Pengantar
Sepulang dari pertemuan para imam BASEPTA di stasi St Michael Tanjung Batu paroki St Yusuf Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau saya sempat observasi di beberapa tempat di Muka Kuning Batam. Beberapa karyawan memberikan kesaksian hidupnya . Mari kita simak kesaksian hidup mereka sebagai buruh pabrik dan umat Katolik di Muka Kuning. Semua data dan identitas ada pada penulis (tidak semua identitas pemberi kesaksian dicantumkan di sini sesuai permintaan mereka).
Menyimak Kesaksian Hidup Para Buruh Pabrik
“Saya nyampai ke Batam 15 Juli 1999 dengan modal ijasah STM jurusan listrik instalasi. Saya nekat datang ke Batam untuk mencari kehidupan yang lebih baik /layak dibanding saya harus bekerja di daerah asal Yogyakarta. Di sana saya pulang – pergi bekerja harus naik – turun gunung. 5 Agustus 1999 saya diterima di perusahaan Electronik PT Sincom Panasonic sebagai operator mesin auto insert. Setiap hari saya bekerja berdiri dari jam 7.00 wib – 19.00 wib. Jangankan untuk kegiatan menggereja seperti mudika, datang ke gereja untuk misa sudah merupakan anugerah. 6 bulan kemudian saya berpindah perusahaan yang bergerak di bidang IC. Saya bekerja dari jam 80.00 wib – 17.00 wib di bagian maintenance. Perpindahan kerja ini membawa perubahan dalam hidup. Saya bisa terlibat di mudika Aloysius Gonzaga.”
Paijo (nama samaran) melukiskan pengalamannya secara tertulis kepada penulis. Menurutnya kampung halamannya tidak menjanjikan masa depan cerah bagi dirinya. Batam menjadi surga bagi para pemimpi. Dia berfikir bahwa di tempat lain dirinya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, masa depan yang cerah. Itulah visi Paijo. Visi tersebut seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang dialami di Batam. Di Batam dirinya seperti mesin yang bekerja 10-12 jam sehari dengan gaji yang cukup untuk makan dirinya sendiri. Di tengah perjuangannya meraih mimpinya, ia masih menyempatkan diri terlibat aktif kegiatan meggereja Mudika St Aloysius Gonzaga paroki Lubuk Baja Batam. Latarbelakang alam Paijo berdomisili dipandangnya sebagai hambatan, bukan tantangan dalam hidupnya, maka ia meninggalkan kampung halamannya.
Yang melatari Dewantara (bukan nama sebenarnya) merantau ke Batam adalah Iseng. Berikut ini kesaksian Dewantara secara tertulis. “Saya sakit hati dengan bapak kandung. Di rumah saya tidak betah hidup bersama dengannya. Saya tidak menemukan kenyamanan di dalam rumah. Situasi tak enak semacam itu mendorong saya meninggalkan kampung halaman untuk berjuang di Batam 1994. Saat saya pergi ke Batam, saya bermimpi bisa hidup lebih baik daripada hidup di rumah bersama dengan orang tua. Kenyataan di lapangan pertama-tama hampir membuatku menangis. Betapa tidak? Saya ditempatkan di Dormitori yang berisi 15 orang. 1 ruangan berisi 15 orang seperti 1 kamar besar untuk 15 orang! Biarpun sekamar 15 orang tetapi belum tentu kawan kita peduli dengan kita pada saat sakit. Situasi semacam ini menggembleng saya untuk lebih mandiri, dewasa (tidak emosi, tidak ngambek).”
Ketidaknyamanan situasi keluarga, relasi retak anak dengan orang tua memicu dirinya keluar dari kungkungan yang membelenggunya setiap hari. Dia berifikir bahwa hidup terpisah dengan orang tua, tidak serumah dengan ayah kandungnnya akan menghantarnya pada kehidupan yang lebih baik. Kerinduan semcam itu sama dengan kerinduan karyawan di atas. Satu sisi situasi nyata hidup di Dormitori ternyata tidak lebih baik daripada situasi rumahnya: rekan-rekan sekamar ada yang tidak peduli dengan dirinya saat sakit. Di dormitory seakan tidak ada ruang privatisasi kamar pribadi. Sisi lain situasi semacam itu memaksanya untuk bisa hidup mandiri dan bisa berkontak dengan suku lain.
Dua kesaksian mendahului muncul dari kesadaran dan niat dari dalam buruh itu sendiri, sedangkan kesaksian Lusia di bawah ini berawal dari iseng. Batam, oh tidak pernah kumemimpikan bahkan memikirkannya. Ajakan teman dan sekedar iseng aku mendaftar bekerja. Lamaran iseng ini ternyata ditanggapi serius. Aku diterima di suatu perusahaan dengan masa kontrak 2 tahun. Aku nekat pergi ke Batam dan berharap bisa hidup lebih baik.
