Menyatu dengan Derita-Nya

wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147

 

Ibu Melani mempunyai kakak perempuan. dia sudah 14 hari berada di ICU salah satu rumah sakit di Jakarta. Melihat kondisi fisik dia sangat lemah. berdasarkan data medis di bagian kepala ada penyumbatan pembulu darah dan mengalami gangguan jantung. seluruh keluarga sudah iklhas dengan kepergiannya. Bagaimanakah sikap keluarga terbaik bagi kakak kami?

 

Pertanyaan tersebut dilontarkan kepada ibu Meli kepada pastor. Melani menghadapi dilema. kalau alat-alat di tubuh kakak dicabut, maka perhitungan dokter dia cepat meninggal. kalau alat-alat di tubuh di biarkan, maka harta pihak keluarga terkuras habis.

 

Saya berulangkali menghadapi situasi dilematis seperti ibu Melani. Saya menyarankan agar perawatan secara medis tetap dilakukan dengan konsekwensi apapun. Selama penanganan dokter di rumah sakit, saya meminta mereka agar berdoa bersama setiap hari bersama saya. Setelah berdoa bersama, saya menyarankan agar pihak keluarga menandai si sakit dengan tanda salib di dahi atau di telapak kaki dengan minyak. Salib mengingatkan akan misteri paska.

 

Saya menyarankan agar si sakit mau menyatukan penderitannya dengan penderitaan Kristus yang tersalib. Firman Tuhan saya kirim melalui SMS. Dari beberapa SMS saya pernah mengirimkan , “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, naum tidak putus asa. kami dianiaya, namun kami tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempaskan namun kami tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. sebab kami yang masih hidup ini, terus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. (II Korintus 4:7-11).  Saya mengharapkan bahwa firman Tuhan meneguhkan keluarga dan si sakit.

 

15 Maret 2008 ibu Melani menginformasikan bahwa kakaknya sudah sadar. Perlahan-lahan kesehatannya pulih. Sekarang 18 Maret 2008 kakak ibu Melani sudah sembuh total. Mereka bersyukur kepada Tuhan atas kesembuhan kakak tercintanya. Allah sungguh maha murah.  

Meneladani Sikap Yesus

Keuskupan Pangkalpinang

Amal Baik bukan Jaminan Kebahagiaan Ibu Phillip Sing-sing mengeluh, Stefen , anak kandung saya setahun ini jarang pergi ke gereja. Saya khawatir dengan masa depannya. Dia sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita muslim. Kalau iman rapuh, maka dia bisa berpindah agama. Padahal sejak dalam kandungan saya rajin membaca kitab suci agar dia pun mencintai kitab suci di saat dewasa. Sejak kecil saya rajin membawanya ke gereja. Tingkah laku sering melukai perasaan orang tua. Saat perasaan terluka, dia sering mengusir anaknya dari rumah dan tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah sikap seperti itu disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? 

Suami saya banyak berbuat amal untuk gereja. Dia pandai elektronik. Dia beberapa kali menolong beberapa pastoran untuk urusan semacam itu. Dia ringan tangan membantu orang lain. Dia pun banyak membantu di gereja. stasi Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang. Dia rajin ke gereja setiap hari minggu. Di rumah dia rajin berdoa. Dia sangat baik dan saleh, tetapi dia meninggal 90 hari lalu karena kanker. Mengapa hal tersebut terjadi pada orang baik? Apakah semua kejadian yang menimpa kami disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? Pastor paroki waktu itu menolak pembaptisan anak kami di paroki St Yusuf Pangkalpinang. Beliau menegaskan bahwa baptisan bayi di stasi hendaknya diadakan di stasi. Komunitas di stasi mempunyai tanggungjawab terhadap perkembangan iman anak setelah pembaptisan. Tetapi penolakan tersebut membuat kami tertekan. Kami merasa bahwa pastor marah terhadap kami. Dia menjadi enggan untuk berjumpa dan berbicara kepada keluarga. Sikap beliau sungguh membuat kami tertekan. Apakah rasa tertekan bisa menyebabkan sakit kanker dan sejenisnya?  Atau penyebab semua penderitaan keluarga kami adalah rumah? 

Setiap minggu saya mengikuti perayaan Ekaristi. Setiap doa lingkungan saya mencoba mengikutinya. Posisi bendahara di stasi Hati Kudus Yesus Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang adalah saya. Perbuatan amal sering saya buat. Saya rajin ke gereja. Saya mengabdi kepada gereja. Saya banyak berbuat amal. Tetapi mengapa saya masing sering sakit? Mungkinkah pengaruh rumah?

 Kisah nyata di atas dituturkan oleh ibu Phillip Euw Sing-sing. Sekeluarga sudah dekat dengan Tuhan dan melayani Tuhan, tetapi mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah berbuat amal terhadap orang lain, mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah rajin berdoa untuk kebaikan si anak agar anak mencintai Tuhan dalam hidup, tetapi mengapa justru terjadi kebalikan? 

 Meneladani Sikap Yesus

Semua manusia , saleh atau bejat, pasti bisa menderita seperti sakit, tua, mati, keinginan, dicerca, dianiaya, ditindas, dihina, dilecehkan, diperlakukan tidak adil, ditinggalkan orang dekat, dan lain-lain. Agama tidak menghapus penderitaan. Penderitaan seringkali merupakan bagian dalam proses mencapai pencerahan. Para santo dan santa selama hidup banyak mengalami penderitaan hidup. Yesus pun mengalami penderitaan lahir dan batin luar biasa hebat.

Saya terinspirasi dari renungan romo Gianto yang dikirim ke ApiK tentang renungan untuk Rabu Abu. “Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang penuh harapan pada zaman itu, Mesias yang mendatangi mereka ialah Mesias yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia ada penjelasan “ia adil dan jaya” – yang tidak ikut ditampilkan Matius karena sudah jelas) dan sekaligus tokoh yang “lemah lembut”, maksudnya, yang dapat memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran, sisi lain kelemahlembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersama.”

Yesus mempunyai dua kekuatan yakni lemah lembut dan maha kuasa. Yesus mampu memadukan kedua kekuatan tersebut untuk menyikapi hidup-Nya. Dia menyikapi secara lemah lembu sanjungan, pujian orang-orang atau pengkhianatan, penganiayaan, pembantaian, penyaliban disikapi oleh Yesus secara bijak. Santo paulus meminta kepada umat di Filipi agar mencontoh sikap Yesus. 

Bagaimanakah sikap kita atas kenyataan hidup sangat mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku kita. Penolakan pastor paroki atas baptisan anak Phillip euw sing-sing melahirkan perasaan terluka, karena mereka menyikapinya secara negative. Penolakan pembaptisan anak diidentikkan dengan penolakan pastor paroki atas dirinya, ungkapan amarah atau kebencian pastor paroki atas keluarganya. 

 Stefen, anak pertama jarang pergi ke gereja, sering pulang larut malam dan berpacaran dengan wanita muslim. Dia mengkambinghitamkan rumah dan ketidakefektifan doa pribadinya. Sang ibu sudah berusaha banyak berdoa di saat hamil dan berkarya untuk gereja, tetapi sang anak justru mengecewakan orang tua. Dia berfikir bahwa melayani di gereja otomatis membawa keluarga pada kebahagiaan. Dia menduga doa-doa merupakan cara ampuh mendidik anak menjadi saleh. Justru semua itu mengecewakan perasaannya. 

Sikap ibu Phillip euw sing-sing justru menambah persoalan baru di atas. Dia sibuk mencari kambing hitam, yakni ketidakefektifan doa dalam proses pendidikan anak dan rumah. Dia tidak berusaha mencari akar persoalan kenalanan si anak. Bahkan sering dia mengusir Stefen, anak kandungnya dan tidak mengakui Stefen sebagai anak kandungnya.  

 Sikap kasar ibu Phillip terhadap Stefen justru menimbulkan persoalan baru. Penoalakan ibu terhadap sang anak justru perasaan terluka si anak. Anak yang terluka akan mempegaruhi perilaku anak, yang cenderung melukai perasaan orang tuanya. Ketidakmampuan memutus mata rantai seperti itu kemudian dia mengkambinghitamkan rumah. Rumahlah penyebab keluarga, mama dengan anak sering bertengkar!  

Ketika sang ibu Phillip diminta untuk meneladani sikap Yesus, lemah lembut, ia menolak dengan tegas. Menurut ibu Phillip euw Sing-sing Yesus bisa bersikap secara lembut hati ketika diri-Nya dianiaya, diolok-olok, ditolak, disesah, disalib dan seterusnya, karena Dia adalah Tuhan. Saya adalah manusia. Saya bukan Tuhan. Jadi tidak mungkin saya atau umat bersikap seperti Tuhan! 

Kedamaian sejati banyak sekali ditentukan oleh sikap kita. Kalau kita menyikapi banyak hal secara negatif, maka perasaan kita akan mudah terluka. Kita banyak diombang-ambingkan oleh perasaan kita. Kita bukan digerakkan oleh suara hati terdalam kita. Kita bebas menentukan pilihan sikap kita. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147)       

Amal Baik bukan Jaminan Kebahagiaan Ibu Phillip Sing-sing mengeluh, Stefen , anak kandung saya setahun ini jarang pergi ke gereja. Saya khawatir dengan masa depannya. Dia sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita muslim. Kalau iman rapuh, maka dia bisa berpindah agama. Padahal sejak dalam kandungan saya rajin membaca kitab suci agar dia pun mencintai kitab suci di saat dewasa. Sejak kecil saya rajin membawanya ke gereja. Tingkah laku sering melukai perasaan orang tua. Saat perasaan terluka, dia sering mengusir anaknya dari rumah dan tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah sikap seperti itu disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? 

Suami saya banyak berbuat amal untuk gereja. Dia pandai elektronik. Dia beberapa kali menolong beberapa pastoran untuk urusan semacam itu. Dia ringan tangan membantu orang lain. Dia pun banyak membantu di gereja. stasi Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang. Dia rajin ke gereja setiap hari minggu. Di rumah dia rajin berdoa. Dia sangat baik dan saleh, tetapi dia meninggal 90 hari lalu karena kanker. Mengapa hal tersebut terjadi pada orang baik? Apakah semua kejadian yang menimpa kami disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? Pastor paroki waktu itu menolak pembaptisan anak kami di paroki St Yusuf Pangkalpinang. Beliau menegaskan bahwa baptisan bayi di stasi hendaknya diadakan di stasi. Komunitas di stasi mempunyai tanggungjawab terhadap perkembangan iman anak setelah pembaptisan. Tetapi penolakan tersebut membuat kami tertekan. Kami merasa bahwa pastor marah terhadap kami. Dia menjadi enggan untuk berjumpa dan berbicara kepada keluarga. Sikap beliau sungguh membuat kami tertekan. Apakah rasa tertekan bisa menyebabkan sakit kanker dan sejenisnya?  Atau penyebab semua penderitaan keluarga kami adalah rumah? 

