Menunggang Ombak

 

Wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0. 54 A Pangkalpinang 33147

 

Pengantar

Saya bertugas menjadi staf redaksi Tabloit Berkat, tabloit milik keuskupan Pangkalpinang sejak 2004. Tugas sehari-hari adalah membantu mengelola Tabloit Berkat. Pada jam kerja setiap hari berada di kantor. Di luar jam kerja banyak orang meminta tolong untuk aneka keperluan seperti mencari sumber mata air, mengecek kesehatan, menengok orang sakit di rumah sakit atau di rumah umat, membantu melayani ekaristi ketika pastor paroki di wilayah Bangka Belitung  meminta bantuan, dan lain-lain.  Pastor Calvin, pasto koasi Ujung Beting meminta bantuan kepada saya untuk mencarikan sumber mata air di stasi-sati. Hampir setiap stasi berada di tempat terpisah berjauhan satu sama lain di pulau-pulau di wilayah kepuluan Lingga. Berikut ini cerita pengalaman penulis selama melanglang buana di kepuluan Lingga.  

Pulau Tanjung Pinang – Pulau Pancur

Saya berangkat bersama pastor Marcel Gabriel, pastor Yance dan Piter Padiservus dan Bapak Agung dari pelantar II Tanjung Pinang. Rombongan naik kapal Ferry KM Indo Arena 88 pukul 10.45 wib menuju ke pulau Pancur kepulauan Lingga 23 Mei 2005.  Pastor Calvin menyambut kehadiran kami pukul 15.25 wib.

 Kami meninjau tanah dan rumah sederhana milik gereja di Pancur 100 meter dari tempat kami makan. Rumah tersebut terbuat dari papan kayu dan digunakan oleh bapak Petrus untuk mengajar bahasa Inggris siswa-siswi SD dan SLTP. Kondisi ruang belajar terdapat 10 bangku dan 10 meja kecil. Di sinilah Mgr Hilarius mempunyai mimpi mendirikan pelayanan kesehatan Baktiwara untuk orang-orang miskin, mendirikan sekolah, asrama, gereja bahkan pastoran.  

Kami meninggalkan pulau Pancur pukul 16.45 wib dengan pompong. Perjalanan ditempuh selama 1jam 45 menit. Pukul 18.00 wib seluruh umat menyambut kehadiran kami. Kehadiran imam bagi penghuni pulau diibaratkan pembesar.  Orang sederhana melihat di balik penampilan. Penampilan yang terlihat memanglah manusia biasa. Di balik yang terlihat ada pembawa berkat bagi umat berkat tahbisan imam. Sosok manusia biasa tetapi dia menghadirkan Uskup.   Umat sederhana pun mempercayai juga bahwa imam pun bisa membantu mencarikan dan mengusahakan air bersih untuk mereka.

Renungan pastor Calvin menginspirasikan pencarian sumber mata air bersama umat pukul 09.00 wib tertanggal 24 Mei 2005. “Barang siapa ingin menjadi yang terkemuka, hendaklah menjadi pelayan sekalian orang. Barangsiapa mengandalkan kekuatan Allah, maka ia akan mengalami keselamatan” (Markus 9:30-37).  

Air sering dilambangkan dengan kehidupan. Allah pun dalam Yohanes 6 melambangkan diri-Nya dengan Air Hidup. Manusia tidak bisa hidup tanpa air. Manusia tidak bisa hidup tanpa Allah. Hidup manusia  adalah anugerah Allah. Adalah keharusan bagi orang beriman bahwa dalam hidup harus mengandalkan Allah.  Karena Air adalah sumber kehidupan, maka dalam pencarian sumber mata air saya meminta kepada Allah , pencipta bumi dan segala seisinya. Ranting, pendulum, besi dan alat lain hanya sebuah alat. Yang utama dalam pencarian sumber mata air adalah komunikasi kita dengan Allah.

 Komunikasi dengan Allah menghantar saya memasuki keheningan – ketenangan lahir dan batin. Ketenangan lahir – batin merupakan kunci utama menangkap gelombang listrik yang dipancarkan oleh gerak sumber mata air bawah tanah.

