Wisma Keuskupan, 16 September 2008
Terkadang sebagai manusia kita melihat segala sesuatu dari kelebihan. Manusia mengharapkan hasil yang lebih dari yang diharapkan. Manusia bersedia memberi dari kelebihan. Manusia memberikan syarat dan kriteria karena mengharapkan sesuatu hal yang “lebih”. Manusia tak sadar, bahwa kelebihan berawal dari kekurangan. Lebih merupakan kesatuan dari elemen-elemen yang melebur dari kurang.
Sikap pamrih seringkali menjadi motivasi orang untuk memberi.
Sesungguhnya hal yang indah berawal dari kekurangan. Memberi dari kekurangan, mencintai dari kekurangan, Kekurangan memberi nilai tambah bahkan makna yang lebih dari sekedar kata. Dari kekurangan tersimpan ketulusan, tersimpan pengertian, tersimpan keindahan. Apa yang dikatakan kurang merupakan berharga. Manusia akan belajar mencintai dari kekurangan. Manusia akan belajar mengasihi dari kekurangan. Manusia akan mengerti kehidupan dari kekurangan yang melekat dalam dirinya dan manusia akan menghargai apa yang ada dari kekurangan. Berarti Kekurangan merupakan kelebihan. Kekurangan merupakan awal manusia untuk belajar dan memahami akan arti menghargai. Amin
Si janda itu memasukkan uang persembahan dari seluruh harta miliknya. Padahal di mata orang, hidupnya berkekurangan secara materi. Tetapi dia mempunyai sikap murah hati.
Kekurangan yang merupakan kelebihan dapat tergantikan dengan empati dan prakteknya. Artinya mampu merasakan, apa yang dirasakan orang lain. Mampu menempatkan diri pada posisi, situasi dan keadaan orang lain. Memberi dari kekurangan sekalipun kita masih membutuhkan karena disanggupkan oleh empati. Empati bukan sekedar simpati saja. Bukankah kekurangan berwujud keterbatasan yang dimiliki justru membentuk kelebihan sebagai manusia.
Ketika orang lain tersandung batu, hatiku tergerak oleh belaskasih orang itu. Ketika ada orang lapar, kita memberi makan. Ketika ada orang haus, kita memberi dia minum. Ketika ada orang menangis, kita menghibur. Ketika ada ruang kosong, kita mengisi. Ketika orang kurang kasih sayang, kita mengasihi dalam Tuhan dengan tulus. Begitulah empati. Hati kita digerakkan oleh belaskasih terhadap orang lain.
Aku memiliki keterbatasan sebagai seseorang yang butuh disayangi, semua itu tambah berkurang ketika aku dicampakkan, dibuang, dikhianati oleh seorang yang katanya saleh. Dengan kosongnya hati akan cinta dan kerinduan diperlakukan penuh kasih sayang, aku menjadi hampa. Ketika hati hampa, jiwa merana, pikiran kacau aku dipulihkan dengan memberi perhatian, memberi cinta, memberi sayang, memberi makna.
Kata orang aku adalah orang sakit, orang berkekurangan bukan sekedar materi tetapi juga kekurangan cinta. Ketika aku tak memahami semua yang terjadi, aku marah, kecewa, sakit hati, putus asa, depresi, bahkan luluh lantah. Kini aku mengerti, apa yang seharusnya kulakukan bahwa apa yang menjadi kekuranganku seharusnya membentuk aku, memulihkan aku.
Perkataan orang sering menjadi cermin tentang diri kita. Bila kita terbuka terhadap sapaan orang lain, maka kita semakin bisa mengenal diri kita. Kita bisa menemukan mutiara-mutiara indah dalam hubungan dengan orang lain.
Dengan kekurangan aku mengerti apa itu kelebihan. Dengan kekurangan aku mengerti bagaimana menyayangi. Dengan kekurangan aku memaknai arti cinta. Dengan kekurangan memampukan aku untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitiku. Orang-orang yang tak peduli dengan perasaanku bahkan hidup matinya aku.
Yang kulakukan adalah memurnikan hati, mengesampingkan cinta diri dan merasakan dengan menggambarkan apa yang terjadi jika seandainya aku berada di posisi mereka. Saat orang menyakitiku hingga aku terluka, aku mencoba membayangkan dan memahami mengapa mereka melakukan itu. Jawabannya adalah situasi, keadaan, kondisi mereka yang tidak memungkinkan mereka untuk belajar bagaimana memberi, memahami hidup, menghargai orang, merasakan penderitaan orang.
