Pertapaan yung fo, 19 Februari 2010
Burung prenjak, ciblek, penthet, kacer, dan segala jenis burung dipelihara dalam sangkar oleh ace. Setiap hari burung-burung diberi makan, dimandikan dan sekali waktu olah raga di kandang besar. Kalau burung sudah dipelihara 3 bulan, maka dia mulai jinak dengan tuannya dan kerasan tinggal di sangkarnya. Sekalipun burung-burung itu dilepas ke alam bebas, dia akan kembali pulang kesangkarnya dan sebagian mengajak teman-temannya.
Berdasarkan pengalaman tersebut ace berpendapat bahwa istilah hidup bagai burung di dalam sangkar adalah siksaan tidak tepat lagi untuk jaman sekarang. Karena justru di alam bebas dia sulit mencari makan, dikejar-kejar manusia untuk ditembak/dibinasakan, dan masih terancam dengan burung-burung besar. Burung di dalam sangkar makannya terjamin, mandi setiap hari, olah raga setiap hari, manusia merawat penuh kasih sayang, dan sekali waktu dilepas di alam bebas. Dia lebih bahagia daripada di alam bebas.
Pengalaman si ace mengingatkan kisah tentang seorang pendeta yang melepaskan binatang yang terikat. Ketika jerat binatang tersebut sudah terlepas, binatang tersebut tetap berputar-putar di tempat ikatannya. Apa yang menjadikan binatang tersebut tetap berputar di tempat semula padahal ikatan sudah terlepas? Secara fisik ikatan sudah terlepas tetapi secara mental apakah juga terlepas atau kebiasaan baru binatang itu?
Saya jadi ingat ketika training NLP dengan pak wiwoho. Menurutnya kita bisa membentuk kebiasaan baru dengan melakukan tindakan tetap selama 2 bulan. Jika burung-burung liar dipelihara penuh kasih sayang maka dia memiliki kebiasaan baru, yakni tinggal berdamai dengan manusia di sangkar buatan manusia. Jika binatang yang dilepaskan si biksu sudah berputar-putar selama 2bulan maka dia sudah memiliki kebiasaan berputar-putar di tempat yang sama sekalipun tali terlepas.
Jadi teringat ketika saya kagum melihat kicau burung murai batu si ace menyela,” ketika burung liar tersebut kita diamkan di dalam sangkar, dia gak betah dan tidak mau berkicau. Ketika kita menelantarkan burung itu, dia tidak kerasan tinggal di dalam sangkar. Ketika kita tidak memiliki hati kasih terhadap burung liar di dalam sangkar itu, dia akan terbang tinggi ke alam bebas ketika kita melepaskannya.”
Oh, saya terperanjat dengan perspektif dari si ace. Sikap kasih sayang si pemilik terhadap burung sungguh menjadi kunci kebahagiaan burung di dalam sangkar. Kasih manusia terhadap binatang liar menjinakkan burung-burung liar dan membahagiakannya. Sedangkan sikap benci / cuek / acuh tak acuh terhadap burung liar melahirkan penderitaan burung liar di dalam sangkar.
Lha wong burung liar saja menangkap getar-getar kasih manusia, apalagi manusia. Berarti apakah kasih sayang kita terhadap sesama juga bisa membahagiakan mereka? Apakah kebencian / cuek / acuh tak acuh terhadap sesama justru melukai perasaan sesama?
Sikap kasih ace terhadap burung liar menginspirasi hidup kita. Semoga kita menebarkan kasih terhadap segala makluk hidup jinak atau liar agar semua maklhuk hidup berdampingan dalam damai.
Terimakasih ace. Selamat menyayangi binatang.
Apapun& siapapun klau di perlakukan dgn kasih sayang akan tetap betah wlaupun di dalam sangkar.berbahagialah orng2yg hatinya punya kasih.
Iy sangat bahagia ketika ada kasih di hati dan kasih adalah rahmat Tuhan