Diobok-obok

wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147, 10 Maret 2008   

 

3 Maret 2003 mungkin hari dan bulan yang indah bagi semua orang tetapi bagiku gelap dan gelap. Hatiku seperti tertusuk duri. Sangat menyakitkan hati terdalam. Masih terbayang ketika aku sedang menonton temanku main sepak bola dengan lincah dan dengan taktik jitu. Permainannya begitu memukau banyak orang. Aku kagum dengannya. Aku mempunyai kerinduan selincah dia. Anganku melambung. Khayalku menjadi-jadi. 

Babak pertama sepak bola berlalu para pemain beristirahat. Aku bergabung dengan para pemain. Untuk menghilangkan dahaga para pemain mereguk air hidup sepuas-puasnya. Beberapa orang memijat-mijat kaki kanan. Yang lain memeras kaos yang penuh keringat. Mereka sedang santai. Gurauan terkadang muncul di antara kami.

10 menit berlalu permainan babak kedua dilanjutkan. Pelatih menunjuk dan mempercayaiku sebagai kipper sepak bola pada babak kedua. Hatiku sangat senang. “ini kesempatan untuk menunjukkan kemampuan kepada teman-temanku!” Permainan babak kedua semakin seru. Kekuatan kedua kesebelasan tampak seimbang. Keduanya belum berhasil mengegolkan bola ke tempat lawan. Hati sudah mulai panas. Saya sudah kurang sabar lagi.

Lima belas menit babak kedua berlalu saya mengalami cidera. “Saya berusaha menyapu bola yang datang. Tiba-tiba ada lawan yang mencoba untuk menyapu bola. Saya terlanjur menyapu bola. Ketika bola datang, kusikat dia! Yang kena bukan bola tetapi kaki lawanku! Prakk’ Kaki bertemu dengan kaki. Seketika itu juga aku terduduk di tanah. KAKIKUPATAH!” 

Pertandingan sepak bola terhenti. Teman-teman segera membawaku ke rumah sakit tetapi saya menolaknya. Aku lebih suka berobat ke dukun tulang. Sepanjang jalan menuju ke tempat dukun tersebut sekujur tubuhku mengucur keringat dingin. Sepajang jalan aku meringis menahan sakit luar biasa. Hatiku sediki lega manakala aku sudah berada di rumah SI DUKUN! Tangan kanan dukun itu memegang ujung pergelangan kaki yang patah sedangkan tangan kirinya memegang lutut! Ia mengamat-amati kaki patahku sejenak. Ia meraba-raba kaki patahku. Ia terawangi kaki patahku. Sambil bibirnya komat-kamit membaca mantra. Ia kucurkan minyak kelapa ke kakiku. Prak! Tiba-tiba Ia menarik kedua kakiku! Aku teriak keras sekali seperti orang kesurupan, aduh! “Sudah selesai!”kata sang dukun!” 

Kaki dibalut dengan kain hitam. Kencang sekali ikatan itu. Sakit terasa seperti darah beku. Setelah kaki terbalut kain hitam, dukun itu kembali mengambil minyak kelapa bekas. Dia kembali komat-kamit membaca mantra. Mantra selesai dibaca, Ia tuangkan minyak itu di atas kaki patah.  “Berapa pak beayanya,’ tanyaku pada sang dukun. Muka dukun itu tersenyurn sambil kepala mengangguk-angguk, tangan kanannya mengelus jenggot hitam tipisnya. Sebentar ia berfikir keras tetapi tak begitu tampak di raut muka. “Terserah adik! Berapa adik mampu membayar. Saya tidak menentukan harga.” Ujar dukun itu. Kuberi dia Rp. 200.000 (dua ratus ribu).

Kutinggalkan rumah dukun itu bersama-sama dengan teman-temanku. Hatiku sedikit lega. Saya yakin mantra dukun dan ketramplian tangan sang dukun pasti CES PLENG! Hari-hari tubuh terbaring di atas ranjang. Tubuh tak mampu berjalan. Kurindu bermain bola bersama kawan­kawan. Kuingin bisa lagi kebut-kebutan di jalanan sampai membuat miris orang. Kuingin lari-lari mengelilingi stadium. Semua keinginan sebatas angan-angan. Kaki rapuh, sakit.

Semakin hari justru semakin parah. Mama kandungku tercinta tajam rasa sebagai wanita. Melihat kondisi buruk tersebut segera dia bawaku RS olehnya. Dokter tulang memeriksa bagian yang patah berdasarkan rontgent. “Badanmu panas karena kau infeksi. Infeksi diakibatkan dari luka kaki patahmu. Tulang patah itu menusuk daging. Daging yang tertusuk itu terluka membusuk dan infeksi. Bila kaki ini tidak segera dioperasi maka sangat mungkin sekali membusuk dan diamputasi!”

Mendengar rekomendasi dari dokter ahli tulang tersebut mama segera mengambil keputusan agar kaki patah dioperasi.  Aku sangat takut saat mau mernasuki ruang operasi. Hati lebih takut daripada ketika kakiku diobok-obok oleh dukun tulang. Aku sangat gelisah. Di tempat pembaringan aku hanya bisa menyebut nama TUHAN! Singkat sekali kata yang selalu terucap di bibir. Biar demikian kata itu mampu menyihirku. Kata itu mampu memberi kekuatan hati yang galau. Ketenangan hati membantu proses operasi. 

Hati sangat lega dengan berjalannya operasi sesuai dengan rencana dokter. Kursi roda didorong seorang perawat cantik dan bahenol. Di atas kursi ku berujar,”Syukur bagi-Mu Tuhan. Berkat kemurahan hati-Mu, Kau selamatkan daku.”  

Seminggu berlalu aku diperbolehkan pulang ke rumah. Hari-hari kuisi dengan kontak hatiku dengan hati-Nya. Kasih Tuhan pasti menopang setiap langkah dalam hari-hari. Dalam kerapuhan kita menjadi sadar bahwa kita adalah bukan apa-apa, bagaikan bejana yang rapuh. “Aku membutuhkan-Mu,  Tuhan!” 

3 bulan aku sudah mampu berjalan. Penderitaan berlalu. Kegembiraanku meluap. Penderitaan berubah menjadi sukacita. Terimakasih Tuhan. Terimakasih mama. Berkat bantuan-Mu aku mampu sembuh seperti adaku sekarang ini.

 

Tinggalkan Balasan