Semua kutarik dengan cara berpikir positif dan empati. Sehingga aku mampu memaafkan. Jika aku selalu meminta, menuntut, berbuat semua demi kebaikanku maka aku gagal. Gagal menjadi pemenang di hadapan Tuhan.
Meletakkan ego kita di sudut ruangan. Terbang memasuki pikiran orang lain. Memasuki dunia orang lain. Menyatukan hati kita dengan hati orang lain. Membuat kita memahami dunia orang lain, motivasi orang lain, perilaku orang lain, perkataan orang lain.
Dalam semua sikap, cara, tutur kata dan pemikiranku. Aku tak pernah kalah. Tidak ada yang terkalahkan. Ada sesuatu hal besar yang tak mampu tergambarkan yaitu kemenangan hati. Karena aku bukan pengecut apalagi anak kecil yang ketika jatuh meminta digendong, merengek ketika tak bisa dipenuhi harapannya.
Aku adalah aku. Mengasah nurani, memurnikan hati. Aku tak selalu kuat. Seringkali terjatuh tetapi pekerjaan bukan hanya dinilai dari hasil namun upaya yang dilakukan sehingga aku hanya mencoba berpikir untuk kebaikan orang lain, meringankan beban mereka. Seperti itulah aku keluar dari kelamnya jalan yang kulewati, dari sesaknya hati, dari ketidakberdayaan dan dari kekurangan yang kumiliki dari kekurangan yang seolah menjadi parasit dalam diriku.
Orang menang adalah orang yang bisa mengalahkan diri sendiri (ego), dia bertindak dengan hati. Ketika ego terkulai, maka hati berbicara. Disinilah terjadi pemberontakan ego terhadap hati. Pemberontakan ini menimbulkan perasaan galau, kesesakan hati. Perasaan merupakan cermin diri. Sangat mungkin sekali terjadi ada ketidaksesuaian hidup antara pikiran kita dengan hati nurani.
Itukan yang dimaksud dengan perasaan dan kata hati?
Jangan mencampuradukkan perasaan dengan hati nurani. Barometer paling jujur adalah perasaan. Maka untuk memantau keberadaan diri yang berpijak dari hati adalah dari perasaan.
Betul. Tapi pikiran dengan hati nurani mencerminkan pikiran sebagai perasaan. Kenyataan lebih banyak ditangkap oleh indera. Kenyataan berubah-ubah sedangkan hati nurani atau kata hati adalah tetap. Hati menuntun dari kedalaman diri.
Indera memang menangkap segala sesuatu yang berubah-ubah di luar diri. Tangkapan panca indera diproses oleh pikiran. Hasil pemrosesan pemikiran bisa melahirkan perasaan senang atau susah. Sedang hati tidak pernah berubah-ubah. Hanya saja hati seringkali terkacaukan oleh kelamnya pikiran dan rasa galau.
Ketika aku menyanyangi seseorang, perasaanku berkata aku tak dapat hidup tanpa dia, aku akan bahagia jika bersanding dengannya. Namun setelah hari berganti, diskusi dan interaksi terjalin, hingga menciptakan pengalaman hati. Nuraniku mengatakan, “ia bukan yang terbaik.”
Aku tilik, selidiki kembali. Aku jalani dengan santai. Aku banyak menenangkan diri. Aku diyakinkan untuk meninggalkannya dan sekedar menganggap dia sebagai sahabat. Damai sejahtera ketika aku mengikuti itu namun menyiksa perasaanku untuk bisa bersama dia. Mengulang cerita bahkan menuju gerbang hidup baru. Tetapi hatiku bicara,” tak mungkiin kupaksakan semua itu karena itu tak akan membawa kebaikan hanya siksa hati.” Kesesakan ini kujalani untuk kedua kalinya setelah peristiwa kelam yang kuhadapi.
Satu sisi masih merindukan menikah dengan orang saleh itu, tetapi di sisi lain kau mau meninggalkan dia karena dia tidak layak untuk dimiliki (dinikahi). Dua keinginan berbeda ini membuat hatimu sesak, timbul konflik batin di dalam dirimu. Bahkan ada konflik antara hatimu dengan nafsu biarahimu atau nafsu memiliki.
Jadi mana yang harus kuikuti? Seorang hamba Tuhan mengatakan padaku bahwa sebenarnya aku tahu apa yang harus kulakukan, dan karenanya aku harus membuat ketetapan hati. Aku tahu bahwa dia bukan yang terbaik, jadi aku menetapkan hatiku.