Setiap minggu saya mengikuti perayaan Ekaristi. Setiap doa lingkungan saya mencoba mengikutinya. Posisi bendahara di stasi Hati Kudus Yesus Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang adalah saya. Perbuatan amal sering saya buat. Saya rajin ke gereja. Saya mengabdi kepada gereja. Saya banyak berbuat amal. Tetapi mengapa saya masing sering sakit? Mungkinkah pengaruh rumah?

 Kisah nyata di atas dituturkan oleh ibu Phillip Euw Sing-sing. Sekeluarga sudah dekat dengan Tuhan dan melayani Tuhan, tetapi mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah berbuat amal terhadap orang lain, mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah rajin berdoa untuk kebaikan si anak agar anak mencintai Tuhan dalam hidup, tetapi mengapa justru terjadi kebalikan? 

 Meneladani Sikap Yesus

Semua manusia , saleh atau bejat, pasti bisa menderita seperti sakit, tua, mati, keinginan, dicerca, dianiaya, ditindas, dihina, dilecehkan, diperlakukan tidak adil, ditinggalkan orang dekat, dan lain-lain. Agama tidak menghapus penderitaan. Penderitaan seringkali merupakan bagian dalam proses mencapai pencerahan. Para santo dan santa selama hidup banyak mengalami penderitaan hidup. Yesus pun mengalami penderitaan lahir dan batin luar biasa hebat.

Saya terinspirasi dari renungan romo Gianto yang dikirim ke ApiK tentang renungan untuk Rabu Abu. “Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang penuh harapan pada zaman itu, Mesias yang mendatangi mereka ialah Mesias yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia ada penjelasan “ia adil dan jaya” – yang tidak ikut ditampilkan Matius karena sudah jelas) dan sekaligus tokoh yang “lemah lembut”, maksudnya, yang dapat memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran, sisi lain kelemahlembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersama.”

Yesus mempunyai dua kekuatan yakni lemah lembut dan maha kuasa. Yesus mampu memadukan kedua kekuatan tersebut untuk menyikapi hidup-Nya. Dia menyikapi secara lemah lembu sanjungan, pujian orang-orang atau pengkhianatan, penganiayaan, pembantaian, penyaliban disikapi oleh Yesus secara bijak. Santo paulus meminta kepada umat di Filipi agar mencontoh sikap Yesus. 

Bagaimanakah sikap kita atas kenyataan hidup sangat mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku kita. Penolakan pastor paroki atas baptisan anak Phillip euw sing-sing melahirkan perasaan terluka, karena mereka menyikapinya secara negative. Penolakan pembaptisan anak diidentikkan dengan penolakan pastor paroki atas dirinya, ungkapan amarah atau kebencian pastor paroki atas keluarganya. 

 Stefen, anak pertama jarang pergi ke gereja, sering pulang larut malam dan berpacaran dengan wanita muslim. Dia mengkambinghitamkan rumah dan ketidakefektifan doa pribadinya. Sang ibu sudah berusaha banyak berdoa di saat hamil dan berkarya untuk gereja, tetapi sang anak justru mengecewakan orang tua. Dia berfikir bahwa melayani di gereja otomatis membawa keluarga pada kebahagiaan. Dia menduga doa-doa merupakan cara ampuh mendidik anak menjadi saleh. Justru semua itu mengecewakan perasaannya. 

Sikap ibu Phillip euw sing-sing justru menambah persoalan baru di atas. Dia sibuk mencari kambing hitam, yakni ketidakefektifan doa dalam proses pendidikan anak dan rumah. Dia tidak berusaha mencari akar persoalan kenalanan si anak. Bahkan sering dia mengusir Stefen, anak kandungnya dan tidak mengakui Stefen sebagai anak kandungnya.  

 Sikap kasar ibu Phillip terhadap Stefen justru menimbulkan persoalan baru. Penoalakan ibu terhadap sang anak justru perasaan terluka si anak. Anak yang terluka akan mempegaruhi perilaku anak, yang cenderung melukai perasaan orang tuanya. Ketidakmampuan memutus mata rantai seperti itu kemudian dia mengkambinghitamkan rumah. Rumahlah penyebab keluarga, mama dengan anak sering bertengkar!  

Ketika sang ibu Phillip diminta untuk meneladani sikap Yesus, lemah lembut, ia menolak dengan tegas. Menurut ibu Phillip euw Sing-sing Yesus bisa bersikap secara lembut hati ketika diri-Nya dianiaya, diolok-olok, ditolak, disesah, disalib dan seterusnya, karena Dia adalah Tuhan. Saya adalah manusia. Saya bukan Tuhan. Jadi tidak mungkin saya atau umat bersikap seperti Tuhan! 

Kedamaian sejati banyak sekali ditentukan oleh sikap kita. Kalau kita menyikapi banyak hal secara negatif, maka perasaan kita akan mudah terluka. Kita banyak diombang-ambingkan oleh perasaan kita. Kita bukan digerakkan oleh suara hati terdalam kita. Kita bebas menentukan pilihan sikap kita. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147)       

Menggiurkan

Setan sering menggoda manusia dengan berbagai macam cara yang menarik supaya manusia jatuh kedalam dosa. Dalam Injil Matius kita mencatat beberapa godaan iblis sebagai berikut misalkan: 1) kekuasaan atau kuasa melakukan banyak mukjijat yang dilambangkan dengan kemampuan mengubah batu menjadi roti 2) kehebatan, ketenaran, gengsi atau prestasi yang dilambangkan dengan menjatuhkan diri dari bumbungan bait Allah yang tinggi dan mengharap para malaikat menolong, 3) kekayaan duniawi yang dilambangkan dengan tawaran setan mau memberikan kerajaan dunia dengan kemegahannya kepada Yesus.  

Kisah Kejadian juga menampilkan godaan Setan. Adam dan Hawa digoda oleh setan untuk memakan buah larangan. Karena keinginan manusia untuk menyamai Allah maka ia memakan buah larangan Allah tersebut. 

Kalau manusia tidak tahan terhadap godaan setan maka manusia dapat jatuh ke dalam dosa. Dosa dapat dilukiskan sebagai berikut:  orang melempar ke suatu sasaran dengan batu. Batu tersebut meleset – melenceng – dari sasarannva – alias lidak kena sasarannya. Batu yang melesat diibaratkan manusia yang menuju ke arah sasaran, Allah. Melencengnva lemparan mengibaratkan manusia kalah terhadap godaan-godaan setan dan mengakibatkan dosa.

Godaan-godaan setan membuat manusia melenceng dari Allah – keluar dan jalur yang benar yang ditetapkan oleh Allah. Karena manusia keluar dan jalur Allah maka manusia tidak akan sampai kepada Allah; manusia jauh dari Allah: Akibat dosa adalah penderitaan manusia. 

Setelah Adam dan Hawa memakan buah larangan maka mereka mengetahui bahwa mereka telanjang. Artinva mereka berada dalam situasi dosa. Akibatnya dosa bagi Adam dan Hawa adalah ketelanjangan dan mereka diusir dan taman Eden. Ketelanjangan melukiskan penderitaan manusia sedangkan tempat di sebelah timur taman eden adalah lukisan manusia yang jauh dan Allah yang dilukiskan dengan taman Eden.

Jadi akibat dosa yang diperbuat oleh Adam dan Hawa adalah penderitaan manusia. Penderitaan itulah yang diinginkan oleh setan. Setan setiap waktu selalu menggoda dan menggoda manusia agar manusia melenceng dari Jalan Allah. 

Godaan-godaan setan itu menarik dan menvenangkan manusia sehingga manusia mudah tergiur dengan godaan itu. Hawa tergiur godaan ular – setan – dan Adam tergiur godaan Hawa. Hawa berdosa karena digoda oleh ular. Adam berdosa karena digoda oleh Hawa.

Jatuhnva dosa Adam dan Hawa mengingatkan gagasan dari Paulus dalam suratnya kepada umat di Roma,”Dosa telah masuk dalam dunia oleh satu orang […} Sebab itu sama oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman. Demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang berolah pembenaran untuk hidup.” 

 Argumentasi Santo Paulus sangat logis – masuk di akal kita. Dosa satu orang bisa membuat banyak orang berdosa dan perbuatan benar satu orang dapat menyelamatkan banyak orang.

Ilustrasi ini semoga membantu memahami maksud pikiran di atas: Romo Thomas naik kendaraan Vespa ke pasar Mambo. Dia memboncengkan perempuan. Di jalan dekat pasar mambo si Polan aktifis paroki melihat romo Thomas berboncengan dengan gadis itu.

Si Polan yang doyan bualan itu menceritakan kepada teman-teman di sekolahnya dan di kelompok kategorial dengan semangat. Katanva,”sava tadi melihat pastor Thomas di dekat pasar Mambo berboncengan dengan perempuan cantik, rambutnya lurus, lesung pipinya, alisnya hitam, bedak tebal. 

Sepulang sekolah kopral Ling1ung teman Polan menceritakan ulang cerita Polan dengan bumbu masakan masako kepada tetangga­-tetangganya. Kata Kopral Linglung kepada mereka,” temanku Polan seorang melihat pastor Thomas berboncengan dengan perempuan cantik: mesra sekali: tangan mulus, mata sipit itu memeluk perut pastor Thomas. Sungguh!”  

Dimas teman kopral Linglung sepulang dari rumah Polan bercerita kepada papa dan mamanva di meja makan. Kata Dimas,” pastor Thomas sekarang berpacaran dengan perempuan cantik, Kalau pacaran mereka naik Vespa.” 

Bayu Ningrat teman adik Dimas menceritakan kepada teman-teman mainnva katanya,”pastor Thomas sangat berani. Dia berpacaran dengan seorang wanita. Pasti ia sudah ada main dengan perempuan itu. Nggak mungkin jaman sekarang ini  kalau pacaran hanya sekedar bertatapan mata dengan mata!” 

Suci Ningrat teman Bayu Ningrat mencerintakan kepada temannya temannya,”saya mendengar kabar bahwa romo Thomas selingkuh dengan perempuan cantik, bahenol. Memalukan!” Berita romo Thomas membonceng adik kandung wanita menyebar bagaikan wabah kolera dalam waktu yang sangat cepat. Seluruh umat di kota Antah Berantah mengetahui berita tentang romo Thomas yang berboncengan dengan seorang gadis yang sebenanva adalah adik kandungnya.

Informasi orang pertama sangat berbeda dengan kenyataan dan informasi tersebut jauh berbeda ketika informasi tersebut sampai di telinga Suci Ningrat. Kalau informasi Suci Ningrat diteruskan, maka semakin banyak dia menyebarkan informasi keliru (menyebar kebohongan). Informasi baik bisa menjadi informasi yang sangat buruk dan mematikan seseorang, Apalagi informasi jelek, pasti orang akan hangat dan semangat menyebarkannya.

