Menilik Bencana

wisma keuskupan Jalan Batu Kaldera XXI N0 545 A Pangkalpinang 33147

 

 Duluan Aceh tertimpa bencana alam, akibat gempa bumi yang memicu terjadinya tjunami. Penduduk kota Aceh banyak memeluk agama Islam.  Bahkan di sana diberlakukan syariat Islam. Aturan itu misalkan, para penduduk Aceh diwajibkan untuk mengikuti kaidah-kaidah Islam seperti memakai jilbab bagi wanita, memakai peci bagi para lelaki. Banyak orang muslim di Aceh hari Jumaat diharuskan beribadah. Peraturan itu sebagai pertanda bahwa mereka berjuang menghidupi alquran dan hidup baik berdasarkan ajaran-Nya. 

 Beberapa fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa mereka  sudah dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang dengan Tuhan seharusnya membuat orang semakin menemukan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Ada keyakinan umum bahwa Tuhan yang disembahnya akan melindungi para penyembahnya – hambanya / umat-Nya –  dimanapun mereka berada dan dalam segala situasi.  

Menjadi bahan permenungan bagi kita, betulkah keyakinan semacam itu masih bisa dipertahankan? Kalau Tuhan melindungi semua umat muslim yang taat pada rukun islam tetapi mengapa bencana besar menimpa Aceh? Apa dibalik kejadian besar itu? Apakah itu hanya peristiwa alam, dan tidak ada kaitannya dengan rencana Tuhan? Mungkinkah di balik kejadian menggegerkan itu Tuhan mau berbicara kepada bangsa Aceh?

Kalau kejadian itu dilihat sebagai hukuman/bencana, maka argumen di atas runtuh.  Menjadi sulit dinalar ketika orang mengkaitkan peristiwa itu dengan “hari baik” orang katolik. Hari baik sengaja diberi tanda kutip. Di mata Tuhan nya orang Kristen semua hari adalah baik. Yang dimaksud “hari baik” oleh penulis adalah hari istimewa dimana orang katolik merayakan Natal.  Natal adalah Hari Raya Yesus terlahir ke dunia – Allah menjelma menjadi manusia. Di daerah-daerah terpencil Natal sangat mungkin baru bisa dilaksanakan tanggal 26 Desember atau 27 Desember.  

Pada saat orang Kristen merayakan kelahiran kristus di hari yang baik, orang Kristen mengalami kegembiraan Natal. Di situ Kristus hadir menyapa dan peduli dengan manusia. Luapan kegembiraan dirayakan gegap gempita. Beraneka bentuk ungkapan kegembiraan umat Kristen merayakan Natal bisa menghabiskan uang bermilyaran rupiah. Saat-saat orang Kristen bergembira ria, menghambur-hamburkan uang demi sebuah perayaan di berbagai penjuru Nusantara dan bahkan dunia, di sisi lain pada hari yang bersamaan, banyak penduduk kota Aceh yang taat kepada ajaran-Nya dilanda bencana Tjunami.

Agama Kristen bergembira pada hari raya Natal, Agama muslim tertimpa bencana gempa bumi yang memicu tjunami. Agama yang satu sedang mencecap kegembiraan, agama yang lain mencecap kepahitan hidup, bencana Alam. Menjadi sangat tidak logis manakala muncul SMS,” bencana Alam Tjunami yang menimpa Aceh tepat 26 Desember 2005 di hari Natal. Kejadian itu bukanlah kebetulan hari Natal. Semua kejadian sudah direncanakan oleh Tuhan. Tuhan mau menegur orang berdosa.”  

Di balik pemikiran seperti itu bisa membingungkan orang. Orang bisa membuat suatu penghakiman atas orang lain. Hari raya orang kristen membahagiakan dan paling benar, sedangkan orang lain keliru. Manakala ego orang muncul mungkin bisa berfikir begini, kami orang saleh dan benar, sedangkan orang lain lah yang keliru dan mungkin berdosa. 

Mari kita menyimak di sudut lain dari belahan bumi Indonesia. Di pojok-pojok Nias Sumatera Utara juga mengalami hal serupa. Bencana alam akibat gempa dan riak gelombang laut memporak-porandakan banyak bangunan beton. Banyak orang mati mengenaskan akibat bencana itu. Menurut data statistik penduduk Nias banyak yang memeluk agama kristen.

Nah, bisakah pemikiran di atas sekarang dikenakan untuk orang-orang ini dan kejadian ini? Orang Nias yang banyak memeluk agama kristen menderita akibat gempa bumi, sedangkan orang-orang muslim di belahan padang bahagia merayakan kehidupan mereka? Apakah orang-orang Nias yang menderita adalah orang-orang yang sedang ditegur Allah? Apakah teguran itu mengingatkan kepada mereka bahwa keyakinan mereka atau tindakan mereka salah?  

Menjadi tidak masuk di akal lagi, manakala kejadian itu masih dikaitkan dengan hari baik. Kejadian tragis itu terjadi setelah Paskah: Tuhan bangkit. Kebangkitan Tuhan mengapa justru membawa kesengsaraan bagi orang-orang kristen? apakah Allah orang Kristen memakai hari orang Kristen untuk menegur orang Kristen?