Sebenarnya banyak yang membuatku sesak hati. Bukan hanya masalah pendamping hidup saja.
Seringkali orang bertindak sesuai dengan perkataan orang, bukan berpijak dari hati. Menjadi persoalan ketika masukan orang itu justru melencengkan langkah kita. Cermatilah apapun perkataan orang dengan bijak. Nilailah dia dengan nilai-nilai ilahi yang tertancap di dasar hati. Bilamana sesuai dengan nilai luhur dari Tuhan, maka terimalah itu sebagai masukan berharga untuk mengada sesuai panggilan kita.
Aku sesak dengan kondisi keluargaku, aku ingin segera keluar namun aku belum diijinkan Tuhan untuk mengambil jalan pintas. Ya mencari penawar. Aku memang belum baik bahkan belum jadi yang terbaik tetapi aku ingin menemukan makna hidup. Aku mencari jalan apa yang harus kutempuh karena aku tak ingin sia-sia. Sekalipun kecil dan hanya sedikit memberikan sumbangsih, nilai yang kecil namun arti yang luar biasa bermakna. Semua harus dilewati, bukan dihindari.
Aku sesak karena aku tak mampu menjadi tumpuan bagi orang-orang yang kusayangi karena keterbatasanku. Mereka yang memahami kondisiku memberikan semangat dan pengertian. Aku menjadi tumpuan harapan namun aku belum memiliki kekuatan. Sehingga ketika aku merasakan tak mampu menjadi sesuatu, aku memberikan sesuatu sekalipun itu mungkin tak banyak membantu.
Itulah yang kini menimpa aku dalam kondisi keluargaku. Keluargaku, ibuku menaruh harapan padaku. Sekalipun ia tak pernah meminta, tak pernah mengatakan namun aku bisa melihat jelas bahwa ia berharap banyak padaku Pastor. Yang bisa kulakukan saat ini hanya berharap agar suatu hari aku dapat memenuhi harapan. Melakukan yang bisa kulakukan. Menjadi pegangan, memberi bahu untuk menangis, memberi waktu untuk mendengarkan. Itu juga yang kulakukan pada rekan-rakan yang sedang menghadapi situasi yang sama denganku. Aku merasakan kegelisahan, ketakutan dan kelemahan mereka karena aku pernah bahkan saat ini mengalami hal yang sama. Itu mengobati aku Pastor.
Jika tidak mungkin dalam situasi seperti ini aku akan seperti dulu, terkulai lemah, sakit tanpa tahu apa obatnya. Depresi! Bahkan kehilangan harapan. Kini ada tangan yang menggenggam, ada bahu yang menggendong, ada hati yang tulus menerimaku, ada sahabat setia yang selalu mendengarku, keagungan Tuhan. Itulah yang menguatkanku dan memampukanku. Tiap kali aku sesak, aku merasa itu merupakan bagian dari proses pemurnian Tuhan untuk mendidik, menghilangkan segala sesuatu yang buruk dari diriku.
Sebagai manusia aku tidak dapat mengandalkan kekuatan sendiri atau mengandalkan manusia. Pastor pun melihat perubahan ketika pertama kali aku bertemu dengan pastor dan saat sekarang. 1 tahun mematangkan langkah ku, 1 tahun banyak hal yang kuhadapi, 1 tahun aku memulihkan diriku dengan mencari Tuhan. Selalu menangis meminta agar IA mengangkat segala perasaan tak berguna.
Kalau pun sekarang aku masih mengalami kesesakan hati itu makin mendekatkan aku pada Tuhan. Makin membuat aku mengerti mengapa semua memang harus kulewati. Ditinggalkan membuat ku untuk memelihara, menghargai. Ditinggalkan papa membuat aku memahami arti memelihara dan menghargai keberadaan anak, anak merasa ditinggalkan kakak membuatku memahami arti dan menghargai menjadi seorang yang terbuka pada setiap saat.
Kalau aku tak mau mengubah diri kapan aku berubah. Perubahan harus dari diri sendiri.
Oke .. Itu langkah tepat. Bagus sekali kau menyadari bahwa rasa sesak itu bagian dari proses pemurnian diri. Ikutilah alur alammu sesuai dengan naluri dan hatimu.
Iya Pastor, aku setuju sekali. Seperti yang Pastor bilang bahwa aku adalah orang yang memiliki perasaan yang menggelombang, berubah ubah sehingga mengacaukan hati. Tapi aku punya kendali, yaitu pengendalian diri. Itu yang sekarang aku lakukan ketika perasaan berubah-ubah, aku mengendalikan diri.