Alangkah indahnya kalau sepulang gereja setiap orang dan kita meceritakan kepada semua orang yang dijumpai sehingga seluruh kota gempar dengan kabar gembira sehingga semua orang mendapat mengenal Yesus sehingga gara-gara satu orang semua orang bisa mengenal Yesus, sehingga. 

Marilah kita melatih mengendalikan diri sehingga kita fasih menghadapi godaan­-godaan setan yang menarik hati. Latihan kita tidak perlu yang hebat. Pilih satu kecenderungan negatif dalam diri kita dan kita olah dengan tekun.

Seandainva kalau kita cenderung membicarakan kejelakan orang maka kita mengurangi kebiasaan buruk tersebut. Kalau mungkin mengganti berita buruk menjadi berita baik untuk disebarkan kepada semua orang.  Kalau kita cenderung mencari kekayaan tidak wajar seperti korupsi, mencuri, germo, dan lain-lain sampai melupakan Tuhan, marilah kita sisihkan waktu kita untuk Tuhan dan sesama. Kalau kita gila kekuatan atau kekusaan seperti memperebutkan kedudukan tidak wajar maka marilah kita mencoba merendah di hadapan Allah yang maha kuat karena Dialah yang maha kuat. Kalau kita cenderung ingin mengtahui segala hal maka marilah kita mengekang keinginan tahu kita dan mengakui kebesaran Tuhan yang tak mampu tertandingi oleh manusia. 

Seringkali keinginan tahu justru akan membunuh diri kita sendiri dan membuat kita menderita. Dengan latihan-­latihan dan campur tangan Tuhan dalam setiap hidup kita, kita berharap semakin fasih menghadapi godaan setan. Dengan demikian kita tidak mudah jatuh kedalam dosa. (Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147) 

Sejiwa

wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147

Wanita itu dihantarkan-Nya kepada Adam. Maka Adampun berkata: Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Dia akan disebut wanita, karena diambil dari pria. Sebab itu pria akan meninggalkan ibu bapanya dan mengikatkan diri pada isterinya. Dan keduanya akan hidup bersatu padu jiwa raganya (Kej2:24)

Yang mencipta manusia adam dan hawa adalah Tuhan. Yang mempertemukan adam dengan hawa juga Tuhan.  Kitab kejadian ini dikutip oleh Yesus dalam Injil Markus 10:7-8, “Karena itu pria akan meninggalkan ibu bapanya dan mengikatkan diri pada isterinya. Dan keduanya akan hidup bersatu padu jiwa raganya.”

Selanjutnya Yesus memberi penjelasan bahwa mereka bukan lagi dua melainkan satu. Yang dipersatukan oleh Allah, jangan diceraikan manusia (Mrk 10:9). Menurut Yesus pun yang mempersatukan laki-laki dengan wanita adalah Tuhan dan persatuan tersebut kekal sifatnya. Asal keduanya normal pastilah mereka bisa bersetubuh untuk melanjutkan keturunan mereka, walaupun salah satu di antara keduanya atau salah satu di antara mereka ada yang tidak mencinta.

Kitab kejadian dan Injil Markus, Yesus menegaskan bahwa persatuan tersebut mencakup kesatuan jiwa dan kesatuan raga. Persatuan tubuh didasari oleh persatuan hati – jiwa. Bila hati sudah bersatu maka rasa bisa bersatu.  Bila rasa sudah bersatu, maka tubuh bisa bersatu.

Mampukah hati istri dengan hati suami menjadi satu? Mampukah perasaan suami dengan istri menjadi satu? Mampukah pikiran istri dengan suami menjadi satu? Mampukah tubuh istri dengan tubuh suami bersatu?

Hati saling mencinta dan menyatu pasti mampu mempertahankan perkawinan hingga akhir hayat. Kita percaya bahwa istri (hawa) dihantar oleh Allah kepada suami. Mereka berdua mengikrarkan janji perkawinannya di hadapan Tuhan dan kita semua dalam gereja di saat pemberkatan perkawinan.

Tersirat niat saling mencinta dalam suka maupun duka dan dalam untung maupun rugi selamanya. Mimpi tersebut pasti menjadi kenyataan kalau sungguh di antara dua hati , dua jiwa dan dua tubuh ini sungguh menyatu dalam cinta. Sebaliknya perkawinan pastilah hancur, kalau tidak ada kesatuan hati selamanya

 

Kesetiaan Aciang

Wisma keuskupan, Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147    

 ”Sebelum meninggal dunia suami saya berpesan kepada kami sekeluarga agar kami tidak pergi ke te pe kong (tempat sembahyang umat Kong Hu Cu) atau ke taipak (istilah dukun di wilayah Bangka – Belitung). Dia melarang kami untuk meminta bantuan kepada para taipak. Jadi kami sekarang harus meminta pertolongan dari siapa, kalau minta pertolongan dari Tuhan, pencipta langit dan bumi? Satu-satunya penolong kami sekarang adalah Tuhan. Saya yakin pertolongan Tuhan dengan beraneka cara.” Ibu Aciang menuturkan kisah hidupnya kepada penulis. 

Ibu Aciang adalah seorang katekumen. Ia berdomisili di Jalan Koba Pangkalpinang. Suami tercinta meninggal 3 bulan yang lalu karena sakit kanker usus. Menjelang ajalnya dia dibaptis oleh Pastor Zakarias di rumahnya. Aciang mengikuti jejak sang suami. Sekarang dia menjalani masa katekumenat di kelompok St Lukas paroki St Yosef Pangkalpinang. Setiap sabtu malam ia hampir selalu merayakan Ekaristi di katedral St Yosef Pangkalpinang atau di kelompoknya. Dia rajin berdoa di gua Maria Yung Fo Jl Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147. 

 Sewaktu suami masih hidup keluarga ini sering pergi ke toa pe kong atau ke taipak. Menjelang ajal bapak Akong, hidupnya berubah. Penolong mereka satu-satunya adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Setiap kali badai menerpa hidupnya ia datang kepada Tuhan dalam perayaan Ekaristi atau berziarah ke gua maria Yung Fo. Dia mendapat kekuatan setiap mengikuti Ekaristi. Dia mendapat ketabahan ketika dia rajin berdoa rosario.  

“Saya yakin Bunda maria pasti menolong kita. Saya percaya Tuhan pasti tidak tidur untuk menjaga kita siang dan malam. Di gua ini (Gua Maria Yung Fo) saya mendapatkan kekuatan untuk bertahan hidup sendiri.”  

Kisah kasih Bunda Maria yang dialami oleh Aciang diceritakan olehnya di maria Yung Fo. Dia meyakini bahwa Bunda adalah penolong dan Tuhan selalu melindunginya setiap saat. Kesadaran tersebut membuat hatinya damai dan aman. Kedamaian dan kenyamanan atas kasih Bunda Maria dan Tuhan membuat dia bisa bertahan dalam kesendirian. Dia hidup sendiri, menjanda tetapi sekaligus dia selalu bersama dengan Bunda Maria dan Tuhan.  Pesan suami yang dicintainya sungguh mengubah pola hidupnya. Dia meniggalkan kebiasaan lama yakni meminta  bantuan jin melalui para taipak. Dia lebih memilih Kristus sebagai pegangan hidupnya. Andalan satu-satunya dalam hidup Aciang adalah Tuhan dan kasih Bunda Maria

 

Suster dan Pastor pun, Orang Samaria yang baik Hati

Pengantar

Allah menciptakan manusia, adan dan hawa segambar dengan Allah. Dia terlahir kudus dan tak berdosa. Karena ketidaktaatan adam dan hawa, mereka jatuh ke dalam dosa. Dari waktu ke waktu manusia cenderung menjauh dari Allah. Walaupun demikian Allah berinisiatif mendekati manusia agar manusia selamat. Dia yang adalah kudus menghendaki manusia untuk menjadi kudus seperti Dia seperti semula dia diciptakan oleh Allah. Bagaimanakah pemahaman manusia tentang kekudusan sangat berpengaruh dalam perjuangannya mengikuti kehendak Allah. Berikut ini penulis menyajikan pemahaman  umat tentang kekudusan dan usahanya kearah kekudusan. 

Sr. Maris Stella JMJ: Kekudusan itu Mawas Diri

Kekudusan itu usaha nyata kita untuk senantiasa bangkit tiap kali jatuh ke dalam dosa. kudus adalah berkat dari Allah sendiri yang diberikan kepada manusia sejak kita diciptakan oleh Allah. Tuhan sudah memberikan kekudusan kepada manusia sejak dari awal. Kekudusan tersebut seringkali tercemar karena dosa. Maka kita sebagai orang katolik senantiasa harus memurnikan diri melalui sakramen tobat.

Kita datang kepada Allah sumber dan awal kekudusan. Ketika kita datang untuk sakramen tobat di situlah kita mawas diri.  Dalam mawas diri kita bisa mengetahui kita kudus atau berdosa. Kitalah penentu posisi kita sekarang kudus atau tidak; orang lain tak bisa menentukan kita kudus atau berdosa.

Kalau orang lain sudah men-cap kita kudus atau berdosa, ia sudah menghakimi orang lain. Orang yang menghakimi adalah orang yang kurang menyadari keberadaanya sendiri, dirinya sendiri yang sedikit kesombongan. Kalau saya mulai berani menilai orang lain, saya terlebih dahulu akan berusaha mawas diri. Kalau sudah sampai ke tahap itu maka kita akan berfikir atau tidak berhak untuk menghakimi atau menilai orang lain kudus atau berdosa. Karena saya meyakini bahwa rahmat kekudusan diberikan oleh Tuhan kepada setiap orang.  

Masa pra paska adalah masa berahmat. Dimana kita ada kesempatan untuk memulihkan apa yang kurang. Ada kebiasaan yg tidak berkenan di mata teman sesama mulai dikikis pelan di masa pra paska. Saya, Maris Stella berusaha sedemikian rupa menyadari rahmat dari Tuhan kepada saya, maka saya berjuang memelihara kekudusan tersebut dalam perjalanan hidup.

Setiap waktu saya mencoba senantiasa menyadari bahwa saya sungguh dicintai oleh Tuhan. Dari hari ke hari saya berusaha untuk melakukan hal yang baik di mata Tuhan walau tiap saat saya jatuh gagal, setiap saat juga saya berusaha bangkit dan mulai lagi. Satu hal yang tidak pernah saya lalaikan setiap bulan yakni menerima sakramen tobat, kesempatan untuk mawas diri dan mohon ampun atas semua dosa-dosa. Saya menyadari bahwa tidak tidak ada satu pun yang sempurna di dunia ini maka setiap orang diberi kesempatan menjadi kudus.  

