selasa, 23 Oktober 2012
Aku berangkat dari rumah pukul 1450 wib menuju ke rumah Bayur di Batu Tabar pangkul bangka. Di samping pemancingan desa Air Mesu saya bertemu dengannya yang sedang mengayuh sepeda tua. Saya menghentikan motor supra vit di depannya dengan jarak 100 meter sehingga dari jauh Bayur melihat keberadaanku.
Tepat sekali dugaanku, dia menyapaku ketika ia melewati sampingku. Oh, orang tua mengerti tata krama walau dengan orang yang tidak dikenalnya. Melihat bayur begitu sopan, kita pun juga bersikap sopan terhadapnya, walau baju yang dikenakan kumal/jelek dan dia hanya mengenakan sepeda tua.
Melihat tubuh bayur sangat tua, maka saya menawarinya,”Marilah, pastor antar anda ke rumah anda!”
Dia menjawab dengan sangat tegas dan lantang,”dak!”
Kembali ia mengayuh seda, dan saya mengikutinya dari belakangnya. Laju motor menyamakan kecepatan laju sepeda, berkisar 10-15km/jam. Dengan kecepatan tersebut bayur mampu sampai ke rumah yang berjarak 20 km dalam waktu relatif cepat.
Ketika tiba di rumah Bayur, air dari langit turun. Bayur langsung berteduh di bawah atas seng tebal dengan ketinggian 2,5m dan luas ruangan 4x4m. Saya pun mendekat rumah Bayur, permisi berteduh di rumahnya, yang seperti kandang kambing.
Di atas panggung dengan kayu papan yang dipaku seadanya, saya bercakap-cakap dengannya. “Tuhan ada di diri kita masing-masing. Berdoalah sendiri kepada-Nya. Di sini atau dimanapun. Ketika anda berada di laut, Tuhan ada di laut. Ketika anda di darah, Tuhan ada di darat. Ketika anda di dalam hutan, Tuhan ada di dalam hutan. Ketika anda menaiki motor, Tuhan ada menyertai anda. Ketika anda di bawah, Tuhan ada di bawah. Ketika anda di atas Tuhan pun juga berada di atas, ketika anda di tengah, Tuhan pun berada di tengah. Ketika anda berada di belakang, Tuhan pun ada juga di belakang. Dimanapun anda berada berdoalah kepada Tuhan selalu!”
Sekalipun dia berumur +/-60 tahun, ia masih mampu mengarungi samudera dengan perahu karya jari tangan-Nya. Dia memiliki kekuatan hidup karena iman-Nya bahwa Tuhan selalu menyertainya dimanapun dia berada.
Lebih lanjut bayur menjelaskan pandangannya di tengah hutan belantara,”Tuhan itu tidak bisa dilihat dengan mata kita. Tuhan tidak bisa didengarkan dengan telinga kita. Tuhan tidak bisa kita sentuh dengan tangan kita. Tuhan tidak bisa kita kecap dengan lidah kita. Tuhan tidak bisa kita cium bau tubuh-Nya. Namun Tuhan sungguh ada dekat bersama dengan kita.”
Dalam kesempatan yang lain, saya hendak mengunjungi Bayur lagi. Jauh dari Rumah Bayur, saya sudah bertemu dengannya. Bayur berada di tempat yang baru. Atap nya adalah langit. Alasnya adalah bumi. Selimutnya adalah udara. Jauh lebih indah daripada gubuk nya di Batu Tabar, yang tanpa dinding.
“Tuhan memandang kita dari atas. Kita memandang Tuhan dari debu tanah kepada Tuhan yang berada di atas. Tuhan memandang kita, kita memandang Tuhan.”