Meneladani Sikap Yesus

Keuskupan Pangkalpinang

Amal Baik bukan Jaminan Kebahagiaan Ibu Phillip Sing-sing mengeluh, Stefen , anak kandung saya setahun ini jarang pergi ke gereja. Saya khawatir dengan masa depannya. Dia sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita muslim. Kalau iman rapuh, maka dia bisa berpindah agama. Padahal sejak dalam kandungan saya rajin membaca kitab suci agar dia pun mencintai kitab suci di saat dewasa. Sejak kecil saya rajin membawanya ke gereja. Tingkah laku sering melukai perasaan orang tua. Saat perasaan terluka, dia sering mengusir anaknya dari rumah dan tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah sikap seperti itu disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? 

Suami saya banyak berbuat amal untuk gereja. Dia pandai elektronik. Dia beberapa kali menolong beberapa pastoran untuk urusan semacam itu. Dia ringan tangan membantu orang lain. Dia pun banyak membantu di gereja. stasi Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang. Dia rajin ke gereja setiap hari minggu. Di rumah dia rajin berdoa. Dia sangat baik dan saleh, tetapi dia meninggal 90 hari lalu karena kanker. Mengapa hal tersebut terjadi pada orang baik? Apakah semua kejadian yang menimpa kami disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? Pastor paroki waktu itu menolak pembaptisan anak kami di paroki St Yusuf Pangkalpinang. Beliau menegaskan bahwa baptisan bayi di stasi hendaknya diadakan di stasi. Komunitas di stasi mempunyai tanggungjawab terhadap perkembangan iman anak setelah pembaptisan. Tetapi penolakan tersebut membuat kami tertekan. Kami merasa bahwa pastor marah terhadap kami. Dia menjadi enggan untuk berjumpa dan berbicara kepada keluarga. Sikap beliau sungguh membuat kami tertekan. Apakah rasa tertekan bisa menyebabkan sakit kanker dan sejenisnya?  Atau penyebab semua penderitaan keluarga kami adalah rumah? 

Setiap minggu saya mengikuti perayaan Ekaristi. Setiap doa lingkungan saya mencoba mengikutinya. Posisi bendahara di stasi Hati Kudus Yesus Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang adalah saya. Perbuatan amal sering saya buat. Saya rajin ke gereja. Saya mengabdi kepada gereja. Saya banyak berbuat amal. Tetapi mengapa saya masing sering sakit? Mungkinkah pengaruh rumah?

 Kisah nyata di atas dituturkan oleh ibu Phillip Euw Sing-sing. Sekeluarga sudah dekat dengan Tuhan dan melayani Tuhan, tetapi mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah berbuat amal terhadap orang lain, mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah rajin berdoa untuk kebaikan si anak agar anak mencintai Tuhan dalam hidup, tetapi mengapa justru terjadi kebalikan? 

 Meneladani Sikap Yesus

Semua manusia , saleh atau bejat, pasti bisa menderita seperti sakit, tua, mati, keinginan, dicerca, dianiaya, ditindas, dihina, dilecehkan, diperlakukan tidak adil, ditinggalkan orang dekat, dan lain-lain. Agama tidak menghapus penderitaan. Penderitaan seringkali merupakan bagian dalam proses mencapai pencerahan. Para santo dan santa selama hidup banyak mengalami penderitaan hidup. Yesus pun mengalami penderitaan lahir dan batin luar biasa hebat.

Saya terinspirasi dari renungan romo Gianto yang dikirim ke ApiK tentang renungan untuk Rabu Abu. “Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang penuh harapan pada zaman itu, Mesias yang mendatangi mereka ialah Mesias yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia ada penjelasan “ia adil dan jaya” – yang tidak ikut ditampilkan Matius karena sudah jelas) dan sekaligus tokoh yang “lemah lembut”, maksudnya, yang dapat memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran, sisi lain kelemahlembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersama.”

Yesus mempunyai dua kekuatan yakni lemah lembut dan maha kuasa. Yesus mampu memadukan kedua kekuatan tersebut untuk menyikapi hidup-Nya. Dia menyikapi secara lemah lembu sanjungan, pujian orang-orang atau pengkhianatan, penganiayaan, pembantaian, penyaliban disikapi oleh Yesus secara bijak. Santo paulus meminta kepada umat di Filipi agar mencontoh sikap Yesus. 

Bagaimanakah sikap kita atas kenyataan hidup sangat mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku kita. Penolakan pastor paroki atas baptisan anak Phillip euw sing-sing melahirkan perasaan terluka, karena mereka menyikapinya secara negative. Penolakan pembaptisan anak diidentikkan dengan penolakan pastor paroki atas dirinya, ungkapan amarah atau kebencian pastor paroki atas keluarganya. 