Sr Gregoriana AK: Mengerjakan yang Orang Lain Tak Mau Menyentuhnya

Orang bisa mengerjakan sesuatu yang orang lain tidak mau menyentuhnya, itulah kekudusan menurut Suster Gregoriana Sutami AK Sungailiat. Misalkan, orang pada umumnya enggan atau bahkan tidak mau membersihkan got (aliran air). Nah saya mau membersihkan hal yang orang lain hindari. Hal semacam itu ada di komunitas atau di lingkungan kita. Kita harus jeli mencari dan mengusahakan kekudusan. Biarpun saya sudah mengerjakan hal-hal yang bisa membawa kekudusan, tetapi saya tidak mau mengklam atau menghakimi orang lain itu kudus atau berdosa. Walaupun kadang orang lain bebas menilai orang lain berdasarkan sepintas yang dilihatnya seperti penampilan, cara bergaul, cara berdoa. Biarlah yang mengetahui pekerjaan kita adalah Tuhan. Biarkan juga Tuhan yang menilai kita kudus atau tidak.

Kalaulah ada penilian orang atas hidup kita kudus atau tidak, mungkin bisa dimengerti. Karena kedekatan kita dengan Tuhan akan memancar dalam tindakan. Disposisi hati akan tampak dalam tindakan. Yang penting dalam keseharian, khususnya masa pra paska saya berjuang membangun relasi dengan allah dalam doa dan tindakan serperti bersih-bersih kebun sambil doa. 

Ibu Sulis: Hati memilah – memilih yang kudus dan berdosa

Kekudusan dimengerti seperti kesucian. Untuk mengerti hal tersebut ibu sulis memberikan beberapa contoh. Ketika kita mau berdoa di luar gereja, si pendoa melihat dan menilai dengan hati tentang keadaan tempat tersebut. Kalau tempat tersebut dinilai belum kudus, maka di awal doa pendoa harus meminta kepada Tuhan untuk menguduskan tempat. Dengan begitu Tuhan akan menguduskan tempat, melayakkan orang untuk berdoa.

Contoh lagi, Kalau kita mau makan maka kita memohon agar Tuhan menguduskan makanan. Permohonan tersebut akan menjadikan santapan jasamaniah tersebut menjadi kudus.  Hati manusia mampu menilai tempat kudus atau tidak, makanan ini bersih atau tidak, orang itu suci atau tidak. Hati memilah dan memilih yang kudus dan yang kudis dengan bantuan roh kudus. Perlu ketajaman hati dan kedewasaan iman dalam memilah dan memilih yang kudus dan yang berdosa.

Yang sering terjadi dalam penilian atas kesucian dan keberdosaan sering bertitik tolak dari perbuatan yang dilihatnya; peniliaan tidak menukik sampai bagian dalam, hanya bagian luar. Kalau pijakan peniliaan kesucian dan kekudusan hanya berdasarkan kulit luarnya, maka orang bisa keliru menilai. Orang bisa berpura-pura baik, suci dan kudus dengan memegang rosario, dengan memakai salib besar, tetapi itu tidak identik dengan hati suci.  Orang mengalami kesulitan untuk mencapai kedewasaan iman, mencapai kekudusan. Orang sering jatuh pada hal-hal lahiriah dalam memahami kehendak Allah dan melihat kenyataan hidup. Maka dari itu diperlukan latihan terus menerus untuk menjadi kudus dengan bantuan roh kudus.

Selama masa pra paska saya, selaku coordinator dua karismatik sungailiat, ibu rumah tangga, dan guru bahasa inggris mencoba melatih berpuasa mengekang emosi negatif seperti marah atau kecenderungan jahat kita. Puasa jenis ini lebih sulit daripada puasa tidak makan daging.   

Sugianto: Tidak Ada Manusia Kudus

Wakil Koordinator karismatik St Petrus Lubuk Baja Batam mendefinisikan kekudusan sebagai Allah sendiri. Kekudusan adalah Allah. Allah adalah Kudus. Yang kudus dan yang suci hanya milik Allah.

Manusia mencoba berjuang sejauh ini tetapi manusia belum mampu menjadi kudus seperti Allah. Itu disebabkan oleh karena dalam kehidupan di dunia manusia masih mengalami banyak godaan. Godaan itu datang dari Iblis. Di dunia banyak iblis yang menggoda manusia. Godaan-godaan itu tak mampu untuk diatasi oleh manusia. Manusia banyak jatuh ke dalam dosa karena kalah dengan godaan-godaan dunia.

Jadi walau itu pastor, ulama, pemuka agama manapun selagi masih hidup di dunia, ia belum sempurna. Manusia tidak ada yang suci.  Walaupun demikian manusia harus berjuang untuk mengarah kepada kekudusan karena Allah adalah kudus dan menghendaki kita kudus. Untuk mencapai kearah itu saya mencoba berpuasa di rabu dan jumaat.

Saya , selaku wakil karismatik katolik St Petrus Lubuk Baja Batam, pengusaha, dan bapak rumah tangga mencoba mengusahakan berdoa, bersekutu, berkumpul dengan teman seiman untuk saling menguatkan membaca kitab suci, mendengarkan kesaksian orang beriman. Perjuangan mengusahakan kekudusan tidak hanya terbatas di masa pra paska, tetapi berjuang sepanjang kehidupan.  

Meri: Kekudusan Itu Hak Orang Kudus

Kekudusan tidak sama dengan kesucian. Suci adalah kata dasar kesucian, sedangkan kudus adalah kata dasar kudus. Pengertian kesucian adalah keadaan ketika kita tidak berdosa di hadapan Allah. Kudus adalah hanya milik orang-orang kudus saja. Sumber kekudusan dan kesucian adalah Allah. Allah yang menjadi titik tolak kekudusan.

Penilian kudus atau berdosa dari orang lain dikarenakan dia hanya melihat atau menilai dari sudut pandang atau ukuran duniawi kita saja, bukan dari Allah. Untuk mencapai kekudusan di masa pra paska dia mencoba pantang berbicara banyak terutama tentang kejelekan orang lain. Paham kekudusan yang lebih menekankan kepada kehidupan nyata kita di dunia sehingga gampang dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Akong: Semua Orang Merasa Tahu Tindakan Benar atau Salah, sehingga …

Kekudusan dimengerti sama dengan kesucian. Kata dasar kekudusan kudus yang berarti suci. Allah adalah sumber kekudusan. Allah mengutus Roh Kudus untuk hadir dan tinggal di dalam hati semua umatnya. Tuhan menjadi sumber kekudusan, Tuhan juga menjadi tolak ukur kekudusan.

Perintah Tuhan ada di dalam Kitab suci.  Jikalau kita dapat melaksanakan semua perintah-Nya maka bolehlah kita menyebut diri kudus. Tetapi pada masa sekarang ini sudah sulit sekali untuk mengatakan dan mencari orang kudus atau suci. Penentu kudus atau berdosa adalah Allah.  

Di dalam kenyataan hidup sering dijumpai sikap mpenghakiman atas orang lain sehingga ada dikotomi ada orang kudus dan orang berdosa. Banyak orang merasa mengetahui dan mengerti tentang tindakan yang baik dan benar serta yang sesuai dengan perintah-Nya. Padahal untuk kita sendiri sulit  untuk melaksanakan supaya dapat menjadi orang kudus.

Jadi karena kita tahu mana benar dan salah, maka apabila ada orang yang bertindak salah, kita langsung menvonis orang tersebut berdosa tanpa mempelajari situasi yang terjadi pada orang tersebut. Dalam pengalaman hidup, ada egois dalam diri kita muncul. Artinya kita selalu membela diri dan menganggap diri sendiri benar dan orang lain salah. Sehingga sangat mudah kita menvonis orang berdosa.  Vonis berdosa atas orang lain berakar pada egoisme. Ego diri muncul sehingga ada unsur pembenaran diri sendiri sehingga menganggap diri suci. Padahal untuk menjadi suci sulit sekali dan butuh iman dan pengorbanan luar biasa seperti yang dilakukan oleh orang-orang kudus yang tertulis dalam alkitab. Oleh karena itu kita harus berjuang setiap waktu untuk mencapai kearah itu.

Di masa pra paskah menjadi moment penting untuk melatih diri. Usaha yang dilakukan Akong, koordinator karismatik katolik St Yosef Pangkalpinang adalah melatih tidak menghakimi orang lain sehingga dengan niat tersebut dapat menahan diri untuk tidak menghakimi orang lain. 

Priyo: Belum Tentu Orang yang Memegang Rosario sudah Kudus

Kekudusan adalah keadaan hidup seseorang yang sepenuhnya dikuasai kehendak Ilahi, menurut mas Priyo, legioner dari Pangkalpinang. Orang yang kudus itu sadar bahwa ia adalah manusia lemah dan berdosa dan mengakui kelemahan, ketidak berdayaan dan kedosaanya.

Kekudusan berarti hidup sepenuhnya dalam terang ilahi hidup bagi tuhan dan sesama. Ia tidak menyimpan di dalam hatinya kepentingan diri. Ia mati bagi dirinya sendiri dan ia hidup untuk mencintai allah dan sesama.  

Menurut mas priyo yang sehari-harinya mengajar bahasa Inggris di SMK Tunas Karya, sumber kekudusan adalah Allah sendiri yang telah memberikan teladan sempurna dalam kitab suci lewat pengajaran Yesus, karya dan kehidupan-Nya.

Juga menurutnya ekaristi adalah sumber kekudusan karena dalam kurban ekaristi itu Yesus mengurbankan diri-Nya dan memberikan diri-Nya seutuhnya untuk menjadi santapan bagi jiwa-jiwa. Dengan menyambut komuni secara layak dan pantas hidup kita dikuduskan oleh Yesus karena ia sungguh-sungguh tinggal di dalam hati kita dan menjadi satu dengan kita. 

Tolok ukur kekudusan tidak diukur, dilihat dari penampilan lahiriah seseorang. Belum tentu orang yang setiap hari pergi ke gereja mengenakan pakaian jubah, memakai kalung salib, rosario, aktif ikut kegiatan liturgy, aneka kegiatan keagamaan sudah mencapai kekudusan. Kekudusan adalah masalah hati. Hanya Tuhan yang bisa melihat hati kita.

Tolok ukur kekudusan seseorang bisa dilihat dari perbuatan, sikapnya apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip injil, cinta kasih, ketaatan, kerendahan hati, kebijaksanaan, pengharapan, iman dan kejujuran? Tidak ada yang berhak menentukan kudus tidaknya seseorang kecuali pihak gereja yang secara hati-hati dan bijaksana setelah melalui penyelidikan yang lama memberikan gelar kudus bagi orang tertentu yang telah meninggal dunia dan telah terbukti kesuciannya semasa ia hidup. 

Kebiasaan menghakimi orang lain dapat berupa membicarakan keburukan orang lain, menfitnah, dan menganggap orang lain lebih rendah.. Mudahnya kita menyebut orang lain berdosa karena kita melihat apa yang ia perbuat tidak sesuai dengan ajaran kitab suci atau tidak sesuai dengan patokan-patokan yang kita buat.  

