Ambil dan Letakkanlah!

Puri sadana, 20 Juli 2009

Di kamar hotel parai sungailiat Bangka jam 15wib tanggal 12 Juli 2009 hari minggu saya menerapi seorang kakek (asuk. Di awal percakapan dia berujar di hadapan saya dan isterinya (aji), “Kita perlu mengalah dan ngemong terhadap anak dan menantu. Sikap keras justru melukai perasaan, sedangkan belaskasih melembutkan hati keras. Sekalipun dia tak mau menelpon kami, saya berinisiatif untuk menghubunginya. Bagaimanapun mereka adalah anak dan menantu. saya sangat sayang kepada mereka dan mereka sangat sayang kepada saya. Mereka mau menawari saya pergi ke Yerusalem, tetapi isteri tidak ditawari. Maka saya menolaknya. Kalau mereka mau mengajak saya ke Yerusalem, maka mereka harus mengajak kami berdua. Sungguh saya sangat sayang anak dan menantu, tetapi isteri saya belum bisa mencintai menantu. Dia masih keras. Kepala saya pusing!”

“Sikap bijaksana, mengasihi anak dan menantu dengan tulus. Kasih justru mengubah hati orang. Aji (istri kakek) hendaknya belajar bersikap kasih seperti kakek. Kakek pusing? Letaknya dimana rasa pusing itu?”

Si kakek menunjuk di bagian kepala depan, “di sini!”

“Bagus suk (sebutan untuk kakek). Coba ambil dan letakkan rasa sakit itu di atas tanah suk!”

Tangan kanan asuk itu bergerak. Dia seolah mengambil sesuatu di atas kepalanya. Dia genggam sesuatu itu. Dia letakkan sesuatu itu. begitu tangan asuk itu melepasnya , bersamaan dengan itu saya berkata,”beban asuk sudah berada di atas tanah. Asuk kini (sekarang) sudah ringan enteng plong dan tabah menghadapi persoalan!”

“Betul pastor! Kepala saya ringan enteng. Beban berat hilang. Lega rasanya. Sinmong toto (Terimakasih).

“Aji sudah sering pergi ke luar negeri, sedangkan asuk jarang pergi ke luar negeri. Tawaran anak dan menantu merupakan bentuk sayang mereka. Namun bilamana asuk menghendaki agar mereka membeayai kalian berdua, saya pikir cukup besar beayanya. Apakah tidak kasihan dengan mereka?”

“Kebahagiaan saya justru berada di Bangka. Sekali waktu saya menikmati hari tua dengan mengendarai mobil menuju ke pantai. Saya kurang tertarik pergi keluar negeri. Sekiranya anak dan menantu menawari dan saya mau, itu karena rasa sayang kasih terhadap mereka. Sekalipun kita tidak suka, kita bisa buat untuk mereka.”

“Menarik sekali! Orang lain befikir bahwa aji sering pergi ke luar negeri sedang asuk jaga toko untuk mencari uang sebagai bentuk ketidakadilan. Di pemikiran asuk, justru asuk bahagia tinggal di bangka dan bahagia bisa mencari uang untuk isteri jalan-jalan ke luar negeri. Ukuran kebahagiaan aji tidak bisa ditakarkan untuk asuk.”

“Tolong bimbing asuk agar bisa berdamai dengan menantu, pastor!”

“Kunci perubahan hidup berada di hati aji. Kelak (nanti) pastor bantu aji untuk berdamai dengan menantumu. Kini (sekarang) kepala asuk bagaimana?”

“Saya sudah sehat. Sinmong toto sinfu (guru).”

“Terkadang kita menilai pikiran menantu dan anak atau orang lain dari pemikiran kita. Padahal itu terkadan kurang sesuai dengan persepsi mereka. Kita perlu belajar memahami dunia mereka agar kita bisa hidup berdamai.”

“Isteri sering memaksa dan menuntut anak dan menantu untuk melayani, menelpon, meminta maaf, memberi terlebih dahulu. Ini yang sering menjadi persoalan. Perlu belajar bersikap seperti sinfu. Sinmong wo!”

“Auk lah (iya lah)”

Read 9 comments

  1. Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. (Amsal 15:13).

    Namun orang benar bersukacita; mereka bersoraksorai di hadapan Elohim; dan mereka bersukaria dengan kegembiraan. (Mazmur 68:4).