 Meninggalkan Pulau Ujung Beting Menuju ke Pulau Pancur

Pukul 06.45 wib pompong kami meluncur meninggalkan pulau Ujung Beting menuju ke Pulau Pancur di bawah gerimis hujan. Air dari langit memberi kehidupan kepada semua maklhuk hidup, yang baik maupun yang jahat. Dingin pagi dan gerimis membuat kami tidak banyak berbincang di sepanjang perjalanan. Kesunyian lautan dengan di pemandangan gunung Daek bercabang tiga memukau hati kami.  

Pemikiran pastor Marcel Gabriel, bekerja di Komisi Bidang Pendidikan  keuskupan Pangkalpinang menjadi buah pemikiranku. “Setiap manusia mempunyai tujuan. Apa tujuan kalian datang ke pulau Ujung Beting? Apa harapan, cita-cita, impian dalam benak anda ketika anda meninggalkan kampung halaman anda? Apakah setelah sekian lama anda berada di tempat ini tujuan anda sudah tercapai? Bagaimanakah anda mencapai tujuan tersebut?”  

Semua manusia harus mempunyai tujuan. Tujuan tersebut harus diperjuangkan. Dalam perjalanan waktu kita harus berani mengevaluasi perjalanan hidup kita. Sudahkah langkah hidupku menuju ke arah yang jelas atau justru keluar dari relnya? Apakah tujuanku datang ke pulau Ujung Beting? Betulkah ada kerinduan menolong mencarikan sumber mata air atau mau refresing?  

Sementara kami asyik merenung (asyik bergulat dengan diri sendiri) dalam keheningan lautan luas, rantai mesin pompong kami putus. Beberapa menit kami terkatung-katung di laut. Situasi seperti ini mendebarkan bagiku karena aku tidak bisa berenang. Dalam ketakutan saya menengadah ke langit dan berdoa. ”Beginikah upah menolong orang?”  

Sembilan menit setelah saya berdoa dan terkatung-katung di atas sampan, ada kapal nelayan melewati kami. Kami berteriak minta tolong kepadanya. Segera nelayan tersebut datang menolong kami. Padahal nelayan tersebut tidak mengenal kami. Padahal sukunya berbeda dengan kami. Padahal agamanya pun berbeda dengan kami.

Dia mau menolong kami tanpa melihat perbedaan yang ada di antara kami. Yang dilihatnya adalah manusia yang membutuhkan pertolongan dan dia bisa menolong.  Dia menarik pompong kami dengan pompong miliknya. Perjalanannya menjadi lebih lambat dari biasanya, tetapi dia tetap bersukacita. Dia sungguh bijaksana. Bisakah kita yang berpendidikan dan berdomisili di kota mempunyai sikap bijak seperti itu?

Bisakah kita menolong orang tanpa pamrih? Bisakah kita menolong orang karena dia memang membutuhkan pertolongan? Bisakah kita menolong bukan didasarrkan atas suka dan tidak suka, tetapi digerakkan oleh prinsip moral – spiritual? 

Pulau Pancur Melaju ke Pulau Air Batu

Setelah kami kenyang menyantap 1 nasi, 1 gelas kopi, kami berpindah ke speed boat. Kami berangkat dari Pulau Pancur pukul 09.00 menuju ke pulau Air Batu di kepulauan Lingga.

Di tengah gelombang dan laju spead, saya sangat khawatir sekali dengan harta benda dan nyawa. “Bagaimanakah kalau HP 6630, Jam tangan, Digital baru, uang 2 juta, beberapa surat penting terkena air? Pastilah rusak.”  

Status imam sudah melekat. Kelekatan duniawi dan nyawa masih kental. Padahal selaku imam harus berani lepas bebas terhadap segalanya: harta, wanita, kedudukan. Keterikatan hanya membelenggu dan membuat pikiran menderita. Sikap lekat terhadap diri sendiri dan barang menghalangi langkah seorang imam mencapai tujuan. 

 Speed boat kami terguncang hebat oleh arus deras di sebuah selat Potot Kepulauan Lingga. Spead hampir saja terbalik oleh putaran air. Seluruh penumpang pucat terkejut. Wajahku puca pasi. “Saya takut mati, Tuhan!” Ketakutan akan kematian mulai mereda setelah kapal bisa dikendalikan dengan baik.  

 Keramahan Bapak Herman di Pulau Air Batu mencairkan ketegangan kami. Beliau pun juga sungguh santun dan sangat menghormati kehadiran imam. Beliau meyakini bahwa pelayanannya tersebut berkenan di hati Allah. 