Orang kadang menganggap diri suci, barangkali karena ia merasa sudah mempraktekkan semua laku kesalehan semaksimal mungkin. Sehingga ia berfikir dirinya sudah mencapai kesucian. Namun ini adalah bentuk kesombongan meninggikan diri.

Mas priyo sebagai seorang legioner dan guru bahasa Inggris di pangkalpinang mau melatih diri untuk mengurangi kebiasaan menghakimi di masa pra paska ini. Ia mencoba untuk memandang orang lain lebih pada sisi baiknya. Sebelum kita mau menghakimi orang lain hendaknya kita ingat bahwa aku pun tidak lebih baik daripada orang lain, jadi karena kita sadar bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain maka tidak sepantasnya kita menghakimi sebab penghakiman yang adil hanyalah milik Allah.  

Penutup

Pemahaman umat beriman di keuskupan pangkalpinang tentang kekudusan bervariasi. Berdasarkan pengertian tentang kekudusan mereka berjuang untuk mencapai kekudusan seperti Bapa yang adalah kudus. Manusia rindu untuk  kembali menjadi kudus seperti awal adam dan hawa diciptakan. Walaupun masih ada saja godaan merasa diri suci atau menghakimi orang lain berdosa. Di masa pra paska, masa agung mereka melatih diri untuk mengendalikan kecenderungan tidak teratur, yang bersifat emosi dan spiritual. Semoga dengan bantuan Roh Kudus kita semakin kudus. (Titus Budiyanto, Wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang,  5 April 2007)   

Pelangi Para Buruh Pabrik di Muka Kuning

 Pengantar

Sepulang dari pertemuan para imam BASEPTA di stasi St Michael Tanjung Batu paroki St Yusuf Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau saya sempat observasi di beberapa tempat di Muka Kuning Batam. Beberapa karyawan memberikan kesaksian hidupnya . Mari kita simak kesaksian hidup mereka sebagai buruh pabrik dan umat Katolik di Muka Kuning. Semua data dan identitas ada pada penulis (tidak semua identitas pemberi kesaksian dicantumkan di sini sesuai permintaan mereka).  

Menyimak Kesaksian Hidup Para Buruh Pabrik

“Saya nyampai ke Batam 15 Juli 1999 dengan modal ijasah STM jurusan listrik instalasi. Saya nekat datang ke Batam untuk mencari kehidupan yang lebih baik /layak dibanding saya harus bekerja  di daerah asal Yogyakarta. Di sana saya pulang – pergi bekerja harus naik – turun gunung.  5 Agustus 1999 saya diterima di perusahaan Electronik PT Sincom Panasonic sebagai operator mesin auto insert. Setiap hari saya bekerja berdiri dari jam 7.00 wib – 19.00 wib.  Jangankan untuk kegiatan menggereja seperti mudika, datang ke gereja untuk misa sudah merupakan anugerah. 6 bulan kemudian saya berpindah perusahaan yang bergerak di bidang IC. Saya bekerja dari jam 80.00 wib – 17.00 wib di bagian maintenance. Perpindahan kerja ini membawa perubahan dalam hidup. Saya bisa terlibat di mudika Aloysius  Gonzaga.”

Paijo (nama samaran) melukiskan pengalamannya secara tertulis kepada penulis. Menurutnya kampung halamannya tidak menjanjikan masa depan cerah bagi dirinya. Batam menjadi surga bagi para pemimpi. Dia berfikir bahwa di tempat lain dirinya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, masa depan yang cerah. Itulah visi Paijo. Visi tersebut seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami di Batam. Di Batam dirinya seperti mesin yang bekerja 10-12 jam sehari dengan gaji yang cukup untuk makan dirinya sendiri. Di tengah perjuangannya meraih mimpinya, ia masih menyempatkan diri terlibat aktif kegiatan meggereja Mudika St Aloysius Gonzaga paroki Lubuk Baja Batam.   Latarbelakang alam Paijo berdomisili dipandangnya sebagai hambatan, bukan tantangan dalam hidupnya, maka ia meninggalkan kampung halamannya.

Yang melatari Dewantara (bukan nama sebenarnya) merantau ke Batam adalah Iseng. Berikut ini kesaksian Dewantara secara tertulis.  “Saya sakit hati dengan bapak kandung. Di rumah saya tidak betah hidup bersama dengannya. Saya tidak menemukan kenyamanan di dalam rumah. Situasi tak enak semacam itu mendorong saya meninggalkan kampung halaman untuk berjuang di Batam 1994. Saat saya pergi ke Batam, saya bermimpi bisa hidup lebih baik daripada hidup di rumah bersama dengan orang tua. Kenyataan di lapangan pertama-tama hampir membuatku menangis. Betapa tidak? Saya ditempatkan di Dormitori yang berisi 15 orang. 1 ruangan berisi 15 orang seperti 1 kamar besar untuk 15 orang! Biarpun sekamar 15 orang tetapi belum tentu kawan kita peduli dengan kita pada saat sakit. Situasi semacam ini menggembleng saya untuk lebih mandiri, dewasa (tidak emosi, tidak ngambek).” 

Ketidaknyamanan situasi keluarga, relasi retak anak dengan orang tua memicu dirinya keluar dari kungkungan yang membelenggunya setiap hari. Dia berifikir bahwa hidup terpisah dengan orang tua, tidak serumah dengan ayah kandungnnya akan menghantarnya pada kehidupan yang lebih baik. Kerinduan semcam itu sama dengan kerinduan karyawan di atas. Satu sisi situasi nyata hidup di Dormitori ternyata tidak lebih baik daripada situasi rumahnya: rekan-rekan sekamar ada yang tidak peduli dengan dirinya saat sakit.   Di dormitory seakan tidak ada ruang privatisasi kamar pribadi. Sisi lain situasi semacam itu memaksanya untuk bisa hidup mandiri dan bisa berkontak dengan suku lain.  

Dua kesaksian mendahului muncul dari kesadaran dan niat dari dalam buruh itu sendiri, sedangkan kesaksian Lusia di bawah ini berawal dari iseng. Batam, oh tidak pernah kumemimpikan bahkan memikirkannya. Ajakan teman dan sekedar iseng aku mendaftar bekerja. Lamaran iseng ini ternyata ditanggapi serius. Aku diterima di suatu perusahaan dengan masa kontrak 2 tahun. Aku nekat pergi ke Batam dan berharap bisa hidup lebih baik.  

Mimpi indahku tersebut direbut sang waktu. Sepulang dari pertemuan mudika Aloysius Gonzaga Muka Kuning kakiku patah tertabrak motor. “Tuhan mengapa Kau memberikan cobaan berat ini? Dimana Sayang-Mu? Aku telah memberikan hati dan pelayanan bagi-Mu, tetapi mengapa Kau buat aku seperti ini?”  

Hampir aku bunuh diri karena putus asa dengan keadaanku. Pemberontakanku kepada Tuhan semakin membuat hidupku terpuruk. Kemarahan kepada Tuhan tidak membawa perubahan. Aku mencoba merubah sikap pasrah – terserah kepada Tuhan.

Di tengah kegelisahanku kucoba membaca kitab suci. Hatiku bangkit dari mati setelah sabda Tuhan berbicara padaku ,”Kutahu Tuhan pasti Buka Jalan.”   Setelah melalui pengobatan tradisional selama 3 bulan aku mulai bisa berjalan, walau sampai sekarang kondisiku tidak sesempurna seperti semula. Sekarang rasa sakit itu sering datang. Kalau rasa sakit itu datang, aku terdiam dan bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Tuhan?”

Gejolak hati seperti itu kuredam dengan melihat orang cacat di sekitarku. Mereka lebih menderita daripada aku. Inilah yang masih membuatku semangat.  Saya yakin ,” Rencana Tuhan WHO KNOWS?  Saya meyakini segala musibah yang terjadi pastilah Tuhan memberikan yang terbaik bagi kita. “Maafkan aku Tuhan bila sempat nggak percaya dan marah pada-Mu.”

(Lusia, Batam, 27 Februari 2006) Awalnya Lusi diajak teman-teman. Selanjutnya ajakan itu memancing hati untuk iseng-iseng. Ketika melayangkan lamaran ke perusahaan ia hanya iseng-iseng.  Yang semula iseng ini ditanggapi oleh pihak perusahaan sebagai sesuatu yang serius: pihak perusahaan menerimanya sebagai pegawai kontrak. Reaksi serius ini ditanggapi olehnya sebagai sesuatu yang serius. Siapa tahu ini menghantar ke kehidupan yang lebih baik? Kerinduan semacam itu sempat pupus ketika kakinya patah tertabrak motor. Justru di tanah rantau dirinya menjadi cacat.

Tubuhnya tidak lebih baik dari sebelumnya. Pengalaman pahit tersebut menghantarnya pada kedekatannya dengan Allah. Ujarnya ketika diwawancarai oleh penulis,”Mungkin ini bagian dari rencana Allah. Allah tetap baik bagiku dan bagi semua orang.” 

 Refleksi Atas Kenyataan Hidup Para Buruh

Kesaksian hidup para buruh di atas menjadi pijakan kita untuk bercermin tentang selembar kehidupan nyata sosial. Dalam kehidupan sosial para buruh di lapangan kadang kita bisa menjumpai ketidakadilan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. “Kemiringan” seperti itu seringkali tidak disadari oleh para buruh. Kejadian semacam itu dianggap lumrah dan biasa terjadi.

Kejadian di atas mengingatkan kita akan gagasan Paus Johanes Paulus II,” berbagai problem yang muncul dewasa ini (menyangkut berbagai bentuk ketidakadilan, pelecehan dan diinjak­-injaknya hak azasi manusia) terkait erat dengan cara orang memandang manusia, masyarakat dan dunianya. Selain itu, namun lebih mendasar, karena banyak orang salah mengerti tentang kebebasan individu; seo!ah-olah seseorang hanya menjadi bebas bila menolak setiap norma obyektif, tanggungjawab, atau juga menolak untuk mengendalikan nafsu-nafsu liarnya. 

William Chang dalam buku The Dignity of Human Person in Pancasila and The Church Social Doctrin: an Ethical Comparative Study mengemukakan, bahwa Paus menekankan arti kebebasan lebih sebagai “menjadi bebas untuk” daripada “menjadi bebas dari.’ Manusia harus menggunakan kebebasannya untuk menyetujui dan memilih apa yang benar dan baik, serta untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan kebenaran yang seharusnya, yang berkaitan dengan kodrat dan keutamaan manusia sebagai Citra Allah.

