Salatiga, 11 Agustus 2008
Saya meninggalkan wisma Betlehem Jln Cemara 41 Salatiga jam 08.15 wib. Saya berjalan kaki menuju jalan besar. Rintik hujan membasahi bumi dan tubuh. Saya naik angkutan umum berwarna biru muda. Di dalam angkut saya berjumpa dengan mbok-mbok. Dia membawa tenggok. Tenggok tersebut diletakkan di atas lantai di dalam angkutan. Dia bercakap-cakap dengan temannya.
A:. “Anakmu wes mentas kabeh?” Tanya temannya.
B: “Kemarin anak ketiga baru saja menikah. Jodohnya lebih tua 4 tahun daripada dia. Saya berpesan kepada dia. Itu pilihanmu. Yang menjalani kamu. Anakmu bagaimana?”
A: “Semua masih sekolah. Cari uang susah. hidup susah.”
B: “Yang kecil masih kelas II SMU. Bagaimana pun Tuhan pasti memberi jalan. Saya percaya itu. Jadi jalani saja.”
Si A mohon diri. Dia turun terlebih dahulu. Saya mengajak bercakap-cakap dengan si A. “Ibu jual apa?”
A: “Ayam kampung.”
“Anak ibu ada berapa?”
A: “Anak saya 4.”
“Apakah sudah selesai semua?”
A: “Belum. Yang kecil masih kelas II SMU. Anak ketiga baru saja menikah.”
“ibu mau dagang ayam. Dimana ayam ibu?”
A: “Saya mau beli ayam.”
“Ayam potong atau ayam kampung?”
A: “Ayam kampung. Harga ayam kampung lebih tinggi tetapi banyak orang suka.”
“Ibu jual dimana ayam itu?”
A: “Saya menjualnya di rumah.”
“Itu ada ayam!” Saya menunjuk ayam di pinggir jalan.
A: “Saya mau beli di pasar saja.”
Tenggok itu diambil olehnya. Dia pikul tenggok itu di belakang punggungnya. Dia menuju ke pasar, sedangkan saya menuju ke depan Ramayana.
Di depan Ramayana ada mbok-mbok membawa tenggok. Tenggok tersebut berisi penuh makanan. Tangan kanan dan kiri nya menenteng pelastik benda. Jalannya pelan tertatih-tatih, tetapi pasti. Kepalanya menoleh kearah mbok-mbok tua penjual kue dan minuman di dekat angkot-angkot. Dia meletakkan kedua barang di tangannya, tetapi dia tidak melepaskan tenggok berat di pundaknya. Dia memilih makanan. Makanan itu dimakan di tempat. Dia makan sambil berdiri dengan membawa beban berat. Sebelum dia meninggalkan tempat itu dia membayar makanan itu. Dia berjalan pergi meninggalkan penjual makanan itu.
Saya melanjutkan perjalanan menuju ke pusat pertokoan. Banyak sekali barang-barang di toko seperti hand phone, emas, pakaian, ikan, jam tangan, boneka, buah-buahan, burung, dan lain-lain. Saya terpana memandang seorang ibu menggendong anak di belakang di depan Pasar Raya di Jalan Jenderal Sudirman. Dia memindahkan barang-barangnya dari ujung kiri gedung pasar raya ke depan toko emas Irama. 14 A/50. Di belakang dia menggendong anaknya, di depan dia menggendong tenggok berisi bung-bunga (mungkin untuk sembahyang). Berulangkali dia bolak-balik dari tempat satu ke tempat yang lain selama 33 menit. Dia memindah tenggok-tenggok itu sambil bercanda dengan mbok yang lain. Setelah semua barang-barangnya dipindah, dia duduk di kursi kayu panjang.
15 meter saya berjalan dari tempat itu, kedua mata saya tertambat oleh seorang mbok tua. Di tubuhnya ada selendang menyilang di dada. Dia memakai jarik. Pakaian sederhana. Di mulutnya tersumpal tembakau. Sambil mengunyah tembakau dia membuka tenggok-tenggok di atas mobil mitsubisi. Tenggok-tenggok tersebut berisi buah-buah. Dia mengangkat tenggok-tenggok itu dari mobil, dan menurunkan tenggok tersebut di tanah ( 5 meter dari mobil). Dia melakukan semua itu sambil bergurau dengan sang sopir atau pedagang yang lain.
Semenjak saya naik angkutan umum, saya terkesima dengan mbok tua, yang membawa tenggok. Saya terkesima dengan mbok-mbok yang menggendong anak dan tenggok berat. Pesan mereka sangat mendalam sekali bagi saya. Mereka menghadapi persoalan hidup dengan senyum sekalipun mereka memikul beban berat. Setiap hari mereka menjalani semua itu dengan senyum dan tabah untuk membeayai sekolah anak-anak dan kebutuhan sehari-hari. Mencukupi kebutuhan sehari-hari dan membeayai sekolah anak merupakan tugas utama untuk seorang ibu.
Kisah tersebut mengajar kepada saya beberapa hal yakni setiap panggilan mempunyai konsekwensi. Kita harus memikul konsekwensi (tenggok) itu dengan senyum dan berbekal keyakinan bahwa Allah menyertai dan mengatur hidupku.
Selagi beban itu masih berada di pundak mbok-mbok itu, dia pasti berjalan tertati-tatih (lamban). Kalau beban tersebut dilepaskan, maka mbok itu pasti bisa berjalan lebih cepat seperti mbok yang berada di dalam angkutan umum. Bila saya membawa kemanapun beban kita, maka kemajuanku terhambat. Sebaliknya kalau beban tersebut diletakkan, maka saya bisa melesat seperti busur. (Pastor Titus Budiyanto, wisma Betlehem Jalan Cemara 41 A Salatiga)
Kalo suatu masalah/prsoalan dianggap beban, maka akan trasa berat. Tp jika dianggap suatu proses pembelajaran yg mendatangkan hikmah, maka smua akan trasa jauh lbh ringan.
Hadapi dng senyuman …
Proses pembelajaran adalah kata penting dalam hidup.
Kalo suatu masalah/prsoalan dianggap beban, maka akan trasa berat. Tp jika dianggap suatu proses pembelajaran yg mendatangkan hikmah, maka smua akan trasa jauh lbh ringan.
Hadapi dng senyuman …
Proses pembelajaran adalah kata penting dalam hidup.
terimakasih untuk buah pikiranmu fen.
terimakasih untuk buah pikiranmu fen.
Mo Titus, selamat memikul dan jadi tumpuan beban umatmu.Sebaliknya jangan umatmu memikul bebanmu dan jadi tumpuanmu.Selamat berkarya ya Mo. Berkah Dalem Gusti.
Alumni Penghuni Wisma Betlehem Jln.Muwardi thn 86.
makasih pastor
makasih pastor
Dari pertapaan padang gurun, retreat tahunan keuskupan pangkalpinang tahun diatur jadwal dan tempat nya masing masing. Memang super penting retret setelah dalam masa waktu melayani banyak umat yg sering datang membawa segala permasalahan nya. Mohon doa dan berkatmu
Terima kasih masukan mu. Mohon doa mu