 Pulau Air Batu Meluncur Pulau Manik

Setelah kami cukup beristirahat dan makan kenyang di rumah Bapak Herman, kami melanjutkan perjalanan dari Pulau Air Batu ke Pulau Manik dengan pompong bapak Herman. Rantai pompong putus di tengah perjalanan.

Kami terkatung-katung di laut. Kami mencoba bekerjasama mendayung pompong mendekati pulau manik dengan kayu. “Saya takut mati. kalau saya mati maka jasat saya kemana? Kalau tubuh saya hilang tenggelam, saya pulang tinggal nama” 

 Ada bagian yang takut mati. Ada bagian lain sudah siap dengan kehidupan baru. Bagian yang sudah siap dengan kematian berujar kepada bagian yang takut kematian,”Hidup dan mati adalah milik Kristus. Selamanya hidup kita milik kristus. Tidak akan ada yang mampu memisahkan cinta kita dengan Cinta Kristus. Cinta itulah yang membuat hidup selamanya.”

 Hidup harus berdamai dengan diri sendiri. Hidup memang milik Tuhan. Biarlah diatur oleh Tuhan.  Dua penduduk Pulau Manik mendengar teriakan kami. Mereka segera menolong dengan sampan mereka.

Pemikiran pastor Calvin mengacu dari Matius 25:14-15; 19-27.30 meneguhkan kami. “kita harus bekerja dengan  giat. Kita kembangkan talenta, anugerah Tuhan untuk pelayanan dan kemuliaan Tuhan.” Pencarian sumber mata air adalah pelayanan untuk umat. Kita harus  melayani dengan segala konsekwensi demi kemuliaan Tuhan.  

Pulau Air Manik Pulang Menuju Pulau Senayang

Setelah kami selesai ramah tamah dan membantu penduduk pulau mencarikan sumber mata air, kami meninggalkan pulau manik menuju ke pulau Senayang dengan pompong milik bapak Herman. Di atas pompong saya sudah berfikir negatif, « kalau naik pompong milik bapak Herman, pengalaman kemarin bisa terulang kembali. » Pikiran tersebut baru 10 menit berhenti, rantai pompong putus di selat potot kepulauan Lingga (tempat yang sama dengan hari sebelumnya).

Pikiran negatif menjadi kenyataan. Apakah itu kebetulan atau kemampuan rantai pompong sudah buruk ?  25 menit kami terkatung-katung di laut lepas. Tidak ada lagi perasaan takut mati. Yang ada adalah kecemasan jadwal kapal dari pulau senayang ke tanjung Pinang.

Pikiran distel ulang. Segera saya berfikir bahwa rantai segera bisa diperbaiki dan pompong bisa tiba tepat pada waktnya. Pikiran positif dan imaginasi menjadi kenyataan. Mas Agung berhasil menyambung rantai putus dengan perlengkapan ala kadarnya. Sebagai seorang beriman saya melihat bahwa ini juga pertolongan Tuhan. Pukul 07.50 wib kami sudah berada di dalam kapal ferry KM Indo Arena 88 jurusan Senayang Tj Pinang.  

Penutup

Mimpiku membantu mencarikan sumber mata air sudah terwujud. Proses pencapaian tujuan membawa pada pengalaman ke pengalaman indah. Pengalaman tersebut mendidik diri agar semakin bijaksana. Saya berharap para pembaca juga peka terhadap sapaan Allah melalui perristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali Allah bisa berbicara melalui peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Kalau hati kita terbuka dengan sapaan Allah, maka kita mendapat pelajaran indah. Pelajaran-pelajaran dari pengalaman ini menghantar kita semakin lebih dewasa.

 

Read 0 comments

  1. Bencana datang silih berganti, tanpa melihat golongan, suku, agama dan Ras ; kaya atau miskin kejadian yang masih hangat dibicarakan sekarang adalah jebolnya bendungan Situ Gintung memakan banyak korban. Berdasarkan pengalaman-pengalaman bencana yang terjadi akhir-akhir ini adalah teguran dari “alam” yang merasa “diperkosa” dirusak, dieksploitasi dengan semena-mena tanpa ada pemeliharaan. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh belahan bumi. Pemanasan global yang terjadi apakah sudah terbayangkan bencana yang akan terjadi bila salju di kutub mencair???? Masih belum sadarkah manusia merusak alam indah yang Sang Pencipta titipkan kepada kita?????

Tinggalkan Balasan