Apakah hari baik orang Jawa menjadi pertanda hari buruk bagi orang Kristen? Apakah agama Jawa lebih baik dari agama Kristen? Apakah Allahnya orang jawa sedang menegur Allahnya orang Kristen?  Jogja menangis terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Gempa bumi berpusat di pantai selatan pulau Jawa. Gempa tersebut menghancurkan banyak bangunan tembok-tembok kokoh kota Jogjakarta. Hampir 6.000 nyawa orang jawa melayang akibat gempa. Beribu-ribu orang meringis menderita tertimpa bebatuan. Kelaparan mengintip para korban bencana dari hari ke hari.  Nasib masa depan penduduk jogja suram.  

Bagi orang Jawa hari itu adalah hari sial. Sebaliknya bagi orang katolik hari itu adalah “hari baik”. Penulis mengatakan baik karena hari bencana alam ini bertepatan dengan hari kenaikan Yesus ke surga. Orang katolik bersorak gembira merayakan kenaikan Tuhan. Kenaikan Tuhan bertepatan dengan gempa bumi di Jogja. Orang-orang Katolik berbahagia merayakan kenaikan Tuhan, orang Jawa menangis tertimpa bencana Alam. Hari itu baik untuk orang katolik, tetapi bencana bagi para korban gempa bumi. Apakah lalu kita berani menarik kesimpulan bahwa orang katolik paling benar sedangkan orang Jawa dan beragama Jawa adalah sesat dengan bukti-bukti tersebut? Apakah pola pemikiran bangsa Yahudi pada jaman perjanjian lama menjadi patokan di sini: siapa yang menderita berarti berdosa, sedangkan yang bahagia adalah orang yang benar, saleh dan terberkati? 

Dosa dan suci adalah urusan Tuhan. Patokan dosa atau tidak itu khan bisa  tergantung dari persepsi orang. Bagi mereka benar, tetapi bagi kami salah. Bagi kami benar, bagi orang lain salah. Bagi kami salah, bagi mereka adalah benar. Satu sisi orang bisa menganggap paling benar dan menyalahkan orang lain, atau sebaliknya. Padahal sangat mungkin sekali salah atau benar ditentukan oleh latarbelakang tiap orang. Keyakinan yang berbeda bisa menyebabkan hasil penilaian dari satu peristiwa berbeda. Orang yang berbeda kebudayaan bisa menghasilkan perbedaan dalam memandang satu masalah. Perbedaan pendidikan  orang pun akan mempunyai perbedaan hasil di akhir penilaian kalau memandang satu masalah.  

Masihkah kita bisa mempertahankan argumentasi-argumentasi yang berkembang bahwa itu adalah teguran untuk agama tertentu? Lantas mungkinkah tejadi kekeliruan pemikiran: pastilah agama itu keliru dan agamaku paling benar dan paling super? 

Perlu sangat hati-hati untuk menjadikan sebuah bencana sebagai pijakan menilaian dan bahkan menghakimi agama lain. Dari data-data yang ada, yang bisa pasti dicatat adalah bahwa ada bencana alam berturut-turut menimpa bangsa Indonesia. Bencana Aceh, bencana Nias, bencana Jogja, dan bencana alam lain datang silih berganti.

Bencana alam itu menimpa semua manusia. Dia tidak memandang agama, suku, ras, golongan, kaya miskin.  Mungkin 4 tahun ke depan Merapi di Jogjakarta akan meletus dahsyat. Letusan itu akan memakan korban lebih banyak lagi dan akan lebih memporak-porandakan banyak bangunan di Jogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan 28 tahun ke depan Krakatau di Jawa Barat akan meledak dahsyat. Ledakan itu pasti akan memakan korban jiwa penduduk Jakarta dan sekitarnya.

Banjir, tanah longsor, gempa bumi, tjunami, dan bencana alam lain masih mengintip – menunggu kita. Lebih bijak kalau bencana silih berganti yang sudah terjadi dan akan terjadi dijadikan oleh semua manusia sebagai bahan bermenung: hidup dan mati di tangan Allah; kapan kita hidup dan kapan kita mati ditentukan oleh Allah.

 Permenungan sederhana ini semoga menghantar orang untuk semakin dekat dengan Allah, mencintai sesama yang menderita dan tidak mudah menghakimi keyakinan orang lain. Bencana semoga juga membuat kita sadar bahwa penghargaan kita atas orang lain berdasar pada kemanusiaan; bukan pada agamanya atau sukunya. Dengan begitu kita lebih bisa menghargai agama / kepercayaan orang lain dan suku lain. Mari kita sama-sama berjuang agar kita semakin hari semakin menyerupai Allah.

 

Read 0 comments

  1. Bencana datang silih berganti, tanpa melihat golongan, suku, agama dan Ras ; kaya atau miskin kejadian yang masih hangat dibicarakan sekarang adalah jebolnya bendungan Situ Gintung memakan banyak korban. Berdasarkan pengalaman-pengalaman bencana yang terjadi akhir-akhir ini adalah teguran dari “alam” yang merasa “diperkosa” dirusak, dieksploitasi dengan semena-mena tanpa ada pemeliharaan. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh belahan bumi. Pemanasan global yang terjadi apakah sudah terbayangkan bencana yang akan terjadi bila salju di kutub mencair???? Masih belum sadarkah manusia merusak alam indah yang Sang Pencipta titipkan kepada kita?????

Tinggalkan Balasan