Setiap manusia adalah bebas tetapi tidak dalam arti tidak terikat. Aktualisasi kebebasan individu dalam hidup bersama harus mempertimbangkan dan tetap menghormati kemerdekaan individu lain. Kebebasan individu mempunyai arti radikal dalam dimensi sosialnya, karena manusia adalah makhluk sosial.  Para buruh adalah Citra Allah. Mereka bebas untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka bebas untuk meninggalkan kampung halamannya. Mereka bebas untuk meninggalkan orang tuanya. Keputusan untuk apa dan kemana ada di tangan mereka sendiri.

Setelah mereka bergelut dengan pilihannya, tidak jarang jerat-jerat penguasa atau aturan-aturan perusahaan kadang membuat “nafas mereka sesak”.  Seakan mereka bebas tetapi mereka serentak “sesak nafas”.  Kekuranglegaan bernafas di alam bebas ini kadang dianggap lumrah atau tidak disadari sama sekali oleh kebanyakan orang, khususnya para buruh sendiri. Mereka miskin tetapi mereka merasa tidak miskin. Mereka kadang diperlakukan tidak adil, tetapi mereka merasa itulah keadilan. Mengapa?  

Para Borjuis / pemilik modal atau negara si pembuat undang-undang ketenagakerjaan terkadang mensituasikan para buruh untuk mengabaikan kodratnya sebagai Citra Allah dalam pengaktualisasian dirinya? Atau para buruh sudah terkontaminasi dengan paham totalitarisme? Totalitarisme adalah suatu aliran pemikiran yang berakar pada sikap penolakan terhadap keluhuran martabat pribadi manusia sebagai Citra Allah; yang kemudian melahirkan sikap menolak kebenaran obyektif, yang adalah norma bagi setiap manusia untuk mewujudkan jati dirinya dan yang menjamin hubungan harmonis antar manusia, demi terwujudnya kebebasan otentik manusia (bdk. Veritatis Splendor art. 99).  

“Jari kelingking saya terpotong mesin ketika saya mengoperasikan mesin. Pihak perusahaan hanya membeayai sebagian beaya pengobatan. Ini sudah nasib sial saya. Ini salah saya, bukan salah pemilik modal.” Kecelakaan yang dialami oleh buruh Saudara Suryo ini bisa kita jumpai di tempat kerja kita. Sikapnya pun juga sering kita dengar. Mereka disituasikan bahwa kecelakaan pada saat kerja adalah salah pekerja. Atau itu dianggapnya nasib sial, yang mau tak mau harus ditanggung oleh orang bersangkutan? Bagaimanakah kalau kepalanya yang terpenggal? Bagaimanakah kalau terjatuh pada saat kerja kemudian mati? Apakah itu juga nasib sial dan pasti salah para buruh dan pihak pemilik modal cuci tangan? Itukan sudah diatur oleh undang-undang atau aturan perusahaan?  

Kita mencermati hal lain pengalaman hidup para buruh. “Di muka kuning kontrak kerja saya adalah 2 tahun. Setiap hari saya bekerja dari jam 08.00 wib s/d 20.00 wib. Uang yang saya terima adalah Rp.800.000/sebulan. Beaya makan kadang-kadang Rp. 300.000/bulan. Beaya kost Rp. 300.000/bulan. Beaya transpotasi Rp. 300.000/perbulan. Gaji itu tidak cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Beaya hidup baru akan cukup kalau lembur setiap hari.”

Sistem seperti ini sudah dibuat oleh pemilik modal. Apakah aturan semacam itu dengan gaji sebesar itu adalah layak untuk hidup sebagai manusia yang adalah citra Allah bagi para buruh hidup di Muka Kuning Batam?  Mungkin jawabannya bervariasi di kalangan para buruh. Ada yang menjawab ya. Ada juga yang berani menjawab tidak cukup. Jawaban para buruh atas gaji tersebut ya lumrah. Dalam perbincangan penulis dengan 8 orang buruh di muka kuning tertangggal 26 Februari 2006 jawaban mereka senada.

“Kami harus pandai mengatur diri mengelola keuangan.”  Saya berfikir dari kerangka saya sebagai seorang imam, bagaimana mungkin gaji seperti itu mereka bisa membangun rumah tangga? Bagaimana mungkin gaji segitu mereka bisa hidup layak: tempat tinggal nyaman, makan bergizi, sandang yang cukup? Bagaimana mungkin gaji sebesar  itu mereka bisa terjamin kesehatannya?  Pemilik modal/para borjuis, pencipta undang-undangan ketenagakerjaan, dan para buruh harusnya melandasi setiap tindakannya dalam memperlakukan para buruh pada martabat pribadi manusia.

Martabat pribadi manusia adalah kekayaan atau nilai dan eksistensi manusia yang konkrit dan fundamental dalam diri setiap orang, yang terikat erat dengan Allah sebagai Pencipta dan dalam inter – relasi terhadap pribadi-pribadi yang lain. Keoriginalan martabat ini terwujud dalam eksistensi masing-masing pribadi, sebagai yang dicipta seturut citra Allah. Martabat pribadi merupakan rahmat yang sangat berharga dan mulia, yang dimiliki oleh manusia sejak dalam kandungan ibu. Nilai suatu martabat manusia bersifat absolut; yang dalam praktiknya mempunyai “preferential orientation” bagi mereka yang martabatnya “telah dirusak”.  

Paus Paulus VI menegaskan bahwa hidup manusia adalah sesuatu yang suci, yang harus dihormati oleh siapapun. Hidup manusia mencerminkan citra Allah yang hidup. Martabat setiap manusia adalah dasar essensial dan tatanan sosial dan hidup bersama. Kesadaran semacam itu bagus kalau menjadi dasar perjuangan para buruh atau siapapun yang menginginkan dirinya – hidupnya bisa lebih baik dari sebelumnya.

Akan menjadi indah kalau gagasan Paus Paulus VI menjadi landasan para borjuis/pemilik modal dan pemerintah sang pembuat undang-undang ketenagakerjaan dalam mengatur para buruh. Semoga Citra Allah para buruh tidak terkontaminasi dengan situasi yang membelit hidup. (Wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147, jam 03.03 wib, 8 Maret 2006) 

Mengabdi Dua Tuan

Wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147 

Uang lagi lagi uang. Konon uang bisa bikin mabuk kepayang. Konon kabarnya uang bisa bikin lupa daratan. Konon kabarnya uang bisa bikin pusing kepala. Konon kabarnya uang bisa bikin keranjingan. Konon kabarnya uang bisa bikin orang gila. Konon kabarnya uang bisa bikin orang tak kenal belas kasih. Konon kabarnya uang bisa bikin linglung orang. Uang lagi tagi uang.

Jumaat, pukul 16.00 wjb 22 September 2001 saya duduk di depan rumah bersama dengan empat mudika dan seorang ibu. Saya menemui mereka untuk berbincang-bincang. Di tengah perbincangan kami, seorang bertanva kepada saya,”Apakah kau belum menikah?”  Mendengar pertanyaan tersebut hati saya geli. Maunya ketawa ngakak.  Bagaimana saya tidak ketawak? Perasaan geli itu kutahan.

Orang mudah tersinggung di tahun 2001.  Saya tidak mengecewakan sang ibu saya balik bertanya,”Apakah anak ibu bersedia menjadi pasangan hidup saya? Atau ada tawaran jodoh menarik?”

Jawabnya,”lha anak jaman sekarang tidak mau dijodohkan aleh orang tua. Mereka maunya memilih sendiri pasangannya. Jadi kau mencari pasangan sendiri yang serasi..” 

Ada beberapa calon bisa menikah dan bisa menjadi pastor. Dengan demikian sang pastor bisa menikmati sorga dunia dan surga sejati. Dengan demikian sangat mungkin kita bisa bersatu lagi dengan pengikut Kristen – Luther, Calvin, dan lain-lain. Tetapi gereja katolik tidak memperbolehkan pastor kawin. Diakon pun juga tidak kawin. Mereka tidak menikah demi kerajaan Allah.

Wah keren, demi kerajaan Allah! Adalah sangat masuk akal gereja mempertahankan tradisi. Kalau pastor mempunyai istri dan anak, maka sangat mungkin pastor lebih mengutamakan anak dan istri saya. Saya pasti berjuang mencari uang demi anak dan istri dan bukan berjuang demi umat. Perhatian pertama adalah keluarga dan yang kedua barulah umat.

Dalam perjuangan hidup mencari uang tentu dan so pasti kita bersaing dengan anak-anak dunia yang seringkali licik, tak jujur dan tak berperikemanusiaan. Tidak jarang di masyarakat kita temui anak-anak dunia yang berebutan kursi – kedudukan – yang ujung-ujungnya juga mencari uang. Dalam perebutan kursi – kedudukan – orang tidak segan-segan mengorbankan orang lain. Kita bisa melihat bahwa orang lemah seringkali menjadi tumbal ambisi para penguasa yang berebutan kursi empuk. Atau mungkin ambisi-ambisi kita juga sangat mungkin tidak jauh seperti sang penguasa yang kita tuding? 

Amos mengeritik secara tajam orang-orang yang menghisap sesamanya yang miskin, lemah. “Dengarlah hai, kamu yang menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang sengsara negeri ini … dan kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu …

“Tuhan telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: Bahwasannya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!” 

Uang lagi lagi uang. Uang panas bikin kita tak mampu berkenan di hadapan Allah. Saya sungguh sangat paham sekali sifat wanita yang sakit ini.”Wanita sangat tidak suka dimadu oleh kekasihnya.” Habisan kalau dimadu itu nggak enak. Nggak enaknya perhatian kekasih kita terbagi. Cinta kekasih kita terbagi. Nafkah kita terbagi. Semuanya terbagi menjadi dua. Padahal wanita itu maunya diterima, diperhatikan, dicintai disentuhnya. Jadi tak mungkin cinta sejati kita terbagi menjadi dua. Allah itu tuan kita. Sang tuan, kekasih kita. Kekasih kita itulah yang kita sembah.

Demikian juga Allah kekasih kita juga tidak mau dimadu oleh kita. Allah menuntut kita untuk mencintai-Nya secara total agar perhatian kita hanya melulu tertuju kepada Allah. “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena bila demikian ia akan membenci yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.” Nah kalau kita mampu mencintai Allah maka kita juga harus mampu mencintai sesama kita. Sebagai perwujudan cinta kita kepada sesama kita, kita harus meluangkan waktu untuk mendoakan sesama – negara kita, para pemimpin negara, dan lain-lain kita dan dengan hati yang jujur kita tidak seenaknya menginjak-injak sesama kita. 

Saya tidak yakin manusia yang tidak mengenal belas kasih kepada sesama bisa mencintai Allah. Saya tidak yakin manusia yang tergila-gila oleh harta kekayaan yang tidak halal, doanya mampu menembus hati Allah. Saya tidak yakin orang-orang yang sering mengorbankan sesamanya mampu berhubungan intim dengan Allah.

