Wisma keuskupan Pangkalpinang, 27 Agustus 2008
Di tepi laut dia menyandarkan tubuh di ujung depan mobil. Kedua mata menerawang laut biru lepas. Langit memayungi keindahan tubuhnya. Kedua kaki sedikit amblas di pasir putih lembut. Angin senja menerpanya. Rambut hitam lurus terurai ke darat. Kedua tangan merengkuh kekosongan. Kedua ujung jari telunjuk kiri dan kanan ditusuk dengan jarum alam. Darah merah segar kedua kutub disatukan. Mulutnya berujar lirih, “Dua menjadi satu. Yang satu adalah dua. Dua hati menjadi satu. Yang satu adalah dua. Persatuan kedua kutub disaksikan oleh alam raya, segala yang tampak dan yang tak tampak.”
Mobil itu ditinggalkan sendiri. Kedua kaki lembut melangkah menuju deburan ombak. Persatuan darah mengalir melahirkan keberanian dan tekat menerjang alunan ombak. Hati ciut melebar luas seluas jagat. Dia seakan mengantongi jagat raya, bukan jagat raya mengantongi dirinya. Seolah-olah dia melebihi segala ciptaan yang ada dan menyatu dengan segala yang ada. Alunan ombak mundur beberapa langkah seiring dengan langkah majunya. Dunia kecil seolah mampu menggerakkan dunia besar. Menakjubkan!
Selangkah demi selangkah dia menyatu dengan air laut. Separuh tubuh tenggelam. Darah di kedua jari dicelupkan ke air biru saudaranya. Bersamaan dengan tebaran darah anyir di kedua ujung jari jemari tenggelam di laut, guntur di langit menggelegar. Api langit memercik ke samudera raya. Angin topan berputar kencang membelai samudera raya. Dia terombang-ambing di antara air, bumi dan udara. “Aku dan Kau menyatu. Kau di dalam diriku, dan aku di dalam diriMu.”
Badai mereda. Laut teduh. Langit biru cerah. Udara sepoi-sepoi membelai tubuh. Lekuk tubuh melangkah mundur menuju mobil panthernya. Pasir putih lembut membelai hangat kedua kaki mungilnya. Senyum menebar di seluruh raut muka. “Kau di dalam diriku, aku di dalam diri-Mu.” (Pastor Titus Budiyanto, Jalan Batu Kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)