 Stefen, anak pertama jarang pergi ke gereja, sering pulang larut malam dan berpacaran dengan wanita muslim. Dia mengkambinghitamkan rumah dan ketidakefektifan doa pribadinya. Sang ibu sudah berusaha banyak berdoa di saat hamil dan berkarya untuk gereja, tetapi sang anak justru mengecewakan orang tua. Dia berfikir bahwa melayani di gereja otomatis membawa keluarga pada kebahagiaan. Dia menduga doa-doa merupakan cara ampuh mendidik anak menjadi saleh. Justru semua itu mengecewakan perasaannya. 

Sikap ibu Phillip euw sing-sing justru menambah persoalan baru di atas. Dia sibuk mencari kambing hitam, yakni ketidakefektifan doa dalam proses pendidikan anak dan rumah. Dia tidak berusaha mencari akar persoalan kenalanan si anak. Bahkan sering dia mengusir Stefen, anak kandungnya dan tidak mengakui Stefen sebagai anak kandungnya.  

 Sikap kasar ibu Phillip terhadap Stefen justru menimbulkan persoalan baru. Penoalakan ibu terhadap sang anak justru perasaan terluka si anak. Anak yang terluka akan mempegaruhi perilaku anak, yang cenderung melukai perasaan orang tuanya. Ketidakmampuan memutus mata rantai seperti itu kemudian dia mengkambinghitamkan rumah. Rumahlah penyebab keluarga, mama dengan anak sering bertengkar!  

Ketika sang ibu Phillip diminta untuk meneladani sikap Yesus, lemah lembut, ia menolak dengan tegas. Menurut ibu Phillip euw Sing-sing Yesus bisa bersikap secara lembut hati ketika diri-Nya dianiaya, diolok-olok, ditolak, disesah, disalib dan seterusnya, karena Dia adalah Tuhan. Saya adalah manusia. Saya bukan Tuhan. Jadi tidak mungkin saya atau umat bersikap seperti Tuhan! 

Kedamaian sejati banyak sekali ditentukan oleh sikap kita. Kalau kita menyikapi banyak hal secara negatif, maka perasaan kita akan mudah terluka. Kita banyak diombang-ambingkan oleh perasaan kita. Kita bukan digerakkan oleh suara hati terdalam kita. Kita bebas menentukan pilihan sikap kita. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147)       

Amal Baik bukan Jaminan Kebahagiaan Ibu Phillip Sing-sing mengeluh, Stefen , anak kandung saya setahun ini jarang pergi ke gereja. Saya khawatir dengan masa depannya. Dia sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita muslim. Kalau iman rapuh, maka dia bisa berpindah agama. Padahal sejak dalam kandungan saya rajin membaca kitab suci agar dia pun mencintai kitab suci di saat dewasa. Sejak kecil saya rajin membawanya ke gereja. Tingkah laku sering melukai perasaan orang tua. Saat perasaan terluka, dia sering mengusir anaknya dari rumah dan tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah sikap seperti itu disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? 

Suami saya banyak berbuat amal untuk gereja. Dia pandai elektronik. Dia beberapa kali menolong beberapa pastoran untuk urusan semacam itu. Dia ringan tangan membantu orang lain. Dia pun banyak membantu di gereja. stasi Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang. Dia rajin ke gereja setiap hari minggu. Di rumah dia rajin berdoa. Dia sangat baik dan saleh, tetapi dia meninggal 90 hari lalu karena kanker. Mengapa hal tersebut terjadi pada orang baik? Apakah semua kejadian yang menimpa kami disebabkan oleh rumah atau kamar tidur? Pastor paroki waktu itu menolak pembaptisan anak kami di paroki St Yusuf Pangkalpinang. Beliau menegaskan bahwa baptisan bayi di stasi hendaknya diadakan di stasi. Komunitas di stasi mempunyai tanggungjawab terhadap perkembangan iman anak setelah pembaptisan. Tetapi penolakan tersebut membuat kami tertekan. Kami merasa bahwa pastor marah terhadap kami. Dia menjadi enggan untuk berjumpa dan berbicara kepada keluarga. Sikap beliau sungguh membuat kami tertekan. Apakah rasa tertekan bisa menyebabkan sakit kanker dan sejenisnya?  Atau penyebab semua penderitaan keluarga kami adalah rumah? 

Setiap minggu saya mengikuti perayaan Ekaristi. Setiap doa lingkungan saya mencoba mengikutinya. Posisi bendahara di stasi Hati Kudus Yesus Mesu Laut paroki St Yusuf Pangkalpinang adalah saya. Perbuatan amal sering saya buat. Saya rajin ke gereja. Saya mengabdi kepada gereja. Saya banyak berbuat amal. Tetapi mengapa saya masing sering sakit? Mungkinkah pengaruh rumah?