Uang lagi lagi uang. Semoga kita mampu menjadikan harta (uang), kedudukan menjadi sarana untuk pelayanan dan kemuliaan Allah?

 

Menunggang Ombak

 

Wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 54 A Pangkalpinang 33147

 

Pengantar

Saya bertugas menjadi staf redaksi Tabloit Berkat, tabloit milik keuskupan Pangkalpinang sejak 2004. Tugas sehari-hari adalah membantu mengelola Tabloit Berkat. Pada jam kerja setiap hari berada di kantor. Di luar jam kerja banyak orang meminta tolong untuk aneka keperluan seperti mencari sumber mata air, mengecek kesehatan, menengok orang sakit di rumah sakit atau di rumah umat, membantu melayani ekaristi ketika pastor paroki di wilayah Bangka Belitung  meminta bantuan, dan lain-lain.  Pastor Calvin, pasto koasi Ujung Beting meminta bantuan kepada saya untuk mencarikan sumber mata air di stasi-sati. Hampir setiap stasi berada di tempat terpisah berjauhan satu sama lain di pulau-pulau di wilayah kepuluan Lingga. Berikut ini cerita pengalaman penulis selama melanglang buana di kepuluan Lingga.  

Pulau Tanjung Pinang – Pulau Pancur

Saya berangkat bersama pastor Marcel Gabriel, pastor Yance dan Piter Padiservus dan Bapak Agung dari pelantar II Tanjung Pinang. Rombongan naik kapal Ferry KM Indo Arena 88 pukul 10.45 wib menuju ke pulau Pancur kepulauan Lingga 23 Mei 2005.  Pastor Calvin menyambut kehadiran kami pukul 15.25 wib.

 Kami meninjau tanah dan rumah sederhana milik gereja di Pancur 100 meter dari tempat kami makan. Rumah tersebut terbuat dari papan kayu dan digunakan oleh bapak Petrus untuk mengajar bahasa Inggris siswa-siswi SD dan SLTP. Kondisi ruang belajar terdapat 10 bangku dan 10 meja kecil. Di sinilah Mgr Hilarius mempunyai mimpi mendirikan pelayanan kesehatan Baktiwara untuk orang-orang miskin, mendirikan sekolah, asrama, gereja bahkan pastoran.  

Kami meninggalkan pulau Pancur pukul 16.45 wib dengan pompong. Perjalanan ditempuh selama 1jam 45 menit. Pukul 18.00 wib seluruh umat menyambut kehadiran kami. Kehadiran imam bagi penghuni pulau diibaratkan pembesar.  Orang sederhana melihat di balik penampilan. Penampilan yang terlihat memanglah manusia biasa. Di balik yang terlihat ada pembawa berkat bagi umat berkat tahbisan imam. Sosok manusia biasa tetapi dia menghadirkan Uskup.   Umat sederhana pun mempercayai juga bahwa imam pun bisa membantu mencarikan dan mengusahakan air bersih untuk mereka.

Renungan pastor Calvin menginspirasikan pencarian sumber mata air bersama umat pukul 09.00 wib tertanggal 24 Mei 2005. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah menjadi pelayan sekalian orang. Barangsiapa mengandalkan kekuatan Allah, maka ia akan mengalami keselamatan” (Markus 9:30-37).  

Air sering dilambangkan dengan kehidupan. Allah pun dalam Yohanes 6 melambangkan diri-Nya dengan Air Hidup. Manusia tidak bisa hidup tanpa air. Manusia tidak bisa hidup tanpa Allah. Hidup manusia  adalah anugerah Allah. Adalah keharusan bagi orang beriman bahwa dalam hidup harus mengandalkan Allah.  Karena Air adalah sumber kehidupan, maka dalam pencarian sumber mata air saya meminta kepada Allah , pencipta bumi dan segala seisinya. Ranting, pendulum, besi dan alat lain hanya sebuah alat. Yang utama dalam pencarian sumber mata air adalah komunikasi kita dengan Allah.

 Komunikasi dengan Allah menghantar saya memasuki keheningan – ketenangan lahir dan batin. Ketenangan lahir – batin merupakan kunci utama menangkap gelombang listrik yang dipancarkan oleh gerak sumber mata air bawah tanah.

 Meninggalkan Pulau Ujung Beting Menuju ke Pulau Pancur

Pukul 06.45 wib pompong kami meluncur meninggalkan pulau Ujung Beting menuju ke Pulau Pancur di bawah gerimis hujan. Air dari langit memberi kehidupan kepada semua maklhuk hidup, yang baik maupun yang jahat. Dingin pagi dan gerimis membuat kami tidak banyak berbincang di sepanjang perjalanan. Kesunyian lautan dengan di pemandangan gunung Daek bercabang tiga memukau hati kami.  

Pemikiran pastor Marcel Gabriel, bekerja di Komisi Bidang Pendidikan  keuskupan Pangkalpinang menjadi buah pemikiranku. “Setiap manusia mempunyai tujuan. Apa tujuan kalian datang ke pulau Ujung Beting? Apa harapan, cita-cita, impian dalam benak anda ketika anda meninggalkan kampung halaman anda? Apakah setelah sekian lama anda berada di tempat ini tujuan anda sudah tercapai? Bagaimanakah anda mencapai tujuan tersebut?”  

Semua manusia harus mempunyai tujuan. Tujuan tersebut harus diperjuangkan. Dalam perjalanan waktu kita harus berani mengevaluasi perjalanan hidup kita. Sudahkah langkah hidupku menuju ke arah yang jelas atau justru keluar dari relnya? Apakah tujuanku datang ke pulau Ujung Beting? Betulkah ada kerinduan menolong mencarikan sumber mata air atau mau refresing?  

Sementara kami asyik merenung (asyik bergulat dengan diri sendiri) dalam keheningan lautan luas, rantai mesin pompong kami putus. Beberapa menit kami terkatung-katung di laut. Situasi seperti ini mendebarkan bagiku karena aku tidak bisa berenang. Dalam ketakutan saya menengadah ke langit dan berdoa. ”Beginikah upah menolong orang?”  

Sembilan menit setelah saya berdoa dan terkatung-katung di atas sampan, ada kapal nelayan melewati kami. Kami berteriak minta tolong kepadanya. Segera nelayan tersebut datang menolong kami. Padahal nelayan tersebut tidak mengenal kami. Padahal sukunya berbeda dengan kami. Padahal agamanya pun berbeda dengan kami.

Dia mau menolong kami tanpa melihat perbedaan yang ada di antara kami. Yang dilihatnya adalah manusia yang membutuhkan pertolongan dan dia bisa menolong.  Dia menarik pompong kami dengan pompong miliknya. Perjalanannya menjadi lebih lambat dari biasanya, tetapi dia tetap bersukacita. Dia sungguh bijaksana. Bisakah kita yang berpendidikan dan berdomisili di kota mempunyai sikap bijak seperti itu?

Bisakah kita menolong orang tanpa pamrih? Bisakah kita menolong orang karena dia memang membutuhkan pertolongan? Bisakah kita menolong bukan didasarrkan atas suka dan tidak suka, tetapi digerakkan oleh prinsip moral – spiritual? 

Pulau Pancur Melaju ke Pulau Air Batu

Setelah kami kenyang menyantap 1 nasi, 1 gelas kopi, kami berpindah ke speed boat. Kami berangkat dari Pulau Pancur pukul 09.00 menuju ke pulau Air Batu di kepulauan Lingga.

Di tengah gelombang dan laju spead, saya sangat khawatir sekali dengan harta benda dan nyawa. “Bagaimanakah kalau HP 6630, Jam tangan, Digital baru, uang 2 juta, beberapa surat penting terkena air? Pastilah rusak.”  

Status imam sudah melekat. Kelekatan duniawi dan nyawa masih kental. Padahal selaku imam harus berani lepas bebas terhadap segalanya: harta, wanita, kedudukan. Keterikatan hanya membelenggu dan membuat pikiran menderita. Sikap lekat terhadap diri sendiri dan barang menghalangi langkah seorang imam mencapai tujuan. 

 Speed boat kami terguncang hebat oleh arus deras di sebuah selat Potot Kepulauan Lingga. Spead hampir saja terbalik oleh putaran air. Seluruh penumpang pucat terkejut. Wajahku puca pasi. “Saya takut mati, Tuhan!” Ketakutan akan kematian mulai mereda setelah kapal bisa dikendalikan dengan baik.  

 Keramahan Bapak Herman di Pulau Air Batu mencairkan ketegangan kami. Beliau pun juga sungguh santun dan sangat menghormati kehadiran imam. Beliau meyakini bahwa pelayanannya tersebut berkenan di hati Allah. 

 Pulau Air Batu Meluncur Pulau Manik

Setelah kami cukup beristirahat dan makan kenyang di rumah Bapak Herman, kami melanjutkan perjalanan dari Pulau Air Batu ke Pulau Manik dengan pompong bapak Herman. Rantai pompong putus di tengah perjalanan.

Kami terkatung-katung di laut. Kami mencoba bekerjasama mendayung pompong mendekati pulau manik dengan kayu. “Saya takut mati. kalau saya mati maka jasat saya kemana? Kalau tubuh saya hilang tenggelam, saya pulang tinggal nama” 

 Ada bagian yang takut mati. Ada bagian lain sudah siap dengan kehidupan baru. Bagian yang sudah siap dengan kematian berujar kepada bagian yang takut kematian,”Hidup dan mati adalah milik Kristus. Selamanya hidup kita milik kristus. Tidak akan ada yang mampu memisahkan cinta kita dengan Cinta Kristus. Cinta itulah yang membuat hidup selamanya.”

 Hidup harus berdamai dengan diri sendiri. Hidup memang milik Tuhan. Biarlah diatur oleh Tuhan.  Dua penduduk Pulau Manik mendengar teriakan kami. Mereka segera menolong dengan sampan mereka.

Pemikiran pastor Calvin mengacu dari Matius 25:14-15; 19-27.30 meneguhkan kami. “kita harus bekerja dengan  giat. Kita kembangkan talenta, anugerah Tuhan untuk pelayanan dan kemuliaan Tuhan.” Pencarian sumber mata air adalah pelayanan untuk umat. Kita harus  melayani dengan segala konsekwensi demi kemuliaan Tuhan.  

Pulau Air Manik Pulang Menuju Pulau Senayang

Setelah kami selesai ramah tamah dan membantu penduduk pulau mencarikan sumber mata air, kami meninggalkan pulau manik menuju ke pulau Senayang dengan pompong milik bapak Herman. Di atas pompong saya sudah berfikir negatif, « kalau naik pompong milik bapak Herman, pengalaman kemarin bisa terulang kembali. » Pikiran tersebut baru 10 menit berhenti, rantai pompong putus di selat potot kepulauan Lingga (tempat yang sama dengan hari sebelumnya).

