Keuskupan pangkalpinang, 3 Februari 2009
Aceng menurutkan sepenggal kisah nenek moyang kepada bapak Aliong dan Istrinya di restoran Fuksin Bukit Intan Pangkalpinang. Ada kisah di jaman dahulu kala, seorang tokoh besar muncul di muka bumi. Sang tokoh tersebut mengumpulkan para murid-Nya untuk makan bersama. Makanan dan minuman pesta mereka adalah tubuh dan darah sang Guru. Sang guru yang waskita berpesan kepada para murid-Nya agar melanjutkan kebiasaan yang dibuat-Nya.
Sehari setelah berpesta, sang guru di tangkap, disiksa dan dihukum mati oleh pemerintah jaman itu. Sang Guru mati, tetapi sabda-sabda-Nya tetap hidup seperti pesan-Nya untuk memecah-mecahkan roti dan menyampaikan kata kata baik. Makan bersama menjadi anchor peristiwa silam ketika guru dan murid bertemu duduk semeja.
Nenek moyang kita pernah menasehati cucunya, ketika kita mengadakan kenduri, kita duduk bersama, makan bersama, dan berbicara satu terhadap yang lain. Kebiasaan seperti ini menjadi sarana menjalin rekonsiliasi sesama dan Tuhan.
Acong ingat pesan mbah suro di Bloro, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Di mata Tuhan kita adalah sama sama ciptaan-Nya. Kita tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang merasa lebih rendah di mata-Nya.
Seorang motivator dan orang suci berseloroh, “Ketika orang berdamai dengan sesama dan dengan Tuhan, dia merasa hidup damai. Ketika dia merasa damai, dia bisa berfikir dengan jernih. Ketika dia berfikir dengan jernih, dia bisa berperilaku dan bersikap lebih baik. Ketika dia bisa bersikap lebih baik, maka dia bisa menerima masukan lebih baik dari sang guru dan makanan yang disantap.”
Seorang budhis, istri Aliong dalam makan siang di restoran Fuksin 3 Maret 2009 jam 13.00 wib sambil menyantap hoisom bertutur, “nenek moyang kami mengajarkan bilamana kami melayani bante / biksu / pelayan Tuhan, maka kami mendapatkan berkah melimpah bagi kehidupan di dunia. Mereka banyak melakukan ulah tapa dan samadi. Mereka dekat dengan kesempurnaan (suci).”
Acong menimpali,” nenek moyang kami pernah menuturkan bahwa orang suci bisa sempurna karena ia mampu menaklukkan ego di dalam diri seperti matahari memancarkan sinarnya untuk orang baik dan orang jahat dan keberadaannya untuk sesama maklhuk di muka bumi. Kita belajar menaklhukkan ego dengan melayani, memberi, memberi dan memberi kepada semua maklhuk hidup.”
Kami meninggalkan restoran Fuksin setelah kami dikenyangkan oleh Hoisem dan bertutur tentang kejayaan masa silam nenek moyang kami tentang perjamuan bersama.