Mimpi indahku tersebut direbut sang waktu. Sepulang dari pertemuan mudika Aloysius Gonzaga Muka Kuning kakiku patah tertabrak motor. “Tuhan mengapa Kau memberikan cobaan berat ini? Dimana Sayang-Mu? Aku telah memberikan hati dan pelayanan bagi-Mu, tetapi mengapa Kau buat aku seperti ini?”
Hampir aku bunuh diri karena putus asa dengan keadaanku. Pemberontakanku kepada Tuhan semakin membuat hidupku terpuruk. Kemarahan kepada Tuhan tidak membawa perubahan. Aku mencoba merubah sikap pasrah – terserah kepada Tuhan.
Di tengah kegelisahanku kucoba membaca kitab suci. Hatiku bangkit dari mati setelah sabda Tuhan berbicara padaku ,”Kutahu Tuhan pasti Buka Jalan.” Setelah melalui pengobatan tradisional selama 3 bulan aku mulai bisa berjalan, walau sampai sekarang kondisiku tidak sesempurna seperti semula. Sekarang rasa sakit itu sering datang. Kalau rasa sakit itu datang, aku terdiam dan bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Tuhan?”
Gejolak hati seperti itu kuredam dengan melihat orang cacat di sekitarku. Mereka lebih menderita daripada aku. Inilah yang masih membuatku semangat. Saya yakin ,” Rencana Tuhan WHO KNOWS? Saya meyakini segala musibah yang terjadi pastilah Tuhan memberikan yang terbaik bagi kita. “Maafkan aku Tuhan bila sempat nggak percaya dan marah pada-Mu.”
(Lusia, Batam, 27 Februari 2006) Awalnya Lusi diajak teman-teman. Selanjutnya ajakan itu memancing hati untuk iseng-iseng. Ketika melayangkan lamaran ke perusahaan ia hanya iseng-iseng. Yang semula iseng ini ditanggapi oleh pihak perusahaan sebagai sesuatu yang serius: pihak perusahaan menerimanya sebagai pegawai kontrak. Reaksi serius ini ditanggapi olehnya sebagai sesuatu yang serius. Siapa tahu ini menghantar ke kehidupan yang lebih baik? Kerinduan semacam itu sempat pupus ketika kakinya patah tertabrak motor. Justru di tanah rantau dirinya menjadi cacat.
Tubuhnya tidak lebih baik dari sebelumnya. Pengalaman pahit tersebut menghantarnya pada kedekatannya dengan Allah. Ujarnya ketika diwawancarai oleh penulis,”Mungkin ini bagian dari rencana Allah. Allah tetap baik bagiku dan bagi semua orang.”
Refleksi Atas Kenyataan Hidup Para Buruh
Kesaksian hidup para buruh di atas menjadi pijakan kita untuk bercermin tentang selembar kehidupan nyata sosial. Dalam kehidupan sosial para buruh di lapangan kadang kita bisa menjumpai ketidakadilan, pelecehan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. “Kemiringan” seperti itu seringkali tidak disadari oleh para buruh. Kejadian semacam itu dianggap lumrah dan biasa terjadi.
Kejadian di atas mengingatkan kita akan gagasan Paus Johanes Paulus II,” berbagai problem yang muncul dewasa ini (menyangkut berbagai bentuk ketidakadilan, pelecehan dan diinjak-injaknya hak azasi manusia) terkait erat dengan cara orang memandang manusia, masyarakat dan dunianya. Selain itu, namun lebih mendasar, karena banyak orang salah mengerti tentang kebebasan individu; seo!ah-olah seseorang hanya menjadi bebas bila menolak setiap norma obyektif, tanggungjawab, atau juga menolak untuk mengendalikan nafsu-nafsu liarnya.
William Chang dalam buku The Dignity of Human Person in Pancasila and The Church Social Doctrin: an Ethical Comparative Study mengemukakan, bahwa Paus menekankan arti kebebasan lebih sebagai “menjadi bebas untuk” daripada “menjadi bebas dari.’ Manusia harus menggunakan kebebasannya untuk menyetujui dan memilih apa yang benar dan baik, serta untuk menolak apa yang tidak sesuai dengan kebenaran yang seharusnya, yang berkaitan dengan kodrat dan keutamaan manusia sebagai Citra Allah.