Kendalikan perasaanmu, pikiranmu, dan perilakumu dengan hati!
Aku sekarang lagi mencoba untuk melupakan rasa sayangku terhadap cowokku menjadi rasa sayang terhadap sahabat. Aku lagi sesak karena ini saja kok, bukan karena hal lain. Hal di luar ini yang membuat sesak membuat aku menjadi bahagia manakala aku mencoba memberi diriku untuk melakukan yang bisa kulakukan. Tetapi untuk masalah satu ini, masih sangat membuat aku bingung.
Ada pertentangan antara rindu mencintai dengan menjadi sekedar sahabat, yang tanpa mau memiliki. Juga kau masih berjuang untuk mengikuti jejak hidupmu berdasar hati nuranimu. Itu masih perjuangan. Perasaanmu masih bergelombang untuk saat ini walaupun terkesan sudah jauh lebih baik daripada 1 tahun yang lalu.
Iyalah Pastor, tak mudah untuk melupakan atau mengubah perasaan apalagi belakangan ini aku udah dekat dengan cowokku ini. Sekalipun hanya berkisar 3 bulan aja, tetapi ada makna yang terlanjur tersirat di hatiku. Ada harapan yang kugantung dan harus secara cepat kulepaskan.
Sesak hati karena semuanya datang bertubi-tubi, cepat, serentak, terjadi mendadak. Satu masalah barus kuhadapi datang lagi, datang lagi, datang lagi sehingga kadang aku lelah. Kenapa terjadi saat ini, dalam hitungan menit, dalam hitungan minggu. Karena itu sekarang aku hanya ingin diam, gak mau banyak bergerak, mencoba mengikuti alurnya. Supaya tidak mudah lelah, supaya yang telah dilakukan tidak sia-sia, supaya aku gak tergoyahkan. Mengikuti jejak langkah yang ada.
Ikutilah jalur alammu maka kau bahagia .
Iya Pastor, aku ikuti saja semuanya. Belum ada yang datang maka aku menunggu, belum dihubungi maka aku menunggu, belum dicari maka aku menunggu. Semua kubiarkan terjadi sesuai dengan yang seharusnya tanpa aku yang merombak atau mencari-cari sendiri.
Dia memahat diri. Terkadang terasa perih. Terkadang merasa lembut manakala Dia membelai kita. Biarkan saja Dia mau membentuk kita sesuai dengan kehendakNya. Semua dibutuhkan kesabaran dalam menanti sebuat tujuan akhir dari proses penyempurnaan hidup.
Setiap langkah yang dilakukan akan meninggalkan jejak. Jejak jejak itu akan memandu, mengarahkan dan meninggalkan kebijaksanaan, kedewasaan. Membawa setiap kaki yang melangkah dan mengikuti jejak. Membawa pada pengharapan, pengertian dan jalan keluar. Jalan kehidupan yang ingin digapai. Ibarat biji yang mati, masuk ke dalam tanah untuk menyebar. Akhirnya membuahkan hasil yang merambat.
Yap, tepat sekali.
Hasilnya itu akan berbuah, semakin banyak yang bisa melihat, menuai dan merasakan hasilnya. Bukan pengorbanan hanya kesediaan. Jika dianggap pengorbanan maka yang tersimpan adalah rasa sakit, tapi kesediaan akan memampukan karena dalam kesediaan ada tujuan yang membahagiakan hati. Ada damai dan ketenangan yang melembutkan dan menyentuh. Kesediaan merupakan kerelaan untuk ditempa, dihancurkan, dibentuk, dan digabungkan dalam satu kesatuan yang merangkai keindahan makna bagi sekitarnya.
Keindahan makna karena memberi harapan bagi yang putus asa, memberi damai bagi yang resah, memberi motivasi bagi yang putus asa. Keindahan makna. Keindahan makna bagi mereka yang tak percaya mampu melewati, bagi mereka yang tak mengerti jalan hidup, bagi mereka yang marah akan hidup tak menentu.
Akupun belajar dalam masa pembelajaran. Setahap demi setahap. Karena manusia harus mau belajar untuk memaknai apa yang terjadi, memaknai kehidupannya. Sekalipun manusia tak suka terhadap hal pedih yang menyakitkan, sekalipun manusia tak ingin berkekurangan. Tapi manusia harus bersedia. Harus mau. Sehingga hidupnya bermakna dan memancarkan keindahan makna. Hidupnya tak sia-sia.
Luar biasa … Selamat anda mencapai titik kebahagiaan sejati.