti …….bisa menjauhkan hal itu terjadi dalam hubungan orang tua dan anak.

    Beda pendapat? Jelas sering terjadi tapi kalau segala sesuatu biasa di ‘diskusi’ kan dengan baik maka jalan keluar akan didapat tanpa diwarnai kesal, marah dll.

    Yang tak kalah pentingnya yaitu DOA & SYUKUR sebab begitu banyak kasih dan berkat-NYA yang melimpah dalam hidup kita. Biarlah kita menjadi seperti apa yang Allah rencanakan dan maui, bukan menurut apa yang baik dimata kita.

  2. Ini sangat sering terjadi didalam kehidupan sebuah keluarga……hendaknya sedini mungkin dibiasakan dengan komunikasi yang baik, saling menyayangi, saling membutuhkan, saling megerti …….bisa menjauhkan hal itu terjadi dalam hubungan orang tua dan anak.

    Beda pendapat? Jelas sering terjadi tapi kalau segala sesuatu biasa di ‘diskusi’ kan dengan baik maka jalan keluar akan didapat tanpa diwarnai kesal, marah dll.

    Yang tak kalah pentingnya yaitu DOA & SYUKUR sebab begitu banyak kasih dan berkat-NYA yang melimpah dalam hidup kita. Biarlah kita menjadi seperti apa yang Allah rencanakan dan maui, bukan menurut apa yang baik dimata kita.

Tinggalkan Balasan