Pikiran negatif menjadi kenyataan. Apakah itu kebetulan atau kemampuan rantai pompong sudah buruk ?  25 menit kami terkatung-katung di laut lepas. Tidak ada lagi perasaan takut mati. Yang ada adalah kecemasan jadwal kapal dari pulau senayang ke tanjung Pinang.

Pikiran distel ulang. Segera saya berfikir bahwa rantai segera bisa diperbaiki dan pompong bisa tiba tepat pada waktnya. Pikiran positif dan imaginasi menjadi kenyataan. Mas Agung berhasil menyambung rantai putus dengan perlengkapan ala kadarnya. Sebagai seorang beriman saya melihat bahwa ini juga pertolongan Tuhan. Pukul 07.50 wib kami sudah berada di dalam kapal ferry KM Indo Arena 88 jurusan Senayang Tj Pinang.  

Penutup

Mimpiku membantu mencarikan sumber mata air sudah terwujud. Proses pencapaian tujuan membawa pada pengalaman ke pengalaman indah. Pengalaman tersebut mendidik diri agar semakin bijaksana. Saya berharap para pembaca juga peka terhadap sapaan Allah melalui perristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali Allah bisa berbicara melalui peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Kalau hati kita terbuka dengan sapaan Allah, maka kita mendapat pelajaran indah. Pelajaran-pelajaran dari pengalaman ini menghantar kita semakin lebih dewasa.

 

Menilik Bencana

wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147

 

 Duluan Aceh tertimpa bencana alam, akibat gempa bumi yang memicu terjadinya tjunami. Penduduk kota Aceh banyak memeluk agama Islam.  Bahkan di sana diberlakukan syariat Islam. Aturan itu misalkan, para penduduk Aceh diwajibkan untuk mengikuti kaidah-kaidah Islam seperti memakai jilbab bagi wanita, memakai peci bagi para lelaki. Banyak orang muslim di Aceh hari Jumaat diharuskan beribadah. Peraturan itu sebagai pertanda bahwa mereka berjuang menghidupi alquran dan hidup baik berdasarkan ajaran-Nya. 

 Beberapa fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa mereka  sudah dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang dengan Tuhan seharusnya membuat orang semakin menemukan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Ada keyakinan umum bahwa Tuhan yang disembahnya akan melindungi para penyembahnya – hambanya / umat-Nya –  dimanapun mereka berada dan dalam segala situasi.  

Menjadi bahan permenungan bagi kita, betulkah keyakinan semacam itu masih bisa dipertahankan? Kalau Tuhan melindungi semua umat muslim yang taat pada rukun islam tetapi mengapa bencana besar menimpa Aceh? Apa dibalik kejadian besar itu? Apakah itu hanya peristiwa alam, dan tidak ada kaitannya dengan rencana Tuhan? Mungkinkah di balik kejadian menggegerkan itu Tuhan mau berbicara kepada bangsa Aceh?

Kalau kejadian itu dilihat sebagai hukuman/bencana, maka argumen di atas runtuh.  Menjadi sulit dinalar ketika orang mengkaitkan peristiwa itu dengan “hari baik” orang katolik. Hari baik sengaja diberi tanda kutip. Di mata Tuhan nya orang Kristen semua hari adalah baik. Yang dimaksud “hari baik” oleh penulis adalah hari istimewa dimana orang katolik merayakan Natal.  Natal adalah Hari Raya Yesus terlahir ke dunia – Allah menjelma menjadi manusia. Di daerah-daerah terpencil Natal sangat mungkin baru bisa dilaksanakan tanggal 26 Desember atau 27 Desember.  

Pada saat orang Kristen merayakan kelahiran kristus di hari yang baik, orang Kristen mengalami kegembiraan Natal. Di situ Kristus hadir menyapa dan peduli dengan manusia. Luapan kegembiraan dirayakan gegap gempita. Beraneka bentuk ungkapan kegembiraan umat Kristen merayakan Natal bisa menghabiskan uang bermilyaran rupiah. Saat-saat orang Kristen bergembira ria, menghambur-hamburkan uang demi sebuah perayaan di berbagai penjuru Nusantara dan bahkan dunia, di sisi lain pada hari yang bersamaan, banyak penduduk kota Aceh yang taat kepada ajaran-Nya dilanda bencana Tjunami.

Agama Kristen bergembira pada hari raya Natal, Agama muslim tertimpa bencana gempa bumi yang memicu tjunami. Agama yang satu sedang mencecap kegembiraan, agama yang lain mencecap kepahitan hidup, bencana Alam. Menjadi sangat tidak logis manakala muncul SMS,” bencana Alam Tjunami yang menimpa Aceh tepat 26 Desember 2005 di hari Natal. Kejadian itu bukanlah kebetulan hari Natal. Semua kejadian sudah direncanakan oleh Tuhan. Tuhan mau menegur orang berdosa.”  

Di balik pemikiran seperti itu bisa membingungkan orang. Orang bisa membuat suatu penghakiman atas orang lain. Hari raya orang kristen membahagiakan dan paling benar, sedangkan orang lain keliru. Manakala ego orang muncul mungkin bisa berfikir begini, kami orang saleh dan benar, sedangkan orang lain lah yang keliru dan mungkin berdosa. 

Mari kita menyimak di sudut lain dari belahan bumi Indonesia. Di pojok-pojok Nias Sumatera Utara juga mengalami hal serupa. Bencana alam akibat gempa dan riak gelombang laut memporak-porandakan banyak bangunan beton. Banyak orang mati mengenaskan akibat bencana itu. Menurut data statistik penduduk Nias banyak yang memeluk agama kristen.

Nah, bisakah pemikiran di atas sekarang dikenakan untuk orang-orang ini dan kejadian ini? Orang Nias yang banyak memeluk agama kristen menderita akibat gempa bumi, sedangkan orang-orang muslim di belahan padang bahagia merayakan kehidupan mereka? Apakah orang-orang Nias yang menderita adalah orang-orang yang sedang ditegur Allah? Apakah teguran itu mengingatkan kepada mereka bahwa keyakinan mereka atau tindakan mereka salah?  

Menjadi tidak masuk di akal lagi, manakala kejadian itu masih dikaitkan dengan hari baik. Kejadian tragis itu terjadi setelah Paskah: Tuhan bangkit. Kebangkitan Tuhan mengapa justru membawa kesengsaraan bagi orang-orang kristen? apakah Allah orang Kristen memakai hari orang Kristen untuk menegur orang Kristen?

Apakah hari baik orang Jawa menjadi pertanda hari buruk bagi orang Kristen? Apakah agama Jawa lebih baik dari agama Kristen? Apakah Allahnya orang jawa sedang menegur Allahnya orang Kristen?  Jogja menangis terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Gempa bumi berpusat di pantai selatan pulau Jawa. Gempa tersebut menghancurkan banyak bangunan tembok-tembok kokoh kota Jogjakarta. Hampir 6.000 nyawa orang jawa melayang akibat gempa. Beribu-ribu orang meringis menderita tertimpa bebatuan. Kelaparan mengintip para korban bencana dari hari ke hari.  Nasib masa depan penduduk jogja suram.  

Bagi orang Jawa hari itu adalah hari sial. Sebaliknya bagi orang katolik hari itu adalah “hari baik”. Penulis mengatakan baik karena hari bencana alam ini bertepatan dengan hari kenaikan Yesus ke surga. Orang katolik bersorak gembira merayakan kenaikan Tuhan. Kenaikan Tuhan bertepatan dengan gempa bumi di Jogja. Orang-orang Katolik berbahagia merayakan kenaikan Tuhan, orang Jawa menangis tertimpa bencana Alam. Hari itu baik untuk orang katolik, tetapi bencana bagi para korban gempa bumi. Apakah lalu kita berani menarik kesimpulan bahwa orang katolik paling benar sedangkan orang Jawa dan beragama Jawa adalah sesat dengan bukti-bukti tersebut? Apakah pola pemikiran bangsa Yahudi pada jaman perjanjian lama menjadi patokan di sini: siapa yang menderita berarti berdosa, sedangkan yang bahagia adalah orang yang benar, saleh dan terberkati? 

Dosa dan suci adalah urusan Tuhan. Patokan dosa atau tidak itu khan bisa  tergantung dari persepsi orang. Bagi mereka benar, tetapi bagi kami salah. Bagi kami benar, bagi orang lain salah. Bagi kami salah, bagi mereka adalah benar. Satu sisi orang bisa menganggap paling benar dan menyalahkan orang lain, atau sebaliknya. Padahal sangat mungkin sekali salah atau benar ditentukan oleh latarbelakang tiap orang. Keyakinan yang berbeda bisa menyebabkan hasil penilaian dari satu peristiwa berbeda. Orang yang berbeda kebudayaan bisa menghasilkan perbedaan dalam memandang satu masalah. Perbedaan pendidikan  orang pun akan mempunyai perbedaan hasil di akhir penilaian kalau memandang satu masalah.  

Masihkah kita bisa mempertahankan argumentasi-argumentasi yang berkembang bahwa itu adalah teguran untuk agama tertentu? Lantas mungkinkah tejadi kekeliruan pemikiran: pastilah agama itu keliru dan agamaku paling benar dan paling super? 

Perlu sangat hati-hati untuk menjadikan sebuah bencana sebagai pijakan menilaian dan bahkan menghakimi agama lain. Dari data-data yang ada, yang bisa pasti dicatat adalah bahwa ada bencana alam berturut-turut menimpa bangsa Indonesia. Bencana Aceh, bencana Nias, bencana Jogja, dan bencana alam lain datang silih berganti.

Bencana alam itu menimpa semua manusia. Dia tidak memandang agama, suku, ras, golongan, kaya miskin.  Mungkin 4 tahun ke depan Merapi di Jogjakarta akan meletus dahsyat. Letusan itu akan memakan korban lebih banyak lagi dan akan lebih memporak-porandakan banyak bangunan di Jogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan 28 tahun ke depan Krakatau di Jawa Barat akan meledak dahsyat. Ledakan itu pasti akan memakan korban jiwa penduduk Jakarta dan sekitarnya.

Banjir, tanah longsor, gempa bumi, tjunami, dan bencana alam lain masih mengintip – menunggu kita. Lebih bijak kalau bencana silih berganti yang sudah terjadi dan akan terjadi dijadikan oleh semua manusia sebagai bahan bermenung: hidup dan mati di tangan Allah; kapan kita hidup dan kapan kita mati ditentukan oleh Allah.

 Permenungan sederhana ini semoga menghantar orang untuk semakin dekat dengan Allah, mencintai sesama yang menderita dan tidak mudah menghakimi keyakinan orang lain. Bencana semoga juga membuat kita sadar bahwa penghargaan kita atas orang lain berdasar pada kemanusiaan; bukan pada agamanya atau sukunya. Dengan begitu kita lebih bisa menghargai agama / kepercayaan orang lain dan suku lain. Mari kita sama-sama berjuang agar kita semakin hari semakin menyerupai Allah.