    Kebahagiaan sukar dipahami dalam kehidupan nyata manusia. Karena kebahagiaan adalah sebuah emosi – sama halnya seperti kesedihan dan amarah, kebahagiaan datang dan pergi bersama berbagai situasi. Asuk bahagia bila beliau dapat memberikan yang terbaik bagi anaknya, meskipun itu kadang kala tidak beliau sukai. Asuk bahagia bila Aji dapat menerima anak dan menantu dengan baik dan tidak terlalu menuntut mereka. Kebahagiaan adalah hasil suatu keberhasilan. Kebahagian sejati adalah sukacita batin yang dalam, yang merupakan hasil dari hidup dalam hubungan yang benar dengan Tuhan, bukan karena semarak kesuksesan. Sukacita tidak didasari situasi. Lupakan pengejaran kebahagiaan dan terimalah sukacita. Itu tidak akan meninggalkan kita, bahkan di hari-hari yang paling kelam. Maka bersuka citalah. Asuk harus bersukacita dengan apa yang telah ada sekarang ini, anak-anak sudah besar, berkeluarga, sukses dan berhasil. Segala sesuatu mudah untuk diperoleh, sementara di luar sana banyak orang yang bahagia dan bersuka cita namun masih banyak kekurangan jika dibandingkan Asuk. Dalam kehidupan, tidak mungkin kita memperoleh 100% apa yang kita inginkan dan harapkan. Nrimo adalah salah satu bentuk suka cita. Aji harus bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan seorang menantu, karena tidak ada orang yang 100% sesuai dengan kehendak kita. Mertua dan menantu harus saling bisa saling menerima, itu adalah kunci sukses dalam berhubungan. Seperti kata Pastor, kita harus belajar memahami dunia orang lain agar kita bisa hidup berdamai. Terima kasih Pastor atas pencerahannya. Memang banyak hubungan mertua dan menantu yang kurang harmonis, karena banyaknya perbedaan di antara mereka. Tulisan ini tentunya akan membuka lebar mata mertua dan menantu, untuk bisa saling menerima dan memahami.

  2. hub krg harmonis krn perbedaan budaya & kebiasaan, apalagi ditambah perbedaan generasi. tidak selalu antar mertua-menantu. bisa antar keluarga yg lain, rekan sekantor, dll dll. tp knp yg byk diekspos hub mertua & menantu? hehehe…

    solusi yg paling gampang: jaga jarak, tdk perlu terlalu dekat, sewajarnya & seperlunya aja. makin dekat berarti makin besar kemungkinan kurang harmonis.

  3. Hubungan yang kurang harmonis…juga bisa bahkan dominan disebabkan oleh harta….kekayaan….jabatan…dan sejenisnya. Jarang ada hubungan yang harmonis antara Pastor…Uskup….Suster dengan umatnya yang miskin…., Hubungan BOS dengan bawahannya…..Hubungan Pejabat dengan rakyat kecilnya….Tapi hubungan Jesus dengan umatnya begitu harmonis…hubungan Bunda Teresa dengan umatnya begitu indah.Masih adakah….hubungan yang seperti itu di dunia ini…tanpa membedakan agama…status….suku….dst.

    ya…..solusi yang paling gampang ya…itu…jaga jarak..tdk perlu terlalu dekat….sewajarnya dan seperlunya…kata…Arischandra.

  4. Ukuran kebahagiaan ada dalam hati/diri masing2 pribadi bukan menurut orang lain. Bila ingin bahagia kita harus bisa nrimo, atas apa yang sudah kita dapatkan. Di dalam setiap relasi pasti ada perbedaan, apabila kita ingin membahagiakan orang yang kita kasihi, pakailah ukuran orang yang kita kasihi dan bukan ukuran diri sendiri sebab baik bagi kita (yang mengasihi) belum tentu baik bagi yang dikasihi. Seperti asuk dia merasa bahagia bisa mencari nafkah dan membiayai perjalanan istrinya (a yi) dan untuk membahagiakan anak menantunya asuk (yang ga suka jalan2) mau pergi, karena dia sangat sayang istrinya dia mau pergi kalau bersama istri. Kompleks ya? tapi begitulah hidup. Kalau ingin membahagiakan orang lain ya kita harus bisa menyelami atau memposisikan diri sebagai orang yang kita kasihi supaya usaha anda tidak sia2 (sebab udah cape2 usaha ga kepake alias memperdalam perbedaan)

  5. Yg gampang saja,…. jangan ikut campur rumah tangga anak2. Mereka punya jalan pikiran sendiri, Untuk menjadikan satu kebiasaan dan karakter mereka berdua sendiri sudah susah, apalagi ditambah mertua.
    Sebagai mertua kita lihat dari luar lingkungan mereka, dan kita bantu secara (tidak)langsung apa yg mereka butuhkan.

    Sebagi menantu, jangan dilupakan kalau mertua, membentuk karakter, membesarkan putra-putrinya. Dan yg mengetahui semua kelemahannya. dan orang tua akan selalu membantu mengatasinya secara langsung atau tidak langsung.

    jikalau, anak dan mantu mempunyai kesadaran dan pengertian yg sama, .. ‘Soulmate’, pasti hal2 in tidak terjadi.

    Salah paham selalu akan terjadi, tetapi kita harus pandai berkomunikasi dua arah.

    Berdikari adalah motto yg paling baik.
    Amin

Tinggalkan Balasan