Aura Kasih

Pangkul, 24 Agustus 2008

 

 

Vera sakit sudah setahun. Kepala sakit. Dada sakit. Pinggang sakit. Lambung sakit. Dia setiap hari hanya terbaring di ranjang. Berulangkali dokter menancapkan infus di tangan untuk mengganti makan dan cairan. Selera makan disapu angin pantai Pangkul. Semangat hidup menguap ditelan panas terik matahari. Dia sudah mengintip kematian. Rindu meninggalkan dunia fana. Yulanda mengisahkan bidadari kesayangannya di gereja tua Pangkul Pangkalpinang Bangka.

 

Pintu langit terbuka lebar. Air tercurah tumpah dari bak penampungan Tuhan. Dia berputar-putar dihempas angin dan api. Terpecah berkeping-keping menjadi tetes-tetes air. Menyebar ke alam raya. Membasahi tanah, tumbuhan, hewan, dan segala maklhuk yang tampak dan yang tak tampak di bumi dan di awang-awang. ruang suci gereja tua perlahan-lahan menjadi sunyi seirama dengan beberapa langkah kami menuju gubuk tua Yulanda.

 

Kerikil-kerikil tajam di hamparan jejalanan menyengat telapak kaki. Gelombang jalanan menggoncang-goncang tubuh. Tetua pecinan menerima iklhas bopeng-bopeng jalanan. Tiada hujatan mulut-mulut penduduk kampung. Kepala tetap menatap ke depan walau sekujur tubuh tergoncang-guncang. Dalam posisi apapun juga mata tetap terfokus pada tujuan, walau segala dibolak-balik di posisi manapun juga.

 

Rambut hitam kami basah oleh rintik air dari langit. Sebagian dari tubuh renta kami basah oleh air hidup. Menyadari bahwa dingin memulai menusuk relung hati, kami segera berlari bersembunyi di bawah payung rumah tua rumah Vera bersama keluarga dan beberapa umat stasi Pangkul. Kedua tangan bersidakep menggigil menahan dingin senja.

 

“Kabarku tidak baik. Aku sering sakit. Orang-orang terdekatku yakni suami , kedua orang tuaku, saudara-saudariku, dan rekan seiman tidak perduli. Percuma saja aku menceritakan perasaanku kepada semua orang terdekatku.” Dia menggoreskan keping-keping luka di hatinya di buku tulis di catatan hariannya.

 

Kedua mata menerawang seluruh ruangan kayu tua beratap seng berwarna cokelat. Kucium aroma busuk di kamar Vera. Vibrasi alam bergelora menggoncang ranjang penganting Vera. Dia murka atas ketidaksopanan Vera dengan pasangannya. Vibrasi alam mengacaukan gelombang otak.

 

“Antara sadar dan tidak sadar saya sering bertemu dengan orang-orang yang hitam. Mereka sering mengajakku untuk mengikutinya. Aku takut sekali dengan ajakannya. Peristiwa tersebut sering menghantuiku. Sepanjang malam jiwaku melayang, seolah-olah diriku terbang. Itulah awal aku sakit.”  Kegalauan perasaanya mengemuka di samping ranjang pengantin pink nya.

 

Jiwamu melayang. Semakin dirimu melayang, sekujur tubuh gemulai lemas lunglai. Kedua kelopak mata menjadi berat terkatup rapat seperti 3 hari 3 malam tidak mengecap bantal empuk. Cahaya putih membawamu terbang mengangkasa diiringi sorak-sorai suara malaikat. Lepaskan seluruh bebanmu pada sang Cahaya itu. Semua orang disekelilingmu, tetapi Dia menerimamu apa adanya. Dia mencintaimu melebihi segala.

 

Nenek baru saja meninggal dunia, tetapi umat hanya 4 umat katolik hadir dalam pemakaman. Sedangkan umat Kristen sungguh sangat banyak. Memang nenek beragama Kristen, tetapi dia tetap nenek kami. Kami sangat membutuhkan penghiburan dan peneguhan dari orang-orang katolik. Justru di saat kami turun ke jurang yang paling dalam, semua orang meninggalkan kami. Aku benci dan muak melihat mereka.

 

Waduh …

 

Asiong masuk ke jeruji besi. Badai menerpa rumah tangga. Kabut hitam tebal menyelimuti keluarga. Jiwa kami diombang-ambing di atas kapal di atas laut lepas. Dentuman ombak menghantam bertubi-tubi. Goncangan demi goncangan menghanyutkan kami. Semua meninggalkan kami. Hanya 4 umat katolik peduli dengan kami. Aku benci dan muak melihat mereka.

 

Waduh …

 

Ketika sekujur tubuh ini terbujur kaku tiada berdaya. Ketika desah nafas semakin melambat. Ketika detak nadi melemah. Ketika keringat dingin mengucur di sekujur pori-pori. Ketika ada dan tiada. Semua tidak perduli. Suami tidak mendengarkan perkataanku. Kedua orang tuaku tak bisa memahami dan melayaniku. Aku benci dan muak dengan mereka.

 

Vera meronta untuk melepaskan diri dari rantai-rantai maut. Deru nafas di hidung berpacu deras. Kepala rebah di sebelah kanan ranjang. Terjadi pertempuran dahsyat di dasar lubuk hati antara kerinduan hati dibelai mesra orang-orang yang dicintainya sebagai harapan dengan kekeringan tanah kering sebagai kenyataan hidup.

 

Cahaya putih itu membawamu semakin dalam. Aura kuasa Kasih cahaya itu menebar getar-getar nada kasih tanpa batas. Pusara cinta itu menarik seluruh dirimu masuk semakin tajam menembus lapis-lapis ego menuju samudera Cinta. Reguklah Sang Cinta. Cuci seluruh noda-noda debu penutup ego diri, yang hanya mau dicinta dan tidak mau mencinta.

 

Semakin menukik kedalam, semakin dalam meninggalkan segala untuk bertemu dengan segala. Seluruh panca indera tak mampu menangkap sinyal-sinyal kehidupan di sekeliling dunia fana, namun mampu menangkap gelombang Keilahian di relung hati suci. KeberadaanNya hanya bisa mencinta segala dan Dia tidak bisa menyangkal diriNya. Meleburlah di dalam misteri Cinta, agar kau terperciki anugerah Cinta sejati dari Sang Ilahi.

 

“Aku bertemu dengan cahaya. Aku bertemu dengan Dia. Aku merasakan kedamaian sejati. Palung paling dalam dan kosong mulai terisi dengan KuasaNya. Kebahagiaan menyelimutiku. Kekuatan mengalir hangat ke penjuru mata angin kehidupanku.”

 

Mempesona perjumpaan dua hati. CahayaNya senantiasa membalut kehidupan. Dia berada di dalam dan sekaligus di luar. Menggerakkan hati untuk mencinta dan mencinta, melayani dan melayani semua orang. (Pastor Titus Budiyanto Jalan Batu kadera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147)

 

 

 

Tinggalkan Balasan