Cinta Sejati Cayau

Pantai Samfur, 25 September 2008

 

 

Cayan berdiri di antara bocah-bocah mungil. Mereka bermain 5 balon di ruangan terbuka. Kaki-kaki bocah-bocah kecil itu menendang-tendang balon. Tangan-tangan mungil ingin menggenggamnya. Sekali waktu mereka terjerembab di lantai ketika kaki mungil lunglai terserimpet dengan celana panjangnya. Beberapa detik mereka bangkit dengan wajah bersinar tanpa keluhan untuk melanjutkan langkah kakinya menggapai cita-citanya.

 

“Dia terjerembab oleh pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia segera bangkit setelah dia jatuh untuk tetap fokus pada tujuannya, balon. Hasrat untuk menggenggam balon menjadi api dalam perjuangannya meraih mimpi. Rasa senang membuat dia tabah dalam jatuh ataupun bangun.”  Bocah-bocah kecil tersebut menghantar pencerahan Cayan. Dia tinggalkan guru-guru kecil untuk menuju ke rumah pujaan hatinya.

 

Jeruji-jeruji rumah depan pujaan hatinya dibuka oleh lelaki tua renta. Kedua kaki mantap memasuki ruang kosong di tengah. Terdengar gemercik air mengalir di tepi kolam. Dia rebahkan tubuhnya di kursi tua berwarna cokelat di timur kolam. Detak jantungnya bergerak tak menentu. Sekali waktu tarikan nafas memecah sunyi. Gemersek gerak tubuh atau gesekan dua organ tubuh menjadi musik alami yang indah.

 

Bidadari berkaos merah tua keluar dari bilik. Kedua tangan mungil menjabat erat jari jemari Cayan. Dua wajah beradu pandang. Senyum merekah di antara dua jiwa berbeda. Dia merogoh saku baju sebutir jarum. Jarum tersebut ditusukkan ke jari telunjuk kiri. Dia berikan jarum tersebut kepada Ciyin. Dia tusukkan jarum tersebut di jari telunjuk tangan kanan. Ciyin menyatukan kedua telunjuk.

 

Mereka berdoa di bawah langit, di atas bumi, di selimuti oleh angin. “Kita sudah menjadi satu darah. Kita sudah menjadi satu hati. Kita sudah menjadi satu jiwa. Kita sudah menjadi satu roh. Kita berdua adalah satu. Kita bukan lagi dua. Langit, bumi, udara, api, laut, tumbuh-tumbuhan, binatang, yang tampak dan yang tidak tampak menjadi saksi cinta kita.”

 

Di ujung doa Cayau berujar lirih,”Seluruh diriku adalah milikmu. Aku mencintaimu.”

 

“Kau belum mengerti cinta sejati!” Kata Ciyin. “Cinta sejati harus dibuktikan dengan tindakan, bukan sekedar ucapan. Ucapan harus selaras dengan perilaku.”

 

 “Waktu menjadi hakim atas janji.” Cayau meneteskan air mata … 

 

 

Read 0 comments

  1. Setuju banget dengan kata-kata si Ciyin, “Cinta sejati harus dibuktikan dengan tindakan, bukan sekedar ucapan. Ucapan harus selaras dengan perilaku.”

    Bukan berarti saya menganggap kata2 itu tidak penting. Dalam konteks “real life” sering orang dengan gampang mengucapkan janji, tapi dalam konteks perbuatan sangat sulit diimplementasikan. Sama halnya kan kalo “Iman tanpa perbuatan adalah mati” . Benar kata si Ciyin: Ucapan harus selaras dengan perilaku

    Saya menganut “lebih baik berbuat dulu” ketimbang cuap-cuap tapi engga ada hasil. Karena kata2 dari mulut yang kecil dapat mengikat tubuh yang gede…

    Terima kasih ya mo untuk renungannya
    Tuhan berkati romo selalu

  2. Setuju banget dengan kata-kata si Ciyin, “Cinta sejati harus dibuktikan dengan tindakan, bukan sekedar ucapan. Ucapan harus selaras dengan perilaku.”

    Bukan berarti saya menganggap kata2 itu tidak penting. Dalam konteks “real life” sering orang dengan gampang mengucapkan janji, tapi dalam konteks perbuatan sangat sulit diimplementasikan. Sama halnya kan kalo “Iman tanpa perbuatan adalah mati” . Benar kata si Ciyin: Ucapan harus selaras dengan perilaku

    Saya menganut “lebih baik berbuat dulu” ketimbang cuap-cuap tapi engga ada hasil. Karena kata2 dari mulut yang kecil dapat mengikat tubuh yang gede…

    Terima kasih ya mo untuk renungannya
    Tuhan berkati romo selalu

  3. Segala sesuatu, apapun bentuknya…..apakah itu benda, cinta dll kalau belum tercapai untuk memiliki maka dicari segala bentuk cara…..setelah tercapai apakah kita sanggup memelihara, menjaga, menyayangi agar semuanya utuh seperti awal2-nya?

    Betul sekali, waktu menjadi hakim atas janji.

  4. Segala sesuatu, apapun bentuknya…..apakah itu benda, cinta dll kalau belum tercapai untuk memiliki maka dicari segala bentuk cara…..setelah tercapai apakah kita sanggup memelihara, menjaga, menyayangi agar semuanya utuh seperti awal2-nya?

    Betul sekali, waktu menjadi hakim atas janji.

Tinggalkan Balasan