 Kisah nyata di atas dituturkan oleh ibu Phillip Euw Sing-sing. Sekeluarga sudah dekat dengan Tuhan dan melayani Tuhan, tetapi mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah berbuat amal terhadap orang lain, mengapa mereka masih menderita? Mereka sudah rajin berdoa untuk kebaikan si anak agar anak mencintai Tuhan dalam hidup, tetapi mengapa justru terjadi kebalikan? 

 Meneladani Sikap Yesus

Semua manusia , saleh atau bejat, pasti bisa menderita seperti sakit, tua, mati, keinginan, dicerca, dianiaya, ditindas, dihina, dilecehkan, diperlakukan tidak adil, ditinggalkan orang dekat, dan lain-lain. Agama tidak menghapus penderitaan. Penderitaan seringkali merupakan bagian dalam proses mencapai pencerahan. Para santo dan santa selama hidup banyak mengalami penderitaan hidup. Yesus pun mengalami penderitaan lahir dan batin luar biasa hebat.

Saya terinspirasi dari renungan romo Gianto yang dikirim ke ApiK tentang renungan untuk Rabu Abu. “Dalam pemahaman Matius dan orang-orang yang penuh harapan pada zaman itu, Mesias yang mendatangi mereka ialah Mesias yang memiliki wibawa seorang raja (dalam teks Ibrani Zakharia ada penjelasan “ia adil dan jaya” – yang tidak ikut ditampilkan Matius karena sudah jelas) dan sekaligus tokoh yang “lemah lembut”, maksudnya, yang dapat memahami kerapuhan manusia. Memang seolah-olah ada dua tokoh: satu sisi kebesaran, sisi lain kelemahlembutan. Kedua-duanya mendatangi Yerusalem bersama.”

Yesus mempunyai dua kekuatan yakni lemah lembut dan maha kuasa. Yesus mampu memadukan kedua kekuatan tersebut untuk menyikapi hidup-Nya. Dia menyikapi secara lemah lembu sanjungan, pujian orang-orang atau pengkhianatan, penganiayaan, pembantaian, penyaliban disikapi oleh Yesus secara bijak. Santo paulus meminta kepada umat di Filipi agar mencontoh sikap Yesus. 

Bagaimanakah sikap kita atas kenyataan hidup sangat mempengaruhi perasaan, pikiran dan perilaku kita. Penolakan pastor paroki atas baptisan anak Phillip euw sing-sing melahirkan perasaan terluka, karena mereka menyikapinya secara negative. Penolakan pembaptisan anak diidentikkan dengan penolakan pastor paroki atas dirinya, ungkapan amarah atau kebencian pastor paroki atas keluarganya. 

 Stefen, anak pertama jarang pergi ke gereja, sering pulang larut malam dan berpacaran dengan wanita muslim. Dia mengkambinghitamkan rumah dan ketidakefektifan doa pribadinya. Sang ibu sudah berusaha banyak berdoa di saat hamil dan berkarya untuk gereja, tetapi sang anak justru mengecewakan orang tua. Dia berfikir bahwa melayani di gereja otomatis membawa keluarga pada kebahagiaan. Dia menduga doa-doa merupakan cara ampuh mendidik anak menjadi saleh. Justru semua itu mengecewakan perasaannya. 

Sikap ibu Phillip euw sing-sing justru menambah persoalan baru di atas. Dia sibuk mencari kambing hitam, yakni ketidakefektifan doa dalam proses pendidikan anak dan rumah. Dia tidak berusaha mencari akar persoalan kenalanan si anak. Bahkan sering dia mengusir Stefen, anak kandungnya dan tidak mengakui Stefen sebagai anak kandungnya.  

 Sikap kasar ibu Phillip terhadap Stefen justru menimbulkan persoalan baru. Penoalakan ibu terhadap sang anak justru perasaan terluka si anak. Anak yang terluka akan mempegaruhi perilaku anak, yang cenderung melukai perasaan orang tuanya. Ketidakmampuan memutus mata rantai seperti itu kemudian dia mengkambinghitamkan rumah. Rumahlah penyebab keluarga, mama dengan anak sering bertengkar!  

Ketika sang ibu Phillip diminta untuk meneladani sikap Yesus, lemah lembut, ia menolak dengan tegas. Menurut ibu Phillip euw Sing-sing Yesus bisa bersikap secara lembut hati ketika diri-Nya dianiaya, diolok-olok, ditolak, disesah, disalib dan seterusnya, karena Dia adalah Tuhan. Saya adalah manusia. Saya bukan Tuhan. Jadi tidak mungkin saya atau umat bersikap seperti Tuhan! 

Kedamaian sejati banyak sekali ditentukan oleh sikap kita. Kalau kita menyikapi banyak hal secara negatif, maka perasaan kita akan mudah terluka. Kita banyak diombang-ambingkan oleh perasaan kita. Kita bukan digerakkan oleh suara hati terdalam kita. Kita bebas menentukan pilihan sikap kita. (Pastor Titus Budiyanto, wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147)       

Tinggalkan Balasan