Setiap manusia adalah bebas tetapi tidak dalam arti tidak terikat. Aktualisasi kebebasan individu dalam hidup bersama harus mempertimbangkan dan tetap menghormati kemerdekaan individu lain. Kebebasan individu mempunyai arti radikal dalam dimensi sosialnya, karena manusia adalah makhluk sosial. Para buruh adalah Citra Allah. Mereka bebas untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka bebas untuk meninggalkan kampung halamannya. Mereka bebas untuk meninggalkan orang tuanya. Keputusan untuk apa dan kemana ada di tangan mereka sendiri.
Setelah mereka bergelut dengan pilihannya, tidak jarang jerat-jerat penguasa atau aturan-aturan perusahaan kadang membuat “nafas mereka sesak”. Seakan mereka bebas tetapi mereka serentak “sesak nafas”. Kekuranglegaan bernafas di alam bebas ini kadang dianggap lumrah atau tidak disadari sama sekali oleh kebanyakan orang, khususnya para buruh sendiri. Mereka miskin tetapi mereka merasa tidak miskin. Mereka kadang diperlakukan tidak adil, tetapi mereka merasa itulah keadilan. Mengapa?
Para Borjuis / pemilik modal atau negara si pembuat undang-undang ketenagakerjaan terkadang mensituasikan para buruh untuk mengabaikan kodratnya sebagai Citra Allah dalam pengaktualisasian dirinya? Atau para buruh sudah terkontaminasi dengan paham totalitarisme? Totalitarisme adalah suatu aliran pemikiran yang berakar pada sikap penolakan terhadap keluhuran martabat pribadi manusia sebagai Citra Allah; yang kemudian melahirkan sikap menolak kebenaran obyektif, yang adalah norma bagi setiap manusia untuk mewujudkan jati dirinya dan yang menjamin hubungan harmonis antar manusia, demi terwujudnya kebebasan otentik manusia (bdk. Veritatis Splendor art. 99).
“Jari kelingking saya terpotong mesin ketika saya mengoperasikan mesin. Pihak perusahaan hanya membeayai sebagian beaya pengobatan. Ini sudah nasib sial saya. Ini salah saya, bukan salah pemilik modal.” Kecelakaan yang dialami oleh buruh Saudara Suryo ini bisa kita jumpai di tempat kerja kita. Sikapnya pun juga sering kita dengar. Mereka disituasikan bahwa kecelakaan pada saat kerja adalah salah pekerja. Atau itu dianggapnya nasib sial, yang mau tak mau harus ditanggung oleh orang bersangkutan? Bagaimanakah kalau kepalanya yang terpenggal? Bagaimanakah kalau terjatuh pada saat kerja kemudian mati? Apakah itu juga nasib sial dan pasti salah para buruh dan pihak pemilik modal cuci tangan? Itukan sudah diatur oleh undang-undang atau aturan perusahaan?
Kita mencermati hal lain pengalaman hidup para buruh. “Di muka kuning kontrak kerja saya adalah 2 tahun. Setiap hari saya bekerja dari jam 08.00 wib s/d 20.00 wib. Uang yang saya terima adalah Rp.800.000/sebulan. Beaya makan kadang-kadang Rp. 300.000/bulan. Beaya kost Rp. 300.000/bulan. Beaya transpotasi Rp. 300.000/perbulan. Gaji itu tidak cukup untuk kebutuhan saya sehari-hari. Beaya hidup baru akan cukup kalau lembur setiap hari.”
Sistem seperti ini sudah dibuat oleh pemilik modal. Apakah aturan semacam itu dengan gaji sebesar itu adalah layak untuk hidup sebagai manusia yang adalah citra Allah bagi para buruh hidup di Muka Kuning Batam? Mungkin jawabannya bervariasi di kalangan para buruh. Ada yang menjawab ya. Ada juga yang berani menjawab tidak cukup. Jawaban para buruh atas gaji tersebut ya lumrah. Dalam perbincangan penulis dengan 8 orang buruh di muka kuning tertangggal 26 Februari 2006 jawaban mereka senada.
“Kami harus pandai mengatur diri mengelola keuangan.” Saya berfikir dari kerangka saya sebagai seorang imam, bagaimana mungkin gaji seperti itu mereka bisa membangun rumah tangga? Bagaimana mungkin gaji segitu mereka bisa hidup layak: tempat tinggal nyaman, makan bergizi, sandang yang cukup? Bagaimana mungkin gaji sebesar itu mereka bisa terjamin kesehatannya? Pemilik modal/para borjuis, pencipta undang-undangan ketenagakerjaan, dan para buruh harusnya melandasi setiap tindakannya dalam memperlakukan para buruh pada martabat pribadi manusia.
Martabat pribadi manusia adalah kekayaan atau nilai dan eksistensi manusia yang konkrit dan fundamental dalam diri setiap orang, yang terikat erat dengan Allah sebagai Pencipta dan dalam inter – relasi terhadap pribadi-pribadi yang lain. Keoriginalan martabat ini terwujud dalam eksistensi masing-masing pribadi, sebagai yang dicipta seturut citra Allah. Martabat pribadi merupakan rahmat yang sangat berharga dan mulia, yang dimiliki oleh manusia sejak dalam kandungan ibu. Nilai suatu martabat manusia bersifat absolut; yang dalam praktiknya mempunyai “preferential orientation” bagi mereka yang martabatnya “telah dirusak”.
Paus Paulus VI menegaskan bahwa hidup manusia adalah sesuatu yang suci, yang harus dihormati oleh siapapun. Hidup manusia mencerminkan citra Allah yang hidup. Martabat setiap manusia adalah dasar essensial dan tatanan sosial dan hidup bersama. Kesadaran semacam itu bagus kalau menjadi dasar perjuangan para buruh atau siapapun yang menginginkan dirinya – hidupnya bisa lebih baik dari sebelumnya.
Akan menjadi indah kalau gagasan Paus Paulus VI menjadi landasan para borjuis/pemilik modal dan pemerintah sang pembuat undang-undang ketenagakerjaan dalam mengatur para buruh. Semoga Citra Allah para buruh tidak terkontaminasi dengan situasi yang membelit hidup. (Wisma Keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 545 A Pangkalpinang 33147, jam 03.03 wib, 8 Maret 2006)
Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini yg tidak menginginkan sesuatu yg lebih baik dari sebelumnya……apakah itu karir, kehidupan, jabatan…..pasti ingin perubahan kearah yg lebih baik, yg lebih menjanjikan masa depannya.
Tulisan ini bisa kita jadikan tolok ukur…..bagaimana sikap kita selama ini terhadap karyawan…..manusiawi kah? Terbersit kah dalam ingatan kita bahwa mereka pun adalah ciptaan Allah?…Janganlah kita hanya melihat terus kebawah saja….kita menjadi penguasa/pemimpin yg boleh bertindak se-mena2……tapi cobalah kita dongakkan kepala kita keatas dan sadarlah bahwa ada Allah disana…… marilah kita mulai belajar dengan lingkaran yg terkecil yaitu dalam kehidupan kita sendiri….tidak ada kata terlambat dalam belajar.
Marilah kita berusaha untuk mengendalikan lidah kita, mengatur kata2 yg mau kita sampaikan, berpikir dahulu apa yg akan kita katakan pada sesama.
Marilah kita ingat bahwa Allah sering menggunakan perkataan kita untuk menyampaikan penghiburan dan berkat NYA bagi sesama kita.
Aku yakin apa yg Pastor tulis membuat banyak orang akan mulai mengadakan refleksi diri…….semoga.
Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini yg tidak menginginkan sesuatu yg lebih baik dari sebelumnya……apakah itu karir, kehidupan, jabatan…..pasti ingin perubahan kearah yg lebih baik, yg lebih menjanjikan masa depannya.
Tulisan ini bisa kita jadikan tolok ukur…..bagaimana sikap kita selama ini terhadap karyawan…..manusiawi kah? Terbersit kah dalam ingatan kita bahwa mereka pun adalah ciptaan Allah?…Janganlah kita hanya melihat terus kebawah saja….kita menjadi penguasa/pemimpin yg boleh bertindak se-mena2……tapi cobalah kita dongakkan kepala kita keatas dan sadarlah bahwa ada Allah disana…… marilah kita mulai belajar dengan lingkaran yg terkecil yaitu dalam kehidupan kita sendiri….tidak ada kata terlambat dalam belajar.
Marilah kita berusaha untuk mengendalikan lidah kita, mengatur kata2 yg mau kita sampaikan, berpikir dahulu apa yg akan kita katakan pada sesama.
Marilah kita ingat bahwa Allah sering menggunakan perkataan kita untuk menyampaikan penghiburan dan berkat NYA bagi sesama kita.
Aku yakin apa yg Pastor tulis membuat banyak orang akan mulai mengadakan refleksi diri…….semoga.
Pemikiran Saras dari sudut pandang seorang pengusaha yang mempunyai bawahan. semoga menginspirasikan kepada para pembaca. salam dan doaku
Pemikiran Saras dari sudut pandang seorang pengusaha yang mempunyai bawahan. semoga menginspirasikan kepada para pembaca. salam dan doaku
Salam kenal…
kapan2 mampir di blog yachh
Salam kenal…
kapan2 mampir di blog yachh
salam kenal juga Ady. Saya akan memapir ke blogmu. terimakasih
salam kenal juga Ady. Saya akan memapir ke